Part 40

45 5 0
                                    

Bianca meletakkan dua bungkus roti serta satu botol air mineral di hadapan Luna yang sedang membaca buku di bangkunya.

Istirahat sedang berlangsung, semua anak-anak keluar kelas untuk menghilangkan rasa penat karena belajar berjam-jam. Namun, pengecualian untuk Luna. Ia terlalu malas untuk menggerakkan tubuhnya beranjak dari tempat duduk.

"Dari Joano." Kata Bianca. Ia kemudian duduk di samping gadis itu. Mengambil cermin berukuran mini dari sakunya lantas memeriksa beberapa bekas jerawat yang beberapa hari lalu menyerang wajahnya. "Tumben lo baca novel. Biasanya belajar mulu."

"Lagi pengen aja." Jawab Luna singkat. Gadis itu mengambil sebungkus roti, membukanya kemudian melahapnya dengan nikmat.

Bianca menghentikan aktivitasnya sebentar lalu menoleh ke arah Luna. "Oh ya. Lo udah baikan sama Joano?"

Luna menutup bukunya lantas mendengus pelan. "Nggak seburuk kemarin-kemarin sih."

"Kenapa lo marah segitunya sih? Dia kan khawatir sama lo. Iya, gue percaya sama Daniel. Tapi kan beda sama Joano. Joano itu cowok, biasanya kalau sesama cowok itu agak sensitif. Apalagi menyangkut sahabatnya sendiri, susah buat percaya pokoknya. Jujur nih ya, waktu lo bilang kalau Joano lebih baik nggak usah ikut campur urusan lo sama Daniel itu agak keterlaluan deh. Gimana pun kan Joano yang selalu ada buat lo, pasti dia khawatir kalau lo kenapa-kenapa."

"Jujur gue malah merasa bersalah sama lo karena jodoh-jodohin lo sama Daniel. Bukan gue nggak percaya sama Daniel, tapi karena itu malah buat lo sama Joano makin jauh. Gue kira bakal baik-baik aja, tapi malah hubungan lo berdua jadi gini. Sorry ya."

Luna menghela napas berat sambil menundukkan kepalanya. "Kenapa lo minta maaf sih. Kan emang gue yang waktu itu pulang larut. Sebenernya gue jalan sama Daniel bukan karena lo jodoh-jodohin gue sama dia, Bi. Gue emang lagi banyak pikiran aja, trus karena Daniel tahu tempat-tempat yang seru, makanya gue nggak keberatan. Selain itu, Joano juga sering pergi sama teman-temannya, jadi gue nggak tahu harus ngapain pas di rumah. Gue kira pergi sama Daniel bakal ngalihin pikiran gue, tapi yang ada malah nambah masalah baru."

Bianca mengangguk paham. Tentu, ia tidak akan bertanya pada Luna mengenai permasalahan apa yang menimpa gadis itu, karena ia tahu Luna tidak akan menceritakan masalahnya selain pada Joano. "Kalau gitu coba aja bilang sama Joano kalau lo butuh waktu dia. Lo butuh dia buat dengerin cerita lo. Nggak mungkin kan kalau dia nolak?"

Luna tak menjawab. Ia justru tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Malam itu, seharusnya Luna tidak marah pada Joano yang mengkhawatirkannya karena pulang larut malam, seharusnya Luna tidak mengatakan hal-hal bodoh tentang Joano yang tak perlu mencampuri urusannya dengan Daniel, tentang perkataannya yang mengatakan bahwa kehidupannya bukan tentang Joano.

Luna salah, kenyataannya kehidupannya berputar pada Joano. Hidupnya tak bisa jauh dari lelaki itu. Joano adalah tempat ia bersandar, tempat ia pulang. Joano adalah rumahnya.

Bel masuk berbunyi, semua siswa masuk ke dalam kelas. Tidak sampai satu menit, wali kelas masuk dengan membawa beberapa perlengkapan mengajar.

"Selamat siang anak-anak." Seru wali kelas 3-1.

"Siang, Bu." Jawab para murid serempak.

"Hari ini akan saya bagikan hasil ulangan kemarin! Kalian ini benar-benar sangat mengecewakan! Bagaimana bisa lebih dari setengah jumlah kalian ulangannya hancur! Kalian ini pada belajar nggak sih?!"

"Belajar, Bu." Jawab para murid serempak lagi.

"Terus kenapa nilainya pada jelek begini? Huh?"

Diam, tidak ada yang menjawab.

"Luna!"

Semua orang menoleh pada gadis itu.
"Kamu itu kenapa ulangannya semakin hari semakin buruk? Nanti pulang sekolah kamu temui saya di ruang guru!" Titah wali murid tanpa basa-basi.

"Baik, Bu." Jawab Luna singkat.

"Sekarang buka halaman 103. Yang tidak membawa buku, langsung keluar! Berdiri di depan kelas!"

Satu-dua murid langsung sadar diri untuk keluar kelas. Wali kelas kemudian memulai proses belajar-mengajar.

***

Setelah bel pulang berbunyi, Joano lantas mengikuti Luna pergi ke ruang guru. Sebelumnya, lelaki itu sempat dihadang oleh Mike dan Alfian. Mereka ingin mengajak Joano pergi bermain, namun segera ditolak oleh Joano, bahkan ia sempat memarahi Mike dan Alfian karena berkali-kali memaksanya untuk ikut bersama mereka.

"Luna! Ibu sangat kecewa sama kamu. Kamu bilang ingin berhenti ikut lomba supaya kamu bisa fokus sama ujian nasional nanti, tapi apa yang kamu lakukan sekarang? Nilai kamu bahkan turun drastis, bukan cuma satu atau dua pelajaran ya nilai kamu turun. Kok kamu malah jadi begini? Kamu niat belajar buat ujian nasional nggak sih?"
Luna menunduk, tak menjawab.

"Apa ada yang bikin kamu terganggu dan tidak bisa belajar?" Lanjut wali kelas.

Luna masih diam, toh kalau pun ada wali kelasnya itu tidak akan bisa membantunya. Buat apa membuang energy untuk memberi panjelasan yang sudah tahu jawabannya?

"Apa ada yang bisa Ibu bantu?"

Tidak. Apa kalau Luna cerita tentang Ayahnya yang berselingkuh akan membuat mereka berpisah? Tidak, kan? Menceritakan masalah keluarganya pada orang lain hanya akan memberi citra buruk pada keluarga Luna. Tidak mungkin ia menceritakannya.

"Luna, apa ada yang bisa Ibu bantu?"

Belum sempat Luna menjawab, seseorang mengetuk pintu ruang guru. Ialah Joano.

"Iya, Jo. Kenapa?"

"Permisi Bu. Saya mau nanya soal."

Sedari tadi, Joano menunggu Luna di depan ruang guru. Sedikit banyak ia mendengar keluh kesah Wali kelas terhadap Luna. Namun, Joano mulai terusik saat Wali kelasnya itu mulai menanyakan permasalahan Luna.

Ya, sebagian guru memang seperti itu. Dan pertanyaan semacam itu bisa membantu para murid yang sedang berada dalam masalah, tapi kali ini berbeda. Luna bukan tipe orang yang akan menceritakan kisah hidupnya pada orang yang tidak benar-benar ia kenal. Bahkan Luna akan memilih dengan siapa ia bercerita.

"Soal apa? Apa tidak bisa ditanyakan besok saja?" Ujar Wali kelas.

Joano meringis. "Tidak bisa, Bu. Soalnya besok saya mau belajar materi yang lain."

Wali kelas menghela napas panjang. "Ya udah sini."

Tentu saja Wali kelas mengizinkan. Selain Luna, Joano juga murid berprestasi, pialanya di rumah juga tak kalah banyak. Di bawah Luna, ada Joano yang bertengger namanya di posisi nomor dua.

"Kamu sudah bisa pulang Luna. Tolong ya, nilai kamu jangan sampai turun lagi." Pinta Wali kelas.

"Iya, Bu. Saya permisi." Kata Luna lalu undur diri. Keluar dari ruang guru.

Sementara Wali kelas sedang menjelaskan, Joano berusaha untuk menyimak. Sesekali ia mengajukan pertanyaan yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya.

***

Sunda Manda [COMPLETED]Where stories live. Discover now