Bab 5 | Tak Sama

508 84 13
                                    


"Kalian nanti pulang duluan, gue ada urusan. Gak usah nungguin gue. Bilangin juga sama Bunda." Pesan Arfan saat bertemu dengan adik kembarnya di kantin. Si kembar mengiyakan saja, tidak terlalu memusingkan urusan apa yang membuat kakaknya harus terlambat pulang.

Omong-omong, Aksa sudah berbaikan dengan Arfan. Memang tidak secara gamblang karena Aksa belum menerima secara langsung maaf dari sang kakak. Namun, tadi pagi Arfan sudah mau diajak berbicara, tatapannya tidak setajam dan sesinis kemarin—sudah seperti biasanya, menyebalkan, tapi tidak lebih menyebalkan ketika lelaki itu hanya diam. Karena itu Aksa berasumsi jika kakaknya sudah memaafkannya—Hubungan mereka akhirnya kembali seperti semula. Jadi Aksa tak perlu bersusah-susah lagi membujuk kakaknya.

"Ta, menurut lo, Bang Arfan udah punya pacar belum?"

Aksa bertanya saat langkah mereka baru sampai koridor yang tak jauh dari pintu kantin. Mereka baru menyelesaikan kegiatan mengisi energi dengan semangkuk soto, sekarang hendak kembali ke kelas.

"Gak tahu. Kenapa emangnya?" Artha bertanya heran, tumben sekali Aksa menanyakan topik seperti itu.

"Gak papa, sih." Aksa terkekeh. "Tadi pas di kantin Bang Arfan, kan, bareng sama cewek, tuh. Kali aja diam-diam dia udah punya pawang."

"Bang Arfan datangnya gak cuma berdua doang kali. Ada teman-temannya yang cowok juga. Circle pertemanannya dia, kan, luas. Gak terbatas sama cowok doang. Jadi yang tadi itu biasa aja, belum tentu pacarnya," balas Artha.

Aksa pun manggut-manggut mengiyakan. Lagipula ia tidak terlalu memusingkan hal itu, hanya sekedar penasaran saja makanya bertanya.

"Selamat pagi, Bu."

Di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan Bu Sisil, guru matematika. Artha menyapa lebih dulu. Bu Sisil tampak ingin mengajaknya berbicara, jadi Artha menghentikan langkahnya. Begitu juga dengan Aksa yang ikutan berhenti, tidak mungkin ia berlalu begitu saja, kan?

"Pagi, Artha." Guru berjilbab hijau itu tersenyum manis, ditangannya ada beberapa tumpuk buku.

"Saya gak 'dipagi' juga, Bu?" Aksa pura-pura tersakiti.

"Yang nyapa saya, kan, cuma Artha. Kamu diam aja, ya gak saya balas." Bu Sisil menjawab ketus.

Tampaknya Bu Sisil masih mendendam pada Aksa. Beberapa hari yang lalu, saat Bu Sisil sedang mengajar kelasnya, Pak Jimy kebetulan tengah melewati koridor kelas X-C, kelas Aksa. Seisi kelas tahu jika Bu Sisil diam-diam memendam rasa pada guru olahraga itu. Namun, mereka diam, karena Bu Sisil yang memintanya begitu.

Tetapi Aksa itu berbeda, sesuatu yang dilarang malah membuatnya tertantang. Dan ya, anak nakal itu tahu-tahu sudah berdiri di depan jendela, menyembulkan kepalanya ke luar dan berteriak dengan kencang tentang rahasia yang sudah Bu Sisil wanti-wanti untuk tidak dikatakan.

Parahnya koridor saat itu tidak begitu sepi—kalaupun sepi dengan suara sekian oktaf dari Aksa tentu tetangga kelas pun bisa mendengar suaranya. Betapa malunya Bu Sisil kala itu, bahkan sampai sekarang ia masih tak berani menampakkan wajahnya di depan Pak Jimy. Semua itu karena Aksa.

"Selamat pagi, Bu Sisil cantik." Aksa lantas menarik senyum semanis mungkin, menyapa guru matematika itu selembut mungkin. Jawaban Bu Sisil tadi Aska anggap sebagai kode ingin disapa.

"Pagi." Namun, jawaban Bu Sisil masih sama ketusnya. Tidak apa, Aksa terkekeh menanggapinya. Sementara Artha hanya tersenyum tipis, merasa tidak enak pada Bu Sisil atas tingkah kembarannya.

"Ibu ada perlu sama saya?" Artha mencoba mencairkan suasana.

"Betul, saya ada perlu sama kamu, Artha." Bu Sisil kembali semringah. "Gini, kamu, kan, pintar di pelajaran saya ya. Saya mau nawarin kamu pelatihan untuk olimpiade di semester depan. Temannya banyak, nanti kami akan menyeleksi lagi." Bu Sisil menjeda dengan tertawa kecil. "Tapi kalau kamu saya sudah yakin tanpa seleksi," sambungnya dengan suara agak pelan. Seperti takut didengar yang lain. "Gimana, Artha?"

Aksara SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang