Bab 7 | Hari Sial

418 65 20
                                    

(kalau lupa alur, buka bab sebelumnya yak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(kalau lupa alur, buka bab sebelumnya yak. selamat membaca)

——

Hari Minggu tiba, Aksa bangun dengan keadaan pegal disekujur tubuhnya. Sebenarnya hanya bagian punggung dan kaki, tapi entah mengapa anggota tubuh yang lain juga ikut-ikutan pegal. Mungkin karena mereka adalah satu kesatuan, dimana jika satu sakit maka yang lain akan ikut merasakannya.

Ini semua pasti gara-gara ulah si setan kecil, mengajaknya bermain—barangkali mengerjainya seharian tanpa tahu jika Aksa adalah satu dari sekian persen manusia lemah di dunia. Bukannya mau berlebihan, tapi Aksa pun mengakui kalau dirinya memang selemah itu.

Usai tidurnya terusik dengan denyutan kepala dipagi buta, Aksa memilih terjaga, tidak meneruskan tidur seperti akhir pekan biasanya. Selain karena badannya yang tak nyaman, Aksa juga tak merasakan kantuk usia terkena air wudu saat subuhan tadi. Ada hikmahnya, Aksa jadi bisa menjalankan nasihat Bunda agar tidak tidur usai menunaikan kewajiban subuh.

Sejak terjaga Aksa tidak keluar kamar. Lebih tepatnya sengaja tidak keluar kamar. Aksa hanya duduk di atas ranjang, memijat kepala dan badan sambil bengong dengan pikiran random. Iya random, apapun yang melintas dikepala akan Aksa renungkan.

Kali ini pintu kamar Aksa kunci, tidak mau memberikan celah sedikitpun bagi Rea untuk mengganggu harinya. Aksa berniat untuk mendekam di kamar seharian. Setidaknya sampai setan kecil itu pulang ke rumahnya baru Aksa mau keluar. Namun, sepertinya niat itu tidak akan terjadi karena belum setengah berjalan pintu kamar Aksa sudah digedor-gedor dari luar. Awalnya pelan tapi lama-lama jadi brutal, macam orang yang mau ngajak tengkar.

Aksa mendengkus di tempatnya.

"Aksa! Kenapa pintunya dikunci?"

Itu suara Artha, teriak-teriak sambil terus memukulkan tangannya pada pintu. Handel pintu juga terus bergerak-gerak, pertanda kalau pemuda itu tengah berusaha untuk membuka pintu. Tak heran mengapa suara Artha terdengar panik, karena sejak kecil Aksa tidak pernah sekalipun mengunci pintu—trauma pernah terkunci di dalam ruang gelap sendirian—kebiasaan itu terbawa hingga sekarang. Aksa selalu tidur dengan pintu sedikit terbuka.

Tetapi sekarang Aksa tiba-tiba mengunci pintunya, jadi jangan salahkan Artha jika dia mulai berpikiran yang tidak-tidak.

"Aksa, lo di dalam?"

"Aksa, lo dengar gue? Jawab sesuatu, dong."

"Aksa!"

"Berisik banget, sih, itu orang?" gerutu Aksa dari dalam.

Sementara di luar Artha masih berusaha memanggil kembarannya. Wajahnya menyiratkan kecemasan yang sangat, apalagi saat Aksa tak kunjung menyahuti panggilannya. Pikiran Artha mulai meliar, membayangkan berbagai kemungkinan buruk yang terjadi pada Aksa. Misalnya; bagaimana jika Aksa pingsan? Bagaimana jika Aksa terpeleset di kamar mandi? Bagaimana jika Aksa—tidak. Artha menggelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran-pikiran buruk di sana. Bisa saja Aksa sedang tidur makanya tidak menjawab panggilannya 'kan?

Aksara SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang