Bab 10 | Khawatir

754 82 52
                                    


De Javu. Sepertinya baru kemarin Artha melihat Aksa terbaring lemah dengan mata tertutup di atas brankar. Lalu sekarang ia harus mendapati hal serupa. Bedanya, kemarin Aksa hanya berpura-pura.

Kalau boleh, Artha berharap yang kali ini Aksa juga sedang menipunya. Pura-pura pingsan hanya karena ingin menghindarinya. Namun, jarum yang tertancap pada punggung tangan Aksa tampak sangat berlebihan jika hanya untuk candaan.

Usai mendapat kabar kebetulan dari kawannya, Artha langsung menuju ke UKS dengan perasaan tak karuan. Rasa takut sekaligus cemas bercampur menjadi satu, membuatnya tak bisa berpikir jernih barang sebentar. Lorong koridor terasa sangat panjang sampai pintu UKS tak kunjung Artha temukan.

Sampai di UKS, Artha menemukan Aksa masih memejam. Kata Bu Mawar, Aksa sudah sadar, tapi efek obat membuatnya harus tidur lebih panjang. Ada sedikit rasa lega ketika Bu Mawar mengatakan Aksa baik-baik saja. Demam tinggi yang tidak cepat ditangani membuat Aksa jatuh tak sadarkan diri.

Sebelum melihat sendiri kembarannya membuka mata, kegundahan di hati Artha tidak akan hilang. Tapi kalau dibangunkan pun kasihan. Melihat garis halus pada dahi Aksa, yang menandakan anak itu tengah menahan sakit, membuat Artha tidak tega. Jadi yang bisa Artha lakukan hanyalah menunggu sembari terus memandangi wajah tanpa rona kembarannya.

.
.
.

Satu jam berlalu. Saat kesadaran Artha hampir direnggut oleh rasa kantuk. Pergerakan dari atas brankar membuat kesadaran Artha kembali.

Artha menegakkan badan, mencondongkan badan agar lebih dekat dengan Aksa.

Mata Aksa berkedut sesaat, sebelum akhirnya binar terang itu perlahan terlihat. Aksa memandang ruangan serba putih di sekitarnya dengan dahi menyerngit. Aksa kontan memegang kepala saat rasa pening tiba-tiba menyerangnya.

"Sa."

Aksa baru sadar jika dirinya tidak sendirian. Di samping kanan ada Artha yang memandangnya dengan senyuman. Seingat Aksa, dirinya sedang mengobrol dengan Leon dan Zidan di warung belakang, tapi kenapa tiba-tiba ia bisa berada di ruangan ini bersama Artha? Apa kakinya berjalan sendiri tanpa ia sadari? Konyol sekali.

"Aksa." Panggil Artha lagi, saat Aksa masih diam dengan sorot kebingungan. "Gimana perasaan lo seka—" Belum selesai Artha menuturkan kalimatnya, Aksa malah menarik selimut hingga menutupi kepala, tampak tidak ingin mendengarnya.

"Aksa?"

"Gue mau istirahat sendiri. Lo bisa balik ke kelas," kata Aksa.

"Gak. Gue mau temenin lo di sini." Artha menyahut cepat. Kalimat macam apa itu? "Gue udah nunggu lo bangun dari tadi. Lo tahu seberapa khawatirnya gue waktu tahu lo pingsan? Udah tahu badannya lagi gak baik-baik aja, kenapa maksain diri buat berangkat sekolah?"

Dari balik selimut Aksa merotasikan matanya. Malas sekali mendengar ucapan manis dari Artha. Bisa-bisanya dia mengatakan hal demikian, padahal situasi sebelum ini tidaklah sama. Sebelum ini semua orang memusuhinya. Termasuk dirinya. Artha lupa ingatan atau pura-pura tidak ingat? Aksa yang baru sadar dari kegelapan saja masih mengingat betul bagaimana tatapan angkuh itu menekannya.

"Gue baik-baik aja. Lo bisa pergi."

"Gak sebelum lo jelasin ke gue kenapa kabur pagi-pagi dalam kondisi badan lo kaya gini."

"Gue gak kabur." Aksa mengelak.

"Terus, pergi tanpa bilang siapa-siapa itu namanya apa kalau bukan kabur? Untung ayah lagi pergi, kalau enggak, lo pasti akan buat ayah marah lagi."

Aksa diam.

Benar, mobil ayah tidak ada di rumah sewaktu Aksa pergi tadi. Aksa sempat bertanya-tanya kemana orang tuanya pergi sepagi itu. Dan sekarang ia mendapatkan jawabannya. Jadi, apa ayah bunda belum pulang dari semalam? Mereka pergi kemana? Apa dirinya menjadi penyebab kepergiannya?

Aksara SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang