Bab 4 | Dicuekin

549 78 19
                                    

Sejak insiden pura-pura pingsan Aksa diketahui oleh Arfan, lelaki itu terus mendiami Aksa sampai sekarang. Mulai dari bel pulang sekolah berbunyi, ketika duduk bersisian di dalam bus, ketika jalan kaki menuju rumah, sampai matahari mulai turun ke peraduannya pun lelaki itu masih saja diam. Selalu memasang muka datar ketika berpapasan dan pura-pura tidak dengar ketika Aksa mencoba membangun pembicaraan.

Aksa kesal, jelas. Sudah banyak usaha ia lakukan agar Arfan mau memaafkannya, tapi tetap saja gagal dan diabaikan. Memang sebegitu fatal kah kesalahan yang Aksa lakukan sampai memaafkan saja menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk diberikan. Artha saja bisa dengan mudah memberi maaf, mengapa kakaknya tidak bisa?

Apa sebegitu menyesalnya Arfan menolongnya? Apa sebegitu ruginya mengorbankan sedikit waktunya untuk menolong adiknya sendiri? Sebenarnya Arfan marah karena insiden tadi atau lelaki itu memang sudah menaruh benci padanya sejak awal dan menggunakan kesalahan tadi sebagai alasan untuk mendiaminya?

Aksa tidak tahu. Dua-duanya sama-sama menyebalkan.

"Bang, mau puding gak?" Aksa memamerkan sepiring puding ditangannya. "Gue nemu di kulkas, kata Bunda dari tetangga sebelah. Anaknya lagi praktik bikin puding, eh gak tahunya enak, jadi dibagiin ke tetangga. Kebetulan buatnya lumayan banyak." Aksa mengerjap polos. Hingga detik berjalan yang terdengar hanyalah detak jarum jam. Tidak ada balasan berarti dari Arfan, lelaki itu masih fokus pada gawai, seolah pertanyaan adiknya beberapa waktu lalu hanyalah angin lewat. "Kalau mau gue ambilin," sambung Aksa. Tetapi si kakak tetap tak menggubris. Aksa menggigit lidah, berusaha untuk tetap sabar menghadapi Arfan.

"Bang Ar, mau puding ng—gak ..." Artha membatu di tempat saat mendapati Aksa sudah memegang sepiring puding yang dihadapkan ke arah Arfan, tapi si kakak tampak masih asik bermain ponsel. "Oh, udah ditawarin toh," sambungnya, melanjutkan langkah dan mengambil duduk di sofa tunggal dekat Arfan.

"Belum, sini gue minta."

Aksa sontak ternganga mendengar balasan Arfan. Dia yang sejak tadi berusaha ngomong sampai mulutnya pegal saja tidak kunjung ditanggapi. Sementara Artha yang baru datang langsung disahuti tanpa usaha berarti.

Terus yang dari tadi ngomong itu siapa, anjir? Dedemit kompleks?

"Eh, kirain udah ditawarin Aksa." Artha terheran-heran. Enggan menanggapi, Arfan mencondongkan badannya lebih dekat dengan Artha lalu menyendok puding rasa mangga di piring adiknya itu.

Artha memandang Aksa yang sudah melirik Arfan dengan sebal, hidungnya kembang kempis menandakan betapa marahnya anak itu. Sepertinya Artha sudah tahu apa yang terjadi.

"Sa—"

Kalimat Artha terpenggal ketika yang mau diajak bicara tiba-tiba bangkit dan melangkah pergi dari ruangan. Artha menghela nafas, gantian memandang kakaknya yang tak berekspresi apa-apa.

"Bang, maafin Aksa, lah. Harusnya lo senang karena dia gak papa, bukannya malah diamin dia gini."

"Tapi dia udah bohong, lo tahu gue paling benci sama kebohongan, Ta."

Artha menghela nafas pendek. "Gue masih belum paham kenapa lo bisa benci banget sama kebohongan, Bang. Gue gak tahu masa lalu apa yang buat lo jadi kaya gini, karena lo emang gak pernah ngasih tahu gue ataupun Aksa. Tapi untuk kali ini tolong  maafin Aksa ya. Kayaknya dia gak sepenuhnya bohong." Arfan menyerngit tak paham. "Pas di UKS wajahnya emang pucat, gak deng, udah dari lapangan mukanya pucat. Terus dia bilang tadi pagi ban bus yang dia tumpangi pecah, Aksa harus jalan kaki—mungkin lari." Artha menjeda sebentar. "Lo lupa kalau fisik itu anak gak sekuat kita? Dia gak sekuat kelihatannya, Bang. Jangan terlalu keras, lah, sama Aksa."

Arfan tidak menjawab, tetapi kalimat Artha cukup mengusiknya. Ia kembali diingatkan dengan Aksa yang mengeluh pusing tadi pagi. Dan dengan bodohnya ia malah menganggap itu hanyalah alasan agar dirinya tidak marah. Ah, mengapa tiba-tiba Arfan jadi merasa bersalah?

Aksara SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang