03

689 177 22
                                    

Di kediaman Veenan, seseorang kini tengah meratap. Duduk di samping ranjang, menelungkupkan kepala di atas lutut. Rambutnya tergerai lurus dan matanya sembab lantaran isak tangis yang tidak henti-henti keluar dari bilah bibirnya. Ini sudah masuk hari ketiga selepas kejadian itu dan Rosey masih belum bisa berdamai dengan keadaan. Baginya, kesalahan ini sangat fatal apalagi menyangkut nyawa manusia. Rosey merasa amat bodoh, begitu berdosa karena tanpa sengaja membuat nyawa seorang anak yang dicintai orang tuanya itu harus menghembuskan nafas yang terakhir di atas meja operasi, serta karena tangannya.

Rosey bahkan membuat kegaduhan besar di Leuke hingga begitu banyak headline berita yang membahasnya, mempertanyaakan keahlian Rosey sebagai seorang dokter ahli di Leuke Hospital. Apakah karier yang sudah dibangunnya susah payah berakhir secepat ini? Rosey tidak mau, sangat tidak rela. Akan tetapi, kejadian kala itu masih menjadi momok baginya.

Sepuluh menit kemudian, akhirnya Rosey beranjak. Dia keluar kamar, menuruni satu persatu anak tangga kemudian berjalan menuju dapur. Ya naluri manusia; lapar. Rosey sudah dua hari tidak makan karena terlalu banyak menangis hingga kenyang sendiri. Sayangnya, perutnya tidak lagi dapat menahan.

Rosey membuka lemari es, dirinya mengambil sebotol air putih dan repotong roti.

Langkah gontai itu membawanya ke ruang tengah. Dia duduk terdiam di atas sofa. Selepasnya, dirinya lantas menyalakan TV. Namun, berita yang ditayangkan total membuat sekujur tubuh Rosey bergetar.

Kesalahan diagnosa, nyawa pasien melayang, dokter berinisial ARP yang mendapat penghargaan tahun lalu, kini dipertanyakan keahliannya sebagai dokter.

Klek. Veenan mematikan televisi itu dengan menekan tombol di bawah benda tersebut. Dia menatap Rosey yang menundukkan kepala. "Jangan melihat berita di media untuk saat ini."

Rosey mengangkat kepala. "Kenapa kamu membelaku?"

Tidak ada tanggapan, Veenan hanya menatap sayu. Veenan mengangkat  rahangnya. Dia berkata, "Saya hanya melakukan kewajiban saya sebagai seorang suami dan kepala keluarga sekaligus direktur yang tanggung jawab atas bawahannya."

"Apakah hanya itu?" Harapan Rosey adalah sedikit saja celah pintu yang bisa dia lalui guna masuk ke dalam hati Veenan.

Satu menit Veenan terdiam, tidak kunjung memberi tanggapan dan dia memilih melewati Rosey begitu saja guna menghindari topik yang cukup dia pahami akan dibahas oleh sang istri. Akan tetapi, Rosey mencekal tangan Veenan hingga sang empu mau tidak mau berhenti di depan wanita itu.

Veenan berkata, "Apa jawaban yang kamu inginkan Rosey? Jawaban jujur atau yang seperti apa?" Tanya pria itu datar, dingin, dan sorot matanya yang tajam.

"Veenan,"

"Saya membela karena saya peduli padamu Rosey." Ungkap Veenan di mana itu memberi sejumput harap bagi Rosey.

Wanita itu menarik senyum simpul. Sayangnya, karsa Rosey dipatahkan lagi oleh suaminya itu yang mulai melanjutkan lagi kalimatnya.

Veenan berkata demikian, "Saya — peduli padamu karena kamu adiknya wanita yang saya cintai." Ujarnya tak lama menghempas pelan tangannya Rosey dan bergegas pergi dari sana.

Patah. Itulah yang dirasakan Rosey. Hari harinya semakin patah serta dia hanya bisa meringis kesakitan. Jadi, sampai kapan nama Jena akan terus menjadi banyangan akan eksistensi Rosey? Mengapa Veenan terus saja melibatkan Jenari yang sudah tiada sebagai alasan kepeduliannya? Apa, Rosey tidak berhak dicintai karena dirinya sendiri?

××|××

"Hi sayang, bagaimana kabarmu?"

Veenan melatakkan bunga di atas pusara Jenari. Dia mengusap nisan di atasnya. "Aku merindukan kamu Jena, sangat rindu." Lirihnya. "Ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu. Keluh kesahku, dan semua masalahku."

365 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang