05

723 179 22
                                    

JORDAN LEUKE SALIM, putra bungsu keluarga Leuke itu adalah seorang dokter umum yang tak melanjutkan pendidikan spesialisnya lantaran dia terpincut dunia bisnis. Jordan lebih suka mengurus perusahaan farmasi keluarganya dibandingkan duduk di ruang dokter mengenakan jas putih seperti saudara-saudaranya.

Pria dua puluh delapan tahun itu tinggal di mansion utama, bersama ayah dan ibunya. Jordan menjadi satu-satunya yang memilih tetap di mansion, tidak seperti yang lainnya; sudah berpencar sendiri-sendiri pun seperti Leysa dan James yang masih lajang tidak mau tinggal dimansion utama. Barangkali karena itu juga, Jordan menjadi yang paling dekat dengan ayah mereka.

"Hm...hm..." Jordan bersenandung sembari merangkai bunga yang baru dia beli.

Tidak lama, mamanya mendatangi Jordan. "Wow, sejak kapan kamu suka bunga? Mulai ganti profesi menjadi florist?"  Mama duduk tepat di samping Jordan.

Jordan terkekeh, "Sejak mengenal orang yang suka bunga." Jawabnya santai.

Mama mengambil setangkai dan melihatnya seraya melukiskan senyum. "Kamu jatuh cinta ya?"

"Eh," Jordan terkesiap. "Tidak kok, memangnya kenapa?"

Menyodorkan setangkai di depan anaknya, mama berkata, "Ini bunga tulip merah, melambangkan cinta pada seseorang."

"Begitukah? Lalu jika aku memberi bunga tulip merah pada seseorang, itu seperti menyatakan cinta?" Sang putra bertanya-tanya.

"Iya. Di Persia, kalau kamu memberi bunga tulip merah, kamu berarti— menyatakan cinta pada orang itu."
Jelas mamanya.

Jordan menatap bunga yang sudah dia rangkai. "Bagaimana mama bisa tahu?" Tanyanya sekali lagi.

Mendengus kesal, Mama menjawab, "Ya mama tahu, lagian itu memang benar kok."

Mencebik, Jordan lalu memberikan tulip merah yang sudah dia rangkai pada mamanya. "Ya sudah ini untuk mama sajalah." Gerutunya.

"Eh, tidak jadi untuk orang yang buat kamu membeli ini?" Mama Meyla  penasaran. Tangannya mengambil bunga yang disodorkan itu.

Jordan meraup udara, "Tidak. Untuk mama saja." Berdiri, Jordan kontan menyambar jas kerjanya. "Sudahlah Jordan berangkat kerja dulu." Anak bungsu keluarga Leuke itu langsung melesat pergi dari sana.

Total membuat sang mama geleng geleng kepala. "Aneh sekali anak satu itu."

××|××

"Bi, apa istriku belum keluar dari kamar?" Veenan bertanya kepada bibi Ani yang sedang bersih-bersih.

Sedari kemarin, Rosey mengurung diri di kamar. Dia tidak turun sama sekali ke lantai bawah sekadar guna mengisi perutnya.

Sebenarnya, Veenan khawatir tetapi dia merasa berat untuk mengetuk pintu kamar Rosey menanyakan soal kondisinya.

Bi Ani menggeleng. "Tidak tuan, ibu tidak turun dari kemarin. Saya sudah membujuk beliau untuk makan. Tapi beliau tidak mengindahkan."

Mendengarnya, Veenan anggukan kepala. Hendak dia berbalik, tetapi sorot matanya terpaku pada banyak kardus makanan di dapur. "Kenapa banyak kardus makanan di sana?" Tanya Veenan menunjuk ke pantry.

"Oh, ini hari sabtu. Tuan tidak tahu jika ibu selalu berbagi makanan ke anak jalanan tiap hari sabtu? Ibu Rosey biasanya memasak sendiri, tetapi karena hari ini beliau tidak turun, saya yang memasakkan- kadang tidak hanya hari Sabtu. Saat bapak tak memakan masakan beliau maka ibu akan membungkus sendiri untuk dibagikan ke anak jalanan."

Tertegun, Veenan baru tahu perihal kegiatan sosial istrinya. "Semenjak kapan istriku melakukan ini?" Tanya Veenan, penasaran.

"Setahun lalu tuan, sejak anda dan beliau menikah." Jelas Bi Ani.

365 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang