8. Nyesel Nggak?
"Gimana rasanya ngerawat mantan terindah, La?"
Memandangi layar ponsel, aku mengerucutkan bibir. "Aku nggak ngerawat, ya, Mas."
"Masa?" Mas Theo yang tengah melakukan panggilan video denganku, mengerlingkan mata. "Mas Juan bilang, kamu masih di sana loh pas dia sama Eyang pulang. Hayo, nungguin Bang Kefan sampai baikan, kan?"
Aku makin cemberut. "Aku cuma lagi ngobrol sama temen-temennya Mitha. Dan nungguin apaan? Mas Juan fitnah nih. Aku cuma bikinin bubur. Itu aja ya."
"Masa?"
"Mas Theo ih!"
Di seberang telepon, Mas Theo tertawa lepas. Ini gara-gara kemarin saat Mas Juan dan Eyang pulang, aku masih berada di rumah Tante Eni. Padahal aku tidak bohong soal mengobrol dengan teman-teman Mitha. Kami sedikit membahas Kpop. Dan kepada Mas Juan, aku juga dengan jujur bercerita soal Bang Kefan yang sedang sakit dan aku membuatkan bubur. Reaksi Mas Juan hanya datar dan biasa saja. Siapa sangka dia malah bercerita kepada Mas Theo?
Karena dulu kami satu kampus, tentu saja Mas Theo tahu aku jadian dengan Bang Kefan. Begitu pun Mas Juan yang diberitahu oleh Mas Theo. Mama Papa juga tak melarang, meski dengan beberapa peraturan tegas yang harus kupenuhi. Dan sejak keluargaku tahu, Bang Kefan jadi tak jarang datang ke rumah untuk sekadar mengobrol dengan kedua kakakku.
Selama kuliah, Bang Kefan tinggal di rumah kos dekat kampus. Jadi karena itu aku belum pernah bertemu atau mengenal keluarganya. Dulu aku juga masih agak ragu ketika dia satu kali berencana mengajakku ke rumah orang tuanya. Kupikir aku masih terlalu muda dan takut jika mereka menganggap hubungan kami sudah seserius itu. Bertemu dengan keluarga pacar adalah sesuatu yang cukup menakutkan untukku. Dan ketika aku merasa sudah siap, kami justru putus.
Sejak putus, aku dan Bang Kefan jarang berinteraksi lagi secara dekat. Jika berpapasan pun aku hanya melempar senyum formal. Mas Juan tidak berkomentar banyak selain nasihat agar aku lebih fokus kuliah saja. Sementara Mas Theo sempat mendesakku bercerita tentang alasan kami putus, tapi aku tidak memberi jawaban berarti. Dan kakak keduaku itu tidak lagi bertanya.
"Tetanggaan sama mantan, baper nggak, La?"
Pertanyaan Mas Theo membuatku mengerjapkan mata. Menaruh dagu di atas bantal, aku menggeleng. "Biasa aja."
"Jawaban dan ekspresi kamu nggak meyakinkan."
Aku mendesis. "Mas Theo aja yang nggak percayaan."
"Gimana mau percaya?" Mas Theo mengucapkan itu sembari memetik gitar. "Kamu aja masih peduli sama dia."
"Kemanusiaan, Mas."
"Halah kemanusiaan tai kucing." Mas Theo mengangkat kepala dan menatapku dengan sorot mengejek. "Pas ke situ dua minggu lalu, Mas lihat dengan jelas kalau kalian masih akrab. Nggak kayak interaksi mantan pada umumnya."
"Emang yang pada umumnya tuh kayak gimana? Saling benci? Sok nggak kenal? Nggak dewasa," cibirku.
Mas Theo terbahak sambil menggenjreng gitarnya hingga menghasilkan suara yang berisik.
"Mas."
"Apa?"
"Mas Theo ke kamarku, dong. Aku kangen kamarku."
"Saldo OVO seratus ribu."
Aku merengut. "Sama adiknya nggak boleh perhitungan."
"Sekali-kali dong Mas mau kecipratan duit komikus yang mulai terkenal." Mas Theo menaik-turunkan alis. "Belum lupa nomor OVO Mas, kan, Cantik?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Goodbye (TAMAT)
General FictionNever Goodbye Di umur 24 tahun ini, kehidupan Lola Lolita sudah cukup sibuk. Mulai dari jadi komikus, drakoran, hingga fangirling. Itu sudah sempurna untuk jomlo sepertinya. Namun sejak tinggal di rumah Eyang, kesibukan Lola bertambah satu lagi. Mau...