Bab 6 | Setan Kecil

487 78 24
                                    

Karena akhir pekan, setelah menunaikan kewajibannya, Aksa kembali melempar tubuhnya ke atas ranjang—alias tidur lagi. Padahal Bunda selalu berpesan agar tidak tidur lagi setelah salat subuh, tetapi untuk hari ini Aksa terpaksa tak mengindahkan pesan Bunda karena kelopak matanya terlalu lengket untuk dibuka.

Hingga saat matahari mulai naik tidur Aksa pun terusik. Bukan hanya karena sinar matahari yang menyusup masuk lewat sela-sela jendela, tapi juga suara gaduh dari luar membuat kesadaran Aksa terkumpul dengan paksa.

Lantas Aksa meregangkan otot-ototnya yang kaku, menarik kedua tangannya ke atas sambil memejam dan menguap. Terus begitu sampai kesadarannya pulih sempurna. Karena nyawanya sudah terkumpul sepenuhnya, suara gaduh itu justru semakin jelas terdengar membuat Aksa mau tak mau harus membuka kedua kelopak matanya.

"Rame banget, pasar pindah ke samping rumah apa gimana, sih?" Aksa mendudukkan diri, sambil mengucek-ngucek mata Aksa mempertajam pendengarannya. "Dari lantai bawah?" gumamnya.

"Pasarnya di lantai bawah?"

Sepertinya nyawa Aksa belum kembali sempurna, buktinya anak itu masih melantur tidak jelas.

Karena penasaran, Aksa beringsut turun dari ranjang. Membuka gorden dan jendela lantas menghirup udara pagi yang masih segar. Hanya sebentar. Detik selanjutnya ia membawa kaki jenjangnya meninggalkan kamar untuk melihat kekacauan apa yang terjadi di luar.

——

Keluar dari kamar gaduh dari lantai bawah semakin jelas terdengar. Itu suara Artha dan Arfan yang bersahut-sahutan, meneriakkan nama seseorang yang sangat, sangat, Aksa kenal, tapi tidak pernah Aksa harapkan sosoknya datang.

"Ini gue gak salah dengar, kan?" gumam Aksa, masih memegang handel pintu kamar, maniknya menyisir lorong panjang yang menjadi penghubung kamar miliknya dan dua saudaranya. Lantai dua memang hanya diisi kamar anak-anak Bratajaya, dan satu ruang santai yang biasanya digunakan untuk sekedar menonton tv atau bermain oleh si kembar dan kakaknya, ruangan lainnya ada di lantai bawah. Makanya lantai dua diberi sebutan oleh Bunda sebagai 'kawasannya anak-anak'.

"Rea!"

"Rea ...."

"Anjir, beneran." Aksa sudah mempertajam pendengaran sampai mengorek telinga, tapi suara panggilan itu memang benar-benar nyata. Aksa bergidik. Hanya mendengar namanya saja sudah bisa terbayang bagaimana menyebalkannya anak kecil itu, apalagi saat melihat wujudnya langsung? Ah, kenapa anak itu harus datang, sih? Aksa pun merengek tanpa suara sampai tanpa sadar sudah menghentak-hentakan kakinya.

"Dor, Kak Aksa!"

Aksa terperanjat sampai memundurkan tubuhnya ke belakang, yang otomatis punggungnya harus terbentur pintu kamar—andai tidak sigap, Aksa pasti sudah jatuh terduduk sangking kagetnya—saat seorang gadis kecil berwajah tengil  sekonyong-konyong muncul di depan wajah Aksa.

Lebih menyebalkan lagi saat melihat gadis tengil itu malah tertawa puas alih-alih membantunya yang hampir terkena serangan jantung.

"Lo—" Menunjuk wajah Rea dengan kekesalan tingkat dewa, ingin mengumpat tapi mati-matian Aksa tahan. "siapa yang ngajarin ngagetin orang kaya gitu? Untung gue gak ada riwayat penyakit jantung, kalau ada, bisa yasinan nanti malam rumah ini."

"Maaf, sengaja." Rea tertawa. Dari dua saudaranya, Aksa memang yang lebih banyak omong, gampang emosian, makanya Rea senang sekali menjahili sepupunya yang satu ini. "Kak Aksa paling bagus reaksinya kalau dikagetin. Langsung marah-marah, Rea suka, hehe."

"Iya, lo seneng, karena ujung-ujungnya gue yang dituduh bentak-bentak lo, padahal lo sendiri yang mulai," kata Aksa dengan ketus. Menutup pintu agar si bocah tidak tiba-tiba nyelonong masuk, Aksa pun bertanya. "Ngapain lo di sini? Sejak kapan juga lo datang? Semalam rumah ini masih tenang."

Aksara SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang