01

861 200 22
                                    

Nanti mama mengundang kita ke acara makan malam keluarga.

Satu kalimat. Singkat, padat, dan jelas tanpa basa-basi keluar dari bilah bibir Veenan yang sekarang sedang sibuk membaca dokumen  berkaitan dengan pekerjaan. Pria tiga puluh dua tahun itu duduk di atas sofa dan mengenakan piyama tidur berbahan satin halus warna hitam. Sementara di depannya ada Rosey yang sama sibuknya menatap ke layar macbook di atas meja; dia  duduk di bawah, di atas karpet bulu berharga puluhan juta.

Seperti inilah keseharian mereka. Hidup membisu satu sama lain dan tidak berkomunikasi kecuali untuk hal-hal yang penting. Walaupun dua atma itu berdua seperti sekarang ini, mereka hanya akan saling diam atau lebih tepatnya Veenan sangat tidak menganggap keberadaan Rosey dan fokus pada kegiatannya sendiri. Tak ada bonding di antara mereka, tidak sama sekali. Hanya sandiwara yang sudah menjadi bagian hidup mereka di depan orang lain; terlebih kedua belah pihak keluarga.

Rosey mendengus, melepaskan kaca mata dipangkal hidungnya. Kepala wanita  itu mendongak. "Jam berapa mama menyuruh kita datang?"

"Jam delapan malam." Jawab sang suami singkat.

Tidak lama, Rosey lantas menutup macbook-nya. Dia mendongak ke atas ke arah Veenan yang berada di atas sofa. "Bisakah sebelum pergi ke rumah mama, kita mampir ke toko kue dulu untuk buah tangan?"

Veenan melirik sebentar, tangannya menurunkan jurnal di depan wajah dan dia menaikkan alis. "Baik, saya antar nanti."

"Terima kasih," Jawab Rosey tidak digubris oleh suaminya yang tanpa babibu langsung berdiri melangkah pergi dari ruang tengah tempat dua atma itu berada.

Dengan berat hati, Rosey menarik nafas panjang. Dia mendongak ke atas menahan bulir air matanya.

Veenan adalah cinta sejatiku, Rosey. Dicintai Veenan adalah kebahagiaan terbesarku.

Mendadak, tanpa diminta, kalimat dari mendiang kakaknya semasa muda membuat Rosey menitikkan air mata. Momen di mana dirinya belum mengenal siapa Veenan dan bahkan tidak tahu rupanya; sebab Rosey menjalani pendidikannya di luar negeri. Hanya cerita-ceritanya sang kakak dibalik telfon yang dia dengar perihal sosok Veenan.

Rosey perlahan duduk di atas sofa, tangannya mulai terkepal.

"Hidup menjadi bayanganmu adalah suatu penderitaan bagiku, Jena. Ini menyakitkan." Lirih Rosey menekan dadanya.

Mengapa dia harus berada diantara Veenan dan Jenari? Mengapa harus dia yang menggantikan posisi istri dari lelaki yang hatinya telah mati? Mengapa harus dirinya? Rosey tidak mengerti akan kesakitan apa yang akan dirinya hadapi lagi?

Selepas perseteruannya dengan isi hati, Rosey menderapkan langkah ke lantai atas menuju kamarnya yang kebetulan berada di sebelah kamar Veenan. Wanita itu berdiri di depan pintu, menatap pintu kamar Veenan yang tertutup rapat. Ada dorongan di dalam hatinya perihal apa yang ada di balik pintu itu? Selama ini jika keluarga mereka berkunjung, kedua atma itu menggunakan kamar Rosey untuk berpura-pura berada di dalam satu kamar yang sama. Namun saat mereka hanya berdua ; seperti saat ini—Veenan akan kembali ke kamar pribadinya yang tidak boleh orang lain masuki.

Ceklek... Rosey terperanjat kaget di saat pintu itu terbuka; sosok suami apatisnya keluar sembari menelfon seseorang. 

"Baik, saya akan ke sana. Tunggu sebentar." Veenan bercakap cakap dengan seseorang di balik panggilan dan dia sempat melirik pada Rosey sembari menjauhkan telfonnya.

"Saya ke rumah sakit sebentar. Nanti setengah tujuh saya jemput kamu ya di rumah." Ungkapnya, bergegas dia turun ke bawah.

Tanpa suara, Rosey hanya diam dan menatap kepergian Veenan dengan sayu. Dia menggeleng, hendak ambil langkah masuk ke dalam kamarnya, tetapi sudut matanya menangkap ke arah pintu kamar Veenan ; terbuka, agaknya lupa dikunci karena Veenan terburu-buru.

365 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang