Part 1

331 5 0
                                    

Joano Putra, anak laki-laki berusia 6 tahun itu menodongkan sebuah permen kepada seorang wanita paruh baya yang kini tengah duduk di sebuah bangku taman seorang diri. Raut wajah wanita itu terlihat sendu, seperti orang yang baru saja menangis. Oleh karena itu, Joano memberikan permen kesukaannya, berharap bisa sedikit menghibur hati wanita itu.

"Permen ini enak banget loh, Tante." Joano berkata meyakinkan saat wanita itu tampak ragu menerima permen pemberiannya.

Wanita itu tersenyum kemudian meraih permen yang Joano ulurkan. "Makasih banyak, ya."

"Sama-sama, Tante." Joano menjawab sambil memamerkan senyum lebar di wajahnya.

"Kamu baru pulang sekolah?" Wanita itu bertanya.

"Iya, Tante. Aku baru pulang sekolah."

"Kamu kelas berapa?"

"Kelas satu, Tante."

Wanita itu menganggukan kepalanya. "Eh, Sini duduk." Ia bergeser beberapa senti dari tempat duduknya, lalu mempersilahkan Joano untuk duduk di sampingnya. Meski Joano seorang anak kecil, wanita itu tetap bersikap sopan selayaknya memperlakukan orang seusianya atau yang lebih tua darinya. Di dunia ini terkadang ada saja orang yang memperlakukan orang lain seenaknya hanya karena perbedaan usia, menuntut orang yang berusia lebih muda untuk menghormati yang tua, sementara yang tua tidak menghargai yang lebih muda, bahkan cenderung seenaknya, menjadikan usia sebagai tameng untuk menyerang. Memang tidak semua, tetapi juga tidak sedikit. Dan wanita itu mungkin bukan termasuk dari banyak orang yang menggunakan usia sebagai tameng.

Joano menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, Tante. Aku mau langsung pulang saja."

"Emang kamu tinggal di mana?"

"Di Panti Asuhan Cinta Mulia, Tante."

Wanita tersenyum lagi, kesedihan yang ia rasakan sebelumnya seolah hilang begitu saja setelah melakukan obrolan singkat dengan Joano. "Oh, kamu tinggal di sana?"

"Iya, Tante." Anak itu kemudian menatap ke arah seberang jalan dan menemukan teman seusianya berdiri sambil melambaikan tangan ke arahnya. "Tante aku duluan, ya. Teman aku sudah nungguin." Joano membalas lambaian tangan itu, ia kemudian berlari menjauh dari wanita itu.

"Kamu namanya siapa?!" Wanita itu berteriak.

"Joano, Tante!" Joano mengeraskan suaranya, berharap wanita itu bisa mendengar apa yang ia katakan.


***


"Kamu nurut apa kata Ayah dan Ibu baru kamu, ya. Jangan nakal. Jadilah anak yang bisa membanggakan keluarga." Pesan wanita paruh baya kepada anak laki-laki di hadapannya. Wanita itu adalah pengurus panti. Sambil menatap haru dan mengelus pipi si anak, wanita itu memberikan nasihat-nasihat panjang. Sepasang suami istri yang akan mengadopsi anak itu juga ikut menatap mereka penuh haru.

Sementara itu, dari balik jendela bangunan panti, Joano, juga tak kalah bahagia melihat teman senasibnya mempunyai orang tua baru. Akan tetapi, di sisi lain Joano juga bersedih karena harus berjauhan dengan temannya. Namun tidak apa-apa, itu adalah impian temannya, impiannya, juga impian anak-anak di panti ini untuk mempunyai orang tua baru dan menjadikan mereka dunianya.

Bukan hal baru bagi Joano untuk menerima kenyataan bahwa ia harus berpisah jarak dengan teman-temannya. Sebelumnya, Joano juga mempunyai teman-teman seumuran yang senasib dengannya, tapi satu per satu dari mereka akhirnya mempunyai kehidupan baru, kehidupan yang diimpikan oleh semua anak di panti ini, termasuk Joano. Namun, entah kapan kesempatan itu akan ada untuknya. Joano hanya bisa menunggu dan menunggu sampai hari itu tiba, atau tidak sama sekali.

Hari-hari telah berganti, Joano sudah terbiasa berangkat dan pulang sekolah tanpa kehadiran teman-temannya. Hari ini pun sama, sepulang sekolah anak kecil itu menyusuri taman sambil bersenandung ria.

Aku adalah anak gembala

Selalu riang serta gembira

Karena aku senang bekerja

Tak pernah malas ataupun lengah

Tra la la la la la la

Tra la la la la la la

"Halo, Joano. Baru pulang sekolah, ya."
Suara itu menghentikan langkah juga senandung Joano, anak laki-laki itu mencari sumber suara dan menemukan seorang wanita tengah duduk di bangku taman. Itu adalah wanita yang Joano temui beberapa waktu lalu. Wanita dengan wajah sendu yang duduk di bangku taman yang sama, wanita yang ia beri permen kesukaannya.

Joano tersenyum merekah. Meski ini baru pertemuan kedua dengan wanita itu, tapi ia merasa sudah mengenal lama wanita itu. Terlihat lucu memang, padahal sampai sekarang saja Joano belum mengetahui siapa nama wanita itu, tapi ia merasa sudah akrab juga familiar dengan wanita itu. Dan, Joano pikir wanita itu juga merasakan hal yang sama, itu terlihat bagaimana wanita itu terlihat antusias saat bertemu dengannya. Yah, kenyataannya di dunia ini memang ada pertemuan-pertemuan seperti itu. Pertemuan yang baru sekejap, namun mempunyai kesan yang mendalam. Begitulah hubungan itu terjalin, hubungan yang nanti akan semakin kuat dan semakin kokoh.

Joano berlari menghampiri wanita itu. "Halo, Tante. Seneng banget bisa ketemu Tante lagi."

"Tante juga seneng banget bisa ketemu Joano lagi. Kamu gimana kabarnya?" Wanita itu bertanya.

"Baik, Tante. Tante gimana kabarnya?"

"Kabar Tante juga baik." Balas wanita itu sambil menyungging senyum di bibirnya. "Oh ya, Tante punya hadiah lucu loh buat kamu."

Selagi wanita itu merogoh tasnya untuk mengambil hadiah yang dimaksud, Joano hanya terdiam sambil menatap wanita itu tidak mengerti. Hadiah?

"Ini dia." Wanita itu mengeluarkan gantungan kunci berbentuk permen bungkus warna-warni. "Tante lihat gantungan ini di salah satu toko saat perjalanan pulang kerja, saat melihat gantungan ini tiba-tiba Tante teringat sama Joano. Terima kasih banyak ya permennya, berkat permen yang kamu berikan pada Tante, Tante jadi semangat lagi menjalani hidup Tante."

Joano tidak mengerti, untuk anak seusianya ucapan wanita itu terlalu rumit untuk dimengerti, terlalu sulit untuk dipahami. Yang Joano paham wanita itu mengucapkan terima kasih kepadanya, meskipun permen itu bukanlah sesuatu yang istimewa.
Joano menerima gantungan itu lalu berseru ria. "Terima kasih gantungannya Tante, gantungannya bagus banget!"

Wanita itu tertawa, tampak puas karena Joano sangat bahagia dengan hadiah pemberiannya.

"Di sekolah tadi kamu belajar apa?" Wanita itu kembali membuka pertanyaan.

"Joano belajar penjumlahan dan pengurangan, Tante. Susah banget."

"Oh, ya? Kamu sudah belajar sampai sana?"

"Sudah, tapi susah." Keluh Joano lagi kemudian tertawa di akhir kalimatnya.

Obrolan berjalan seru, keduanya semakin dekat. Joano juga sudah mengetahui nama wanita itu, ia adalah Helen Ayudia. Wanita yang bekerja tak jauh dari taman ini. Setidaknya itu yang Joano tahu mengenai identitas wanita itu. Perihal apa pekerjaannya, Joano tidak tahu, lebih tepatnya tidak mengerti apa yang Helen ucapkan meski wanita itu sudah menjelaskan.

Walaupun hanya sebentar, tapi keduanya mulai bertemu setiap hari di tempat yang sama. Mengobrol tentang ini dan itu, terkadang Joano bercerita tentang apa yang terjadi di sekolah, terkadang Helen bercerita tentang dongeng di masa kecilnya, terkadang ia juga bercerita tentang apa yang ia alami semasa kecilnya. Wanita itu pintar sekali menyesuaikan obrolan dengan  lawan bicaranya. Hingga sampai hari itu tiba, hari dimana Joano sudah tidak pernah datang lagi ke taman, tidak pernah lagi bertemu dengan wanita bernama Helen Ayudia.

Sunda Manda [COMPLETED]Where stories live. Discover now