11. Balikan, Yuk!
Aku baru masuk kamar setelah Eyang istirahat. Duduk sembari memegang cangkir berisi susu cokelat hangat, aku memandang jendela terbuka yang terbuka dalam keadaan lampu kamar dimatikan. Entahlah, pikiranku jadi rumit sejak mengaku kepada Eyang tadi.
Merasa cocok? Aku dan Bang Kefan? Itu terlalu beresiko setelah apa yang terjadi empat tahun lalu, bukan? Aku tahu Bang Kefan sudah dewasa. Pemikirannya pun pasti sudah banyak yang berubah. Namun entahlah, membatasi hati setiap kami berinteraksi sepertinya adalah keputusan yang tepat untuk sekarang ini.
Menghela napas, aku menyesap susu pelan-pelan. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba lampu kamar Bang Kefan menyala. Mataku mengerjap ketika melihat sosok tinggi tegap mengenakan celana training dan kaus pendek itu tengah menggosok rambut dengan handuk. Aku hanya memperhatikan lamat-lamat saat dia membelokkan langkah ke balik jendela, lalu mengangkat kepala. Mata kami berserobok.
Bang Kefan mengangkat satu tangan sejajar telinga, kemudian senyum tipisnya perlahan terbit. "Hai."
Aku tidak membalas sapaannya, hanya menyesap kembali minumanku. "Baru pulang?"
"Hm." Bang Kefan menyelampirkan handuk di pundak, lalu duduk di kusen jendela. "Gimana hari ini?"
Mengernyit, aku tersenyum geli. "Tumben nanya."
Senyum Bang Kefan melebar. "Kangen nanya gitu."
Aku terpaku karena jawaban kalemnya. Dulu saat masih berpacaran, kami memang tak setiap hari bertemu karena jadwal masuk kuliah yang berbeda. Namun di malam aku akan menelepon Bang Kefan. Dan pembicaraan kami selalu diawali dengan 'gimana hari ini?'. Baru setelah itu aku akan bercerita panjang lebar sementara Bang Kefan hanya menjadi pendengar dan sesekali menimpali jika aku meminta. Lalu sekarang tiba-tiba Bang Kefan bilang kangen?
"Abang demam lagi?" tebakku.
Bang Kefan berdecak. "Sehat wal 'afiyat."
Aku memiringkan kepala. "Kecapekan?"
"Nggak."
"Terus kenapa tiba-tiba bilang kangen?" tanyaku defensif. "Kerasukan?"
Bang Kefan merengut. "Mau dijitak?"
Aku terkekeh geli. "Lagian aneh banget."
"Apanya yang aneh?" Bang Kefan melipat kedua lengan di depan dada.
"Ya itu." Aku mengedikkan bahu. "Nggak biasanya."
"Biasain mulai sekarang."
Mengerjapkan mata, aku makin bingung menatapnya. "Heh?"
Bang Kefan mengangkat kedua alis. Senyum simpul menghias bibirnya.
"Abang naksir aku?"
Kutanya begitu, Bang Kefan malah tergelak sembari bangkit dari duduknya. Dia melambaikan tangan dan menutup jendela. Aku hanya melongo memandagi daun jendela kayu yang kini tertutup itu. Tidak mungkin Bang Kefan betulan naksir aku, kan? Hanya karena sekarang kami bertetangga? Itu mustahil. Aku lebih percaya kalau barusan dia berniat meledekku saja.
Meletakkan cangkir di atas meja, aku beralih membuka laci. Kuambil kotak kecil yang entah kenapa ikut terbawa di tas saat pindah ke rumah ini. Aku membukanya, lalu mengeluarkan jam tangan warna biru tosca yang terdapat gambar bulan sabit kecil-kecil menghiasi kalepnya. Sangat lucu dan cantik, membuatku selalu tersenyum tanpa sadar saat melihatnya.
Namun tentu saja senyum itu pudar saat aku kembali teringat jika benda ini adalah hadiah anniversary di hari kami putus. Jam tangan ini kata Mas Theo harganya cukup mahal, seharga sepatu kets yang pernah dibelikan Papa untukku. Jika ingat Bang Kefan menyuruhku membuangnya, aku jadi merasa tidak enak. Kino—anaknya Tante Sani yang berusia dua tahim di bawahku—menyarankan untuk menjualnya saja. Lumayan dapat uang. Namun aku tidak sekejam itu, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Goodbye (TAMAT)
General FictionNever Goodbye Di umur 24 tahun ini, kehidupan Lola Lolita sudah cukup sibuk. Mulai dari jadi komikus, drakoran, hingga fangirling. Itu sudah sempurna untuk jomlo sepertinya. Namun sejak tinggal di rumah Eyang, kesibukan Lola bertambah satu lagi. Mau...