Bab 10

2.2K 372 24
                                    

Happy reading, semoga suka.

Full version sudah tersedia di Playstore dan Karyakarsa.

Tersedia paketnya di Karyakarsa. Just search my name.

Enjoy

Luv,
Carmen

________________________________________

Hari berikutnya, Putri Aisha menyelesaikan pelajarannya lebih cepat karena kakek dan neneknya dari pihak sang ibu datang berkunjung dan menginap di rumah kediaman Sang Sultan di kota sebelah. Sementara aku bebas tugas, aku bermaksud menikmati waktu dengan menjelajah padang pasir. Tapi sayangnya, saat aku mengutarakan niatku pada Salma dan bertanya apakah mungkin aku bisa meminjam jeep atau sejenisnya untuk bepergian, jawaban wanita itu sungguh mengecewakan. Di belahan dunia ini, wanita sangat tidak disarankan untuk bepergian tanpa ada yang menemani dan aku juga tidak benar-benar diizinkan mengemudi di sini. Kecewa, aku pun kembali ke kediamanku.

Tak lama, seorang wanita datang membawa kabar bahwa aku diizinkan untuk keluar menjelajah padang pasir tapi dengan ditemani salah satu staf istana. Mobil jeep sudah disiapkan, begitu juga staf yang akan menjadi pengemudi sekaligus pemanduku dan kami bisa berangkat setengah jam kemudian.

Aku buru-buru berganti pakaian. Menurut Jamilah, sangat tidak praktis mengenakan gaun Arab ke padang pasir dan aku tentu saja setuju dengannya, jadi dia memilihkanku celana jins yang praktis dan kaus berlengan panjang yang nyaman. Jamilah memasukkan seledang ke dalam tasku, dan berkata bahwa mungkin saja aku membutuhkannya. Lalu membantuku mengenakan abaya hitam beserta penutup kepala dan wajah.

Saat naik ke dalam jeep, seorang pria sudah duduk di balik kemudi dan sedang menatap ke arah lain. Aku masuk dan duduk di belakang jeep, diam dan menghindar bertatap mata dengan pria itu. Aku diberitahu bahwa wanita-wanita di sini tidak boleh bertatap mata secara langsung dengan para pria karena hal itu tidaklah pantas, demi menghindar dari hal-hal yang tak diinginkan. Tanpa kata-kata, pria ita lalu menghidupkan mesin dan melajukan kendaraan. Dua puluh menit kemudian, jeep itu berhenti di tepi jalan yang sepi dan pria di balik setir itu mulai berbicara dengan suara yang selama berminggu-minggu ini mendominasi pikiran dan fantasiku.

“Aku sudah memberi perintah pada Jamilah agar mendandanimu dengan pakaian yang cocok untuk dikenakan di padang pasir. Kita tidak akan bertemu siapa-siapa di sini, jadi kau boleh melepaskan abayamu. Tapi tidak perlu melepaskan penutup wajah dan kepalamu, karena sinar matahari di sini akan menyakiti kulit pucatmu. Saranku, sebaiknya kau juga mengenakan selendang tambahan untuk menutupi kepalamu lagi.”

Aku membatu sejenak, karena terkejut. Lalu pria itu keluar dan aku buru-buru mengikutinya, lebih karena aku ingin memastikan bahwa aku sedang tidak berkhayal. Aku berdiri tercengang menatap pria itu yang sedang melepaskan jubahnya dan dibalik itu, dia mengenakan setelan barat biasa, celana hitam dan kemeja putih berlengan panjang dengan beberapa kancing teratas yang terbuka memamerkan rambut-rambut hitam di atas dada kecokelatannya yang kekar. Dia tidak melepaskan penutup kepalanya dan kembali memberiku isyarat agar aku menutupi kepalaku dengan selendang tambahan.

Begitu kesadaranku pulih, aku membuka mulut. “Terima kasih, Yang Mulia,” ucapku setelah melepaskan abaya yang kukenakan dan menambahkan selendang untuk menutupi kepalaku. Pria itu benar, tempat ini rasanya beberapa kali lebih panas daripada di kota.

“Untuk apa?” tanyanya heran.

“Karena bersedia meluangkan waktu menemaniku berjalan-jalan,” jawabku dan entah kenapa merasa tersipu.

“Sama sekali bukan masalah, Savannah. Saat aku diberitahu bahwa kau ingin perlu menjelajah padang pasir, aku mengutuk diriku sendiri karena tidak berpikir untuk menawarkan diri membawamu ke sini. Bagaimana bisa aku membiarkan seorang wanita secantik dirimu melewatkan pemandangan indah negeri ini?”

Aku suka caranya menyebutkan namaku. Kedengarannya lebih sensual dan berirama indah. Oh, apa sih yang kau pikirkan, Savannah? Dan berhentilah menatap mata pria itu. Ingat, itu tidak pantas!

“Jadi, semua tanah di tempat ini, semuanya adalah milik Yang Mulia?” tanyaku ketika kami kembali berkendara. Kali ini aku duduk di sampingnya. Begitu pertanyaan itu keluar dari mulutku, aku merasa sedikit tolol.

Agaknya pria itu juga beranggapan demikian. Aku mendengarnya mendenguskan tawa geli. “Bagaimana mungkin seorang pria biasa sepertiku menjadi pemilik semua tanah dan pemandangan indah di tempat ini? Semua ini adalah milik Yang Di Atas. Sedangkan aku hanya dititipkan kepercayaan untuk memimpin negeri ini dan meneruskan kejayaannya pada generasi di bawahku.”

Kami kembali berkendara dalam kebisuan. Terkadang berhenti sejenak ketika Sang Sultan menunjukkan beberapa landmark yang menurutnya menarik untuk kulihat. Di kesempatan-kesempatan itu, saat dia mencoba menunjuk keluar melewati jendela di sisiku, aku pelan berdebar karena kedekatan kami. Bahu kami bersentuhan, aku bisa merasakan telapaknya yang menekan punggungku pelan sementara mulutnya hanya berjarak beberapa inci dari telingaku.

Sejujurnya, aku tidak bisa lagi berkonsentrasi dengan apa yang kulihat atau apa yang sedang dijelaskan oleh pria itu karena kedekatan kami membuat nadiku kacau. Aku bisa menghidu aroma maskulin pria itu dan aroma mewah dari sabun mandi dan aftershave yang dipakainya. Aku menarik napas dalam dan memutuskan menyukai aromanya.

Sultan's Forced WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang