7. Dari Kamu
Soal sakit, aku jadi ingat kali pertama tahu bahwa Bang Kefan tidak bisa memakan makanan selain bubur manis jika badannya sedang tidak fit. Katanya, lidah jadi hambar.
"Truth or dare?" Winda, temanku yang merupakan pacar teman Bang Kefan, langsung menunjukku begitu botol berhenti.
Saat itu kami berempat iseng mengisi waktu dengan bermain. Karena teman Bang Kefan adalah pacar temanku, dia kadang ikut bergabung makan di pujasera bersama kami. Seperti hari itu.
Aku mengangkat dagu. "Truth."
Winda dan Bang Fajri—pacar Winda—bersorak. Sementara Bang Kefan yang duduk di depanku, hanya memperhatikan.
"Aku yang nanya, ya." Bang Fajri mengacungkan tangan ke atas. Aku mengangguk. "Kamu lagi naksir siapa sekarang?"
Aku menyeringai saat melihat Bang Fajri menaik-turunkan alis setelah bertanya begitu. Sementara di sebelahku, Winda tersenyum penuh arti. Aku jelas paham maksud mereka. Winda tahu persis jika saat itu aku sudah mulai menyukai Bang Kefan. Iya, hanya karena perkara photocard sebelumnya, aku jadi naksir.
Ditambah, ada alasan lain yaitu tentang kebiasaan yang membuatku terpesona. Aku sering sekali melihat Bang Kefan memungut sampah yang ditemuinya. Entah itu di kampus atau di jalan, dia sering memungut dan membuangnya ke tempat sampah terdekat. Bahkan pernah satu kali aku melihatnya yang yang turun dari motor hanya karena ada botol minuman dibuang di dekat gerbang kampus. Tindakan kecil memang, tapi mampu menambah rasa kagumku kepadanya.
Setiap harinya aku akan memperhatikan Bang Kefan. Mengagumi dan menganggapnya sebagai cowok paling perfect di dunia setelah Moon Taeil. Namun Bang Kefan tidak tahu. Entah tidak peka atau pura-pura saja. Padahal aku sama sekali tidak menutupi rasa sukaku. Walaupun tidak terang-terangan juga, sih.
"Jelas dong. Siapa lagi kalau bukan," aku menjeda ucapan, membiarkan Winda dan Bang Fajri tersenyum-senyum, "Moon Taeil Oppa?"
Senyum Winda dan Bang Fajri luntur. Mereka berdua berdecak. Bang Kefan hanya bertopang dagu memperhatikan.
"Nggak gitu juga, La," protes Winda.
"Kan emang bener. Aku naksir Moon Taeil."
"Cowok beneran."
"Emang Taeil bukan cowok beneran? Dia asli, tahu. Tulen. Mana ganteng dan gemesin, lagi." Aku menangkup wajah sambil tersenyum-senyum.
"Di real life, La. Kamu naksir siapa?" tanya Winda lagi.
"Satu pertanyaan dapat satu jawaban." Aku tersenyum lebar. "Jadi aku nggak mau jawab."
Winda mencebikkan bibir, kemudian kembali memutar botol. Kali itu mulut botol mengarah ke Bang Kefan.
"Truth or dare?"
"Truth." Bang Kefan menjawab dengan yakin.
"Ada yang mau nanya?" Bang Fajri bertanya kepadaku dan Winda.
Aku menggeleng. Begitu pula Winda.
"Oke, aku aja," kata Bang Fajri. "Sebutin salah satu kelemahan kamu."
Bang Kefan melipat kedua lengan di depan dada dan menjawab, "Kalau sakit cuma bisa makan bubur manis."
Aku mengernyit. "Itu kelemahan?"
Bang Kefan mengangguk.
"Kenapa dianggap kelemahan?"
Salah satu alis Bang Kefan terangkat. "Satu jawaban untuk satu pertanyaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Goodbye (TAMAT)
Tiểu Thuyết ChungNever Goodbye Di umur 24 tahun ini, kehidupan Lola Lolita sudah cukup sibuk. Mulai dari jadi komikus, drakoran, hingga fangirling. Itu sudah sempurna untuk jomlo sepertinya. Namun sejak tinggal di rumah Eyang, kesibukan Lola bertambah satu lagi. Mau...