[ 9 ]

107 10 2
                                    

Wild nature is not scarier than you present in my dreams.
-


"Kenapa lo? pengen boker? ayo gue anterin."

Astaga mana mungkin aku mau dianterin peranakan asmodius, bisa-bisa eek ku minder buat keluar.

Aku menggeleng. "Gak pengen poop, makasih dah nawarin Malih."

"Hah Malih?" muka Galih agak tersinggung.

Aku kemudian diam takut salah ngomong.
Untung saja datang Lionel sebagai pahlawan ku.

"Guys bantuin pegang tali biar tendanya berdiri."

Galih langsung berbalik namun tak lama dia menoleh dengan wajah sinis dan mulutnya bergerak seperti bilang 'mati lo anjing' atau mungkin cuma perasaanku saja? Maaf dan Makasih Galih, kebaikan mu tadi tidak membuatku memandangmu seperti malaikat.

Akhirnya tenda terpasang rapi berjajar, barang bawaan kami juga tersusun rapi. Keenan memasang ayunan di antara dua pohon. Ayunan seperti jaring laba-laba ini mereka sebut sebagai Hammock. Bisa kuat ditiduri orang dewasa, bahkan tadi Keenan dan Lionel tidur bertumpuk diatas hammock demi mengetes kekuatannya.

"Tina sama Sena masak aja, gue sama Galih mau nyari kayu bakar buat nanti malem." Keenan menginstruksi kami.

"Aku ngapain bang?" Lionel bertanya.

Keenan terlihat berpikir sejenak lalu tersenyum. "Lo mancing bisa kan? lumayan ntar malam bisa bakar ikan."

Lionel menggeleng sedih. "Gabisa bang."

"Yaelah Dik Lio masa tinggal pasang umpan terus lempar ke air doang gabisa?" ejek Keenan dengan memasang wajah ngeselin.

Astina berdiri. "Jangan Lio yang mancing, ntar yang dilempar pancing sekalian sama otaknya."

Keenan menggeleng kecewa. "Dik Lio masak aja kalo gitu, urusan mancing bagian gue ntaran."

Aku ikutan berdiri dengan mengangkat tangan. Keenan memperhatikan lalu bertanya. "Kenapa Dik Sena? udah pengen boker?"

Dih, kenapa orang-orang nanya boker mulu dari tadi? memang wajahku menunjukkan kalau aku boker-able?

"Aku mau mancing!" ucapku sigap. "Aku udah biasa mancing di empang Ayah."

"Boleh juga Dik Sena ternyata, oke urusan memancing gue serahin ke elo." Keenan menoleh ke Lionel lagi, "Lo masak yang enak, ato ga nanti malam gue guyur air danau mampus deh."

"Aku nemenin Sena mancing aja gimana? biar skill memancingku naik level." Lionel memohon dengan wajah penuh pengharapan. Namun sayang sekali Keenan dengan tegas memberikan Wajan ke Lionel dan berbisik entah apa yang pasti aku tak kepo.

Let's go memancing!

Eh bentar, ini umpannya pakai apa ya? Keenan hanya memberikanku pancingan dan ember. Nyari cacing juga bagaimana caranya? selama ini aku memancing di empang mengandalkan umpan pelet racikan Ayahku. Hm, seharusnya memang aku memasak saja tadi bersama Astina, sok ngide segala memancing di alam bebas seperti ini.

Akhirnya aku mendekat ke pohon tumbang yang menjorok ke arah danau. Aku nongkrong sambil memeriksa ponselku yang ternyata ada sinyal. Sambil berselancar mencari cara menemukan cacing, tapi lagi-lagi jalan buntu karena aku tak paham banyak hal. Suara grasak grusuk di belakang mengganggu ku, ternyata datang sosok peranakan asmodius yang sedang memungut ranting pohon.

"Gue liat tadi sebelum villa ada orang jualan ikan." ujar Galih tanpa melihat kearah ku, seolah dia sedang berbicara sendiri.

Wow, Galih ternyata inovatif sekali. Daripada memancing lebih baik membeli ikan. Tak salah memang Galih menjadi murid teladan dan menjuarai berbagai olimpiade seperti yang dibilang Lionel kapan hari. Sebelum aku berterimakasih atas ide cemerlang Galih, dia sudah pergi menyisakan punggungnya yang terpantau menjauh. Oke aku berterimakasih dalam hati saja.

TONIGHT DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang