6. Bubur
Meski aku sudah tinggal di rumah ini menemani Eyang, bukan berarti anggota keluarga yang lain jadi tidak peduli. Entah itu Tante Sani, Mama, atau cucu Eyang yang lain, pasti sesekali akan datang. Tentu saja kepedulian kami sama kadarnya. Karena Eyang adalah tipe nenek dengan pemikiran terbuka yang jarang sekali marah kepada cucu, jadi kami semua sangat menyayangi beliau.
Dan di Minggu ini, giliran Mas Juan yang datang. Saat aku kembali dari joging di taman dekat rumah, mobilnya sudah berada di halaman. Aku langsung berlari masuk ke dalam rumah.
"Lola pulang, Eyang!" Seperti biasa setiap pulang, aku akan berseru seperti itu.
"Wa'alaikumsalam."
Jawaban dari arah dapur membuatku menyengir. Tanpa pikir panjang, aku melangkah ke asal suara bariton itu. Dan benar saja, Mas Juan tengah berdiri di depan kompor dengan spatula di tangan.
"Mas Juan!" Mendekat, aku memeluk lengannya yang bebas.
"Salam dulu." Mas Juan menaruh spatula dan menyodorkan tangan kanannya.
Menyengir, kucium punggung tangannya dan berkata, "Assalamu’alaikum, Mas Ganteng."
"Wa'alaikumsalam." Mas Juan tersenyum tipis, lalu mengacak rambutku. Dia mengernyit. "Lepek."
"Ya kan abis olahraga." Aku melongok wajan. "Roti goreng? Mas Juan beli di mana?"
"Theo beli frozen kemarin." Mas Juan membalik roti dengan spatula. "Sana mandi."
Menggembungkan pipi, aku mengangguk. "Eyang mana?"
"Di kamar."
"Jadi mau check up?"
Mas Juan mengangguk. "Mau ikut?"
"Enggak ah. Aku ada gambar yang kudu kelar."
Mas Juan mengangguk, kemudian mengibaskan tangan menyuruhku agar segera mandi. Menempelkan jari telunjuk dan tengah di pelipis, aku segera membalikkan badan dan keluar dari dapur.
Sifat kedua kakakku sangat berbeda. Mas Theo itu jail, banyak bicara, dan kadang tak mau mengalah denganku. Bahkan jika dia sedang mode mengesalkan, aku bisa menangis saking sebalnya karena diganggu. Namun jika kumat konyolnya, maka dia akan jadi pengobat badmood yang paling ampuh. Mungkin karena jarak umur yang hanya dua tahun sehingga kami dekat seperti Tom dan Jerry.
Lain Mas Theo, lain pula Mas Juan. Kakak pertamaku justru kebalikannya. Dia pendiam dan tipe yang serius. Dia tak pernah jail atau menggangguku. Kalimat panjang lebar yang akan dia ucapkan kepadaku biasanya hanya omelan. Kalau sedang ingin menuruti kemauanku, maka dia akan melakukan tanpa banyak bicara.
Meski begitu, aku tetap saja sering mengisenginya. Berharap dia balas meledek atau jail. Namun aku tidak bisa berharap banyak. Karena jika kuganggu, Mas Juan hanya akan mendesis dan menatapku datar. Pokoknya omelannya itu hanya jika aku bandel dan tidak mendengarkan larangan atau perintahnya. Tipe bapak-bapak yang tidak ingin anak perempuannya terluka.
Dan sejak tinggal bersama Eyang, mustahil jika aku tak merindukan Mas Juan. Dia menggantikan peran orang tua setiap Papa dan Mama sibuk di kantor. Jadi ketika menjalani hari-hari tanpa Mas Juan, aku merasa ada yang kurang. Untungnya dia tak pernah menolak saat aku memintanya datang dua atau tiga minggu sekali.
"Lola tidak ikut?" Eyang bertanya ketika aku selesai berganti baju dan keluar kamar. Beliau tampak sudah siap dengan pakaian rapi.
"Enggak, Eyang." Aku menyengir. "Jajanin aja, ya, Mas?"
Mas Juan meletakkan telapak tangan di kepalaku. "Mau apa?"
"Seblak super pedes."
Mas Juan mengernyit. "Nggak pedes."
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Goodbye (TAMAT)
Художественная прозаNever Goodbye Di umur 24 tahun ini, kehidupan Lola Lolita sudah cukup sibuk. Mulai dari jadi komikus, drakoran, hingga fangirling. Itu sudah sempurna untuk jomlo sepertinya. Namun sejak tinggal di rumah Eyang, kesibukan Lola bertambah satu lagi. Mau...