Chapter 4

4 2 0
                                    

Hallo, ketemu lagi sama aku, selamat membaca ^^

***

"Kerasukan apa sih, si Gladis, kenapa coba harus ngata-ngatain lo kayak gitu, punya salah engga sama lo!" kesal Dinda. Masih merasa tak adil atas perlakuan Gladis terhadap sahabatnya.

Sementara Nadine, dia hanya bersikap santai, "udahlah, nanti juga malu sendiri."

Keduanya lanjut menuju sebuah Cafe yang tak jauh dari sekolah mereka. Karena merasa lapar, Nadine mengajak Dinda untuk makan di luar, tentu dengan di traktir Nadine.

Mereka memesan makanan favorit mereka, yaitu dessert box rasa stroberi. Keduanya memang suka rasa yang manis. Ditengah asyiknya menyantap makanan, Dinda termenung sejenak melihat laki-laki yang dilihatnya saat pulang sekolah.

"Itu siapa, ya? Gue gak asing sama mukanya," celetuk Dinda. Nadine mengikuti arah pandang Dinda, benar saja, lelaki itu yang di maksud.

Nadine tersenyum tipis. "Raditya Varrel, Din. Lo lupa?"

Dinda mencoba mengingat siapa lelaki yang disebutkan Nadine. Lima detik kemudian, Dinda mangacungkan jari telunjuknya. "Ahaaa! Gue inget, dia mantan pacar lo waktu SD 'kan?"

Nadine tertawa renyah, "iya, itu dia," Nadine termenung sejenak, "tapi dia pindah agama."

"What?" Dinda sedikit berteriak. Suaranya berhasil membuat orang-orang disekitar memperhatikannya.

"Pelan aja ngomongnya, nanti kalau kedengeran dia gimana?" Nadine mengingatkan.

"Habisnya lo bikin gue kaget, sih," kata Dinda tak mau kalah.

Nadine memberi isyarat untuk tidak memberitahukan hal itu di sini, karena masih ada orangnya. Padahal Dinda sangat penasaran mengapa Varrel pindah agama, padahal dulu dia Islam.

Nadine belum mau menjawab apa yang menjadi pertanyaan Dinda. Meskipun sudah lama Varrel pindah agama, tapi Nadine berusaha untuk menutupinya dari semua orang termasuk Dinda. Keduanya memang sudah satu sekolah sejak SD hingga sekarang. Jadi, keduanya memahami karakter satu sama lain.

Selesai makan siang, Dinda dan Nadine bergegas pulang karena waktu menunjukkan pukul 2 siang. Saat melewati mereka, Nadine melirik sejenak ke arah Varrel, tatapan mereka bertemu. Lalu keduanya hilang di balik pintu kafe.

***

"Mas, kita harus pulang, kasian Nadine kita tinggal beberapa hari ini!" Marsya berusaha membujuk suaminya untuk segera pulang. Pasalnya, mereka mengatakan hanya dua hari saja di luar kota.

Akan tetapi, semua diluar dugaan, Lukman ... suaminya, memilih untuk tetap menjalankan bisnis ini dan tinggal seminggu di sini. Marsya khawatir jika terjadi sesuatu pada putrinya.

"Sudahlah, Marsya, Nadine sudah besar, dia pasti bisa menjaga dirinya sendiri," kata Lukman, terkesan tidak peduli.

Marsya pasrah, ia tidak bisa membantah suaminya. Karena bagaimanapun, hal ini dilakukan untuk kehidupan mereka. Suaminya sudah banyak berperan dalam menghidupi keluarga.

Setelah rapat pekerjaan selesai, Marsya dan Lukman segera pergi ke apartemen tempat mereka bernaung. Dengan keadaan hidup yang berkecukupan, mereka mampu membeli apa yang mereka inginkan. Bisa dikatakan, tinggal ambil tanpa melihat harga.

Setibanya di apartemen, Marsya menghubungi putrinya untuk menanyakan kabar.

"Hallo, Sayang? Bagaimana kabar kamu? Maaf Bunda belum bisa pulang," ucap Marsya setelah telepon terhubung dengan Nadine.

"Iya, Bun. Enggak apa-apa. Nadine baik-baik aja di sini, ada Dinda yang nemenin," balas Nadine di seberang sana.

Keduanya asyik mengobrol banyak hal. Sedangkan Lukman, dia sibuk dengan semua berkas yang ada di meja. Memeriksa satu per satu dan kembali merapikannya. Pekerjaan ini sudah dinikmatinya saat ia meraih kesuksesan. Kini, Lukman menjadi deretan 10 keluarga terkaya di Jakarta. Sangat fantastis, sikapnya yang tegas mampu meluluhkan para investor agar menanam saham di perusahaan miliknya. Kabar baiknya, seluruh perusahaan yang bekerja sama dengannya, mendapatkan keuntungan  dua kali lipat. Tentu dengan kerja keras dan usaha mereka yang tidak main-main.

Kesuksesan akan diraih dengan usaha yang kita perjuangkan. Begitu bukan? Selesai merapikan semua berkas itu, Lukman pergi ke tempat tidur dan memeluk istrinya dengan hangat.

"Mandi, dulu, Mas. Bau keringat!" titah Marsya seraya melepaskan pelukannya halus.

"Tidak, Marsya. Mas hanya ingin peluk kamu," balas Lukman kembali memeluk Marsya.

Telepon terpaksa Marsya akhiri karena tidak enak. Suaminya sangat tidak melihat situasi, padahal Marsya masih merindukan Nadine.

Marsya berbalik arah menatap suaminya. Entah apa yang membuat Marsya bisa secinta ini pada Lukman. Bukan karena dia memiliki segalanya, usaha yang dia dapatkan benar-benar hasil jerih payahnya sendiri. Mereka berjuang bersama dari nol hingga meraih kesuksesan seperti ini. Hal yang paling Marsya syukuri adalah, Lukman tidak pernah berpaling darinya. Rasa percaya selalu menjadi patokan mereka hingga rumah tangga mereka awet saat ini, bahkan sejak mereka pacaran.

"Mandi, dulu, aku mau makan, Mas," lagi-lagi, Marsya melepas pelukkannya.

"Mandi bareng," celetuk Lukman, membuat Marsya tersipu malu.

"Sudah tua juga, masih mau mandi bareng, nanti kamu nyosor lagi," goda Marsya.

Tanpa basa-basi lagi. Lukman bangkit dan membawa Marsya ke kamar mandi secara paksa. "Aku mau punya anak lagi!"

Marsya terkejut bukan main, padahal selama ini Lukman menolak untuk menghadirkan anggota baru di keluarganya. Tapi kali ini? Benar-benar membuat Marsya terkejut. Keduanya asyik berdua dalam kenikmatan rumah tangga yang belum tentu orang lain rasakan. Keharmonisan inilah yang membuat rumah tangga mereka awet. Saling menerima kelebihan dan kekurang masing-masint. Bagi Lukman, Marsya sudah menjadi perempuan paling sempurna di hidupnya.

***

Mohon maaf kalau baper 😷
Selamat membaca!

The Last Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang