Bab 9 | Dirinya

774 91 51
                                    

Aksa sudah menduga hal ini akan terjadi. Lagi dan lagi, tubuhnya tidak bisa diajak kompromi. Usai membersihkan diri badan Aksa menggigil hebat. Seluruh sendinya nyeri bukan main dan kepalanya berdenyut menyakitkan. Kalau pada hari biasa mungkin tidak masalah, ada orang yang akan mengurusnya. Tetapi hari ini berbeda, semua orang sedang kecewa. Semua orang sedang marah padanya. Aksa tidak punya siapa-siapa untuk dimintai pertolongan.

"Dingin banget astaga, perasaan gak ada angin mas-suk." Aksa yang ada di dalam gulungan selimut mulai menggerutu. Pikirnya dengan berbaring begini rasa kantuk bisa membuatnya tidak merasakan sakit, tapi sialnya ia susah sekali untuk tidur. Dirinya terus terjaga. Seolah semesta memang ingin melihatnya tersiksa.

Setiap demam Aksa itu ketakutan. Pikiran buruk selalu membayanginya tanpa alasan. Aksa kerap berpikir jika sakit ini datang karena dosanya sangat banyak, mungkin menggunung. Karena itu juga ia sering ditimpa kesialan-nasibnya selalu sial, begitulah pikir Aksa. Jadi, sakit ini mungkin balasan dari Tuhan karena kesalahan Aksa tak termaafkan.

Seperti amarah Tante Sanas siang tadi. Itu bukan yang pertama. Aksa sudah tahu sejak lama kalau adik kandung ayah itu memang menaruh benci padanya. Entah karena apa. Mungkin Aksa pernah melakukan kesalahan di masa lalu. Kesalahan yang Aksa sendiri juga tak tahu letaknya dimana. Mungkin itu juga yang membuatnya tak termaafkan.

"Saya peringatkan, jaga sikap kamu karena kamu bukan siapa-siapa di sini."

"Bukan siapa-siapa. Ternyata Tante Sanas emang sebenci itu ya sama gue." Aksa menggumam. Kalimat tantenya kembali terngiang ditelinga.

Semakin dipikirkan malah semakin membuat perasaan Aksa tak karuan. Kepalanya sudah pening memikirkan badan yang tak kunjung baikan, ini malah ditambah dengan teki-teki kehidupan yang tak kunjung Aksa jumpai jawabannya. Aksa mengembuskan nafas panjang.

"Ini gak ada yang inget sama gue apa gimana sih?" Aksa mengarahkan pandang pada pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Sejak tadi belum ada satu anggotanya keluarganya yang datang untuk menjenguk. Bahkan Bunda dan Ayah malah pergi entah kemana dengan mobil. Bakda Magrib tadi Aksa sempat mendengar deru mesin mobil Ayah menjauhi pekarangan rumah. Bunda ikut, hanya tebakan Aksa saja. Kalau di rumah, seharusnya Bunda sudah datang kemari sejak tadi. 'Kan?

.
.
.

"Bang, beneran gak mau lihat Aksa dulu?"

Arfan berdecak saat Artha kembali menggaungkan pertanyaan yang jawabannya jelas-jelas sudah ia berikan sejak tadi. Tidak berubah. Namun, adik bungsunya itu terus mengulang hingga membuatnya kesal.

"Udah lima kali lo nanya ke gue, Ta. Dan jawaban gue tetap sama. Enggak," kata Arfan. "Biarin dia sadar dulu sama kesalahannya. Kalau lo terus-terusan bersikap lembut sama dia, ya dia gak akan pernah bisa berubah. Sekali-kali lo harus tegas. Kasihan sih kasihan, tapi gak dengan mewajarkan semua tindakan dia," imbuhnya panjang lebar.

Artha menunduk lesu sembari memainkan kuku-kukunya. Perbuatan Aksa yang kali ini memang agak keterlaluan hingga menyeret para orang dewasa untuk terlibat. Artha marah, jelas. Apalagi setelah melihat orang tuanya berdebat dengan Tante Sanas.

Namun, hati kecilnya tetap mengatakan, tidak seharusnya ia bersikap demikian pada Aksa. Artha ingin menemui Aksa. Artha tidak bisa marah terlalu lama pada kembarannya. Tetapi ucapan Arfan ada benarnya juga, mungkin karena ia selalu berpihak pada Aksa apapun keadaannya, itu membuatnya menjadi berani untuk berbuat yang tidak baik.

Jadi, apakah hari ini ia harus mengabaikan Aksa?

"Hari ini aja kalau diemin dia rasanya gak nyaman. Besok baikan. Seenggaknya kasih dia waktu buat menyadari kesalahannya." Melihat Artha hanya diam, Arfan kembali menambahkan.

Aksara SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang