Bab 3 | Pura-Pura

525 77 20
                                    


"Aksa, sampai kapan mau pura-pura pingsannya? Saudara-saudaramu udah pergi kok."

Aksa mengulum bibir saat suara Bu Mawar—dokter UKS—menginterupsi. Sebelah matanya menyipit, mengintip situasi. Samar-samar, Aksa mendapati Bu Mawar tengah memandangnya dengan senyum simpul. Hela nafas pun lolos begitu saja dari bibir Aksa. Sudah begini, tak ada alasan lagi untuknya meneruskan sandiwara. Detik selanjutnya Aksa membuka mata, menerawang langit-langit ruangan serba putih itu.

"Kenapa harus pura-pura pingsan, sih? Menghindari hukuman? Tadi kakak kamu bilang kamu lagi dihukum hormat bendera."

Sebenarnya Aksa tidak sepenuhnya berbohong karena saat di lapangan tadi pandangannya benar-benar menghitam dan kakinya sangat lemas. Kesadarannya sempat hilang sesaat sebelum akhirnya ia mendapatkannya kembali saat sudah digendongan Arfan. Aksa sempat kebingungan saat tubuhnya berguncang dan merasakan sesuatu yang hangat menempel dipipi. Saat membuka mata ternyata ia berada digendongan Arfan yang berjalan-setengah lari, sementara pipinya menempel tepat di leher lelaki itu.

Merasakan kepanikan Arfan melalui hembusan nafasnya yang tak beraturan juga suara Artha yang terus memanggil namanya, dada Aksa menghangat. Selama ini Arfan selalu tampak tak acuh dan kejam. Untuk pertama kalinya Aksa melihat kepanikan Arfan untuknya. Tak mau melewatkan momen langka itu, Aksa memilih terus memejam sampai dirinya ditidurkan ke atas brankar.

Bu Mawar langsung menyuruh Arfan dan Artha keluar sambil meyakinkan jika Aksa akan baik-baik saja bersamanya. Arfan lantas berinisiatif membelikan Aksa makanan saat teringat anak itu sempat mengeluh lapar. Sementara Artha yang baru mengingat masih meninggalkan bukunya di lapangan buru-buru pergi ke sana dan berjanji akan segera kembali untuk menemani Aksa.

Aksa pikir sandiwaranya bisa berlangsung lebih lama, setidaknya sampai ia puas menikmati kekhawatiran Arfan—katakanlah Aksa kekanakan, tapi melihat Arfan bisa khawatir juga padanya setelah selama ini selalu condong kepada Artha, Aksa sangat bahagia. Itu artinya Arfan juga menyayanginya, kan?—tapi ternyata Bu Mawar sudah memergoki kebohongannya lebih awal. Sandiwara Aksa terpaksa harus berhenti di tengah jalan.

"Ibu tahu aja," kata Aksa setengah tertawa menanggapi pertanyaan Bu Mawar. "Pak Toto ngasih hukumannya bosenin, dikit-dikit hormat bendera. Saya udah khatam, Bu."

Bu Mawar tertawa mendengar jawaban tak biasa dari salah satu pasiennya ini. "Kamu, tuh, ada-ada saja. Kalau bosen dihukum ya jangan melanggar aturan, bukannya malah kabur dari hukuman," katanya menasihati. Aksa menyengir dan mengiyakan.

"Tapi muka kamu memang sedikit pucat, Sa. Memang lagi sakit apa gimana?" Mimik Bu Mawar berubah serius, meneliti rona pucat diwajah Aksa.

Aksa refleks meraba wajahnya. "Enggak kok, Bu. Saya emang putih dari pabriknya, jadi kesannya kaya pucat gitu." Lagi-lagi jawabannya sukses mengundang tawa dari dokter UKS itu.

"Banyak-banyakin makan sayur, jangan sering begadang, dan rutin olahraga ya, biar badannya gak gampang lemas. Tensi kamu agak turun tadi."

Aksa berdecak. "Ibu tahu aja kalau saya gak suka semua itu," keluhnya dengan bibir mencebik.

"Tahu dong. Saya, kan, dokter." Bu Mawar  meninggikan nada akhir kalimat yang membuatnya terkesan sedang menyombongkan diri.

Aksa terkekeh kecil. Usia Bu Mawar masih akhir dua puluhan,  membuatnya gampang akrab dengan pasien. Salah satunya dengan Aksa ini, yang beberapa kali masuk UKS untuk bersembunyi dari sesuatu, kejaran guru BK misalnya.

"Iya, iya, deh. Percaya," balas Aksa dengan sisa-sisa tawa.

"Ya udah, kamu istirahat saja dulu. Saudara kamu katanya mau ke sini lagi."

Aksara SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang