Part 5

2.9K 216 16
                                    

SEKARANG.

"Lo dijual, Ra... Sama cowok lo." Dara nggak tau harus bereaksi apa. Dia cukup terkejut dengan kondisinya yang bangun dalam keadaan telanjang. Oh, itu belum cukup aneh, karena yang lebih aneh adalah Petra nggak ada dimanapun.

Dara nggak bisa menemukan baju, tas, dompet, bahkan ponselnya. Pintu kamar hotel dikunci dan ia nggak bisa menghubungi resepsionis untuk membantu.

Nggak ada yang bisa Dara lakukan selain meraung kencang diatas ranjang sambil mencengkram erat selimut yang membelit tubuh telanjangnya.

"Trus kenapa lo disini?"

"Gue jelasin kalau lo udah pakai pakaian yang bener, tunggu orang gue nganter."

Zevan meninggalkan Dara sendirian dikamar untuk merokok di balkon apartemen. Dilantai dekat dinding, ada dua gelas wine tergeletak, yang satu kosong dan yang satu masih terisi setengah.

Ia menutup pintu balkon agar asap tidak masuk kedalam kamar. Pemandangan dari sini nggak lebih baik dari pemandangan dari apartemennya dulu.

Satu dua hisapan membuat Zevan jauh lebih tenang. Dia cukup tergoda untuk meniduri Dara yang sudah 'siap' tanpa mengenakan apapun. Kalau saja ia 'membeli' Dara karena keinginannya dan nafsu semata, Zevan telah menerkam perempuan itu dan mengajaknya main hingga pagi menjelang.

Tapi ada nurani yang tersentil ketika melihat bercak air mata diwajah berantakan Dara.

Petra benar-benar brengsek.

Dara ada disini sebagai 'barang' pasti tidak akan mendapatkan sepeserpun uang. Kalau saja malam ini Zevan nggak datang ke club, apa yang akan terjadi dengan Dara?

Nggak ada yang tau.

"Van..." Sliding door terbuka, Dara berdiri ditengah pintu menatap punggung lebar Zevan. Kepulan asap masih tampak bergerak di udara sebeluh menghilang tertiup angin.

"Masuk, nanti lo masuk angin."

"Gue cuma mau ngucapin terimakasih." Zevan menjatuhkan puntung rokok yang tinggal setengah ke lantai, menginjak dengan ujung sepatu miliknya. Mata Zevan menelisik Tubuh Dara yang sungguh berantakan.

"Gue nggak ngapa-ngapain."

"Berapa uang yang udah lo keluarin buat nolongin gue?"

Zevan bergeming menatap Dara, kini Dara tak lagi kelihatan sedih ataupun murung. Ia sudah jauh kelihatan tegar. Mungkin telah menerima konsekuensi atas hubungannya dengan Petra dan mengabaikan peringatan Zevan tentang Petra.

"Gue beli lo karena gue mau make lo, nggak usah tau berapa harga yang gue Bayar buat milikin lo."

"Trus kenapa lo nggak make gue?" Dara tiba-tiba melepas selimutnya hingga berkumpul dibawah kaki telanjangnya.

Zevan melotot melihat itu.

Ia langsung bergerak mendorong Dara masuk dan menutup pintu balkon juga gorden dengan rapat. Bukan... Bukannya Zevan posesif, tapi ia nggak ingin Dara kelihatan murahan.

Orang yang tinggal di gedung sebelah bisa melihat Dara, apalagi dengan kecanggihan ponsel sekarang yang bisa memperbesar gambar hingga tampak jelas. Dara bisa kena masalah karena hal ini.

"Lo jangan gila anjing!" Seru Zevan yang kembali menyelimuti Dara tanpa berusaha mencuri lihat pada lekuk tubuh Dara yang sempurna.

Zevan nggak bohong kalau ia bilang Dara itu super cantik dengan rambut panjangnya. Ditunjang dengan lekuk tubuh yang terawat membuat laki-laki brengsek sepertinya nggak akan menolak jika sudah ditawari yang kedua kalinya.

"Gimana gue nggak gila? Gue dipukulin kaya binatang, sekarang dijual, gimana cara gue mempertahankan kewarasan gue?" Tanya Dara dengan begitu frustasi. Ia bukan marah, sedih atau terluka. Dara lebih ke... Mati rasa.

Sialan.

"Dara... Stop." Zevan memegang kedua tangan Dara agar berhenti menjambak rambutnya sendiri. Rasanya Zevan kembali terlempar ke masa lalu, saat ia menemukan adiknya mendadak murung dan tiba-tiba meracau, menghancurkan tubuhnya sendiri, menangis tanpa henti... Hingga bunuh diri.

Dara bukan adiknya, tapi kenapa sakitnya masih sama?

"Gue salah apa, Van? Gue salah apa sampai Petra ngelakuin ini ke gue?"

***

Arfa datang setelah Dara jauh lebih tenang. Perempuan berambut pendek ini sejujurnya heran saat mendapatkan perintah dari si bos untuk membeli pakaian wanita lengkap dengan pakaian dalamnya.

Setahunya, Zevan nggak sedang berkencan dengan siapapun, atau bahkan dekat aja enggak. Tiba-tiba mendapat perintah itu tentu membuat Arfa bertanya-tanya.

Ia nggak bisa melihat dengan jelas wajah si perempuan karena rambutnya yang berantakan, isakan tangis masih sesekali terdengar.

"Dia siapa, Van?" Tanya Arfa.

"Cewek yang gue 'beli' tadi." Arfa terkejut, Zevan telah meninggalkan kebiasaan itu sejak lama. Sejak menemukan Ameena meninggal tergantung diatas plafon kamarnya sendiri, dan setelah hasil autopsi keluar fakta mengatakan kalau Ameena tengah mengandung diusainya yang masih belia.

Parahnya Zevan nggak tau siapa laki-laki brengsek itu hingga sekarang.

"Lo?"

"Gue cuma bantuin dia, dia anak yang ngekos di tempat gue. Dijual sama cowoknya."

"Anjing! Serius?!" Apa nggak ada nasib yang lebih baik untuk perempuan itu? Cantik sih, tapi kalau nasibnya buruk? Mending jadi cewek biasa aja.

"Trus habis ini gimana?"

"Ya bawa balik ke kos lah, disini nggak aman buat dia."

Arfa setuju. Hotel ini bisa dibilang tempat transaksi ilegal dan akses nggak sepenuhnya diberikan pada Zevan selaku pembeli. Akan berbahaya jika bertahan disini semalaman.

"Tapi lo nggak niat make dia kan?" Arfa cukup mengenal Zevan hingga sanksi kalau 'menolong' yang diucapkan Zevan punya artian yang tulus. Kalau mau dipake juga, sama aja bohong. Hanya saja Dara lebih beruntung punya tuan cakep dan baik macam Zevan, walau mulut laki-laki itu sepedas cabe rawit gorengan pinggir jalan.

"Kalau dia mau, gue nggak akan nolak."

Obrolan berhenti saat Dara keluar dengan wajah yang lebih segar. Pakaian yang Arfa beli juga nggak buruk-buruk banget.

"Gue balik duluan, Fa... Lo telfon Nicho deh, kabarin kalau gue udah bawa Dara pulang."

Arfa mengacungkan jempol seraya menatap Dara terang-terangan. Dara memiliki kulit putih pucat, rambut hitam kecoklatannya tergerai sedikit berantakan, bibirnya yang pink membuat Dara seperti Barbie hidup.

Nggak heran kalau Zevan punya niat terselubung dengan dalih menolong. Perempuan ini tipe Zevan sekali.

"Nggak usah peduliin dia," ujar Zevan. Dara tampak risih dipandangi seintens itu oleh Arfa. Padahal mereka sama-sama perempuan.

"Kita pulang sekarang."

DARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang