Keheningan malam menemani Nadine. Ia termenung sejenak dan berpikir apa yang membuat Gladis se-benci itu padanya. Padahal ia sendiri tidak pernah ada urusan dengannya. Sejak masuk sekolah dengan penampilan sederhana, Gladis menatapnya denga tidak suka. Entah apa yang ada dipikiran perempuan itu.
Sudah hampir dua minggu setelah keberangkatan orang tuanya ke Tokyo, Jepang, Nadine merasa sendiri. Hampir setiap malam juga ia merasakan kesepian. Dinda yang semula ingin tinggal bersamanya mendadak untuk pulang dan menyelesaikan masalahnya dengan kepala dingin.
Rasa kantuk menyelimutinya, tapi ia belum ingin tidur. Sepi benar-benar menyelimutinya. Tidak lama dari itu, kepalanya mendadak terasa pening, ia merasa ada sesuatu yang keluar mengalir dari hidungnya. Nadine menyentuhnya.
"Darah?" gumamnya.
Ia pun segera menghapusnya agar tidak diketahui oleh pembantunya. Tapi sayang, ia sudah diperhatikan sejak tadi.
"Non Nadine kenapa? Kenapa hidungnya berdarah?" tanya Bi Lastri setengah panik.
Nadine mengangguk cepat. "Aku gak apa-apa kok, Bi. Mungkin kecapekan aja."
Bi Lastir tidak memedulikan ucapan anak majikannya itu. Ia bergegas membawa Nadine ke kamarnya untuk istirahat serta membawakannya air hangat. "Non jangan banyak pikiran, kangen sama Mama, Papa ya, Non?"
"Enggak papa kok, Bi." Hanya itu yang diucapkannya. Nadine memegang pelipis matanya karena merasa pening yang tiada henti.
"Kalau gitu, Bibi tinggal dulu, ya, kalau ada apa-apa kabarin Bibi aja."
Bi Lastri segera keluar kamar dan meninggalkan Nadine seorang diri. Ia ingin istirahat tapi kejadian barusan membuatnya sedikit kepikiran.
Belakangan ini, badannya memang sering terasa lemah. Apalagi jika terkena sinar matahari. Entah apa yang membuatnya demikian.
Daripada banyak pikiran. Nadine memutuskan untuk istirahat dengan harapan besok keadaannya membaik, sehingga ia bisa sekolah.
***
Pagi menyapa. Sinar matahari menyinari tubuh gadis yang masih terbaring di atas tempa tidur. Wajahnya tampak pucat, ia tidak bisa terbangun dari tidurnya karena merasa lemas. Mungkin dia sedang sakit hari ini.
Bi Lastri masuk ke kamarnya dan ia panik setengah mati melihat putri Tuannya tertidur lemas, ia mengecek suhu badannya ternyata mencapai 39 derajat celcius. Artinya Nadine benar-benar sakit.
Bi Lastri bergegas ke bawah mengambil air hangat untuk mengompres Nadine agar mendingan. Juga membuatkan bubur untuknya.
"Non jangan sekolah dulu, ya, biar Bibi yang izinkan," pinta Bi Lastri.
Nadine hanya menurut dan ia memaksakan makananan masuk ke mulutnya. Meski terasa hambar, ia harus bisa makan dan cepat sehat kembali.
Selama Nadine sakit, ia hanya di urus oleh Bi Lastri. Karena tidak pernah ada kesempatan di urus oleh kedua orang tuanya yang selalu sibuk bekerja dengan alasan untuk membahagiakannya. Walaupun selalu mendengarkan curahan hatinya, tapi tidak setiap hari. Nadine merasa di asingkan bila dalam keadaan seperti ini.
"Bi, jangan kemana-mana, ya, temenin Nadine." Ia memohon.
Ia sangat membutuhkan perhatiannya saat ini.
"Bibi tidak akan kemana-mana, seperti biasa. Bibi akan temani Non, sampai Non pulih," ungkapnya.
Nadine tersenyum tipis. Kemudia, ia melanjutkan istirahat. Bi Lastri hanya tersenyum iba melihat putri dari Tuannya ini kekurangan kasih sayang dari segi perhatian. Hal itu membuatnya menganggap bahwa Nadine adalah putrinya. Sementara ia sendiri hanya memiliki satu orang anak perempuan, itu pun sudah meninggak karena kecelakaan beberapa tahun lalu.
Bi Lastri merapikan air hangat dan makanan yang di bawanya, lalu membawanya ke dapur. Ia akan melihat Nadine setiap 2 jam sekali untuk memastikan keadaannya.
***
Riuh semangat anak-anak sekolah terdengar begitu antusias saat mendengar bel waktu istirahat. Satu per satu semua siswa keluar kelas dan pergi ke kantin untuk jajan, makan atau sekadar nongkrong saja.
Sementara, perempuan berambut hitam pekat tengah duduk termenung seorang diri di kelas. Sendiri tanpa ada teman di sampingnya. Dinda, ia duduk termangu tanpa rasa bosan sedikitpun, ia merutuki dirinya sendiri karena kesal Nadine tidak sekolah. Ia belum tahu jika sahabatnya itu tengah sakit hari ini.
"Kenapa lo merungut gitu?" tanya Bian yang tiba-tiba ada di dekatnya. Ia bersama Varrel.
"Kesel gue, Kak. Nadine gak sekolah!"
"Kemana dia?" giliran Varrel yang bertanya dingin.
"Kurang tahu, sih, Nadine ga ngabarin," jawab Dinda. Nada bicaranya sedikit lembut.
Setelah mendapat jawaban itu, Varrel bergegas pergi meninggalkan Bian dan Dinda berdua. Keduanya saling bertatapan.
"Kenapa nada bicaranya berubah?" protes Bian. Ia merasa di bedakan.
"Suka-suka gue lah, Kak. Lagian lo siapa gue?"
"Gue Kakak kelas lo juga lah, harus sopan!"
"Ogah banget gue sopan sama lo, orang yang selalu membantu Gladis menindas Nadine!" kesal Dinda. Pasalnya ia juga tahu jika Bian itu satu kelas dengan Gladis.
"Ya gak gitu juga!" protesnya lagi.
Dinda berlalu pergi meninggalkan Bian. Ia merasa bosan bila melihat Kakak kelas yang satu ini. Wajahnya memang tampan, tapi menjengkelkan!
****
Hallo teman-teman. Update segini dulu ya. Maafkan lagi kurang fokus.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Love
RomancePerbedaan agama membuat kedua insan ini harus saling berjuang mempertahankan hubungan mereka. Nadine yang tidak menyangka kekasihnya berpindah keyakinan, membuatnya harus bersabar dan berusaha meyakinkan diri bahwa dirinya dapat bersatu dengan kekas...