Happy reading, semoga suka. Full story sudahtersedia di Playstore dan Karyakarsa.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sekalian mau info kalau ada ceritabaru di Karyakarsa ya, temanya : winter love story, ini novella pertama dari 3 novella, baik novella On a Snowy Night dan paketnyasudah available di Karyakarsa.
Rating : Mature 21+
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Enjoy
Luv, Carmen
_________________________________________
Saat berjalan memasuki ruangan, reaksi pertamaku adalah tercengang. Tapi aku berusaha menutupinya. Ruangan itu tampak sepuluh kali lebih mewah, lebih megah dan besar. Tapi perhatianku teralihkan oleh orang-orang yang mengisi ruangan itu. Tampak lebih seperti ruangan rapat megah dengan meja oval raksasa dan kursi-kursi megah, orang-orang yang duduk di sana membuatku kecut. Mereka pastinya bukan orang sembarangan karena bisa duduk semeja dengan Sang Sultan.
Tidak mudah menemukan pemimpin Qatabyar. Duduk di ujung meja yang megah itu, di kursi kebesarannya, dengan balutan pakaian hitam dan emas, karisma pria itu sangat menonjol. Wajahnya kuat dan berkarakter dengan sepasang mata hitam tajam yang seakan menusuk ke dalam diriku. Di sekelilingnya, duduk para pria yang sedang sibuk menulis sesuatu, berdiskusi pelan, jelas menunggu pria itu mengatakan sesuatu. Namun saat aku berjalan mendekatinya, mereka semua diam seolah memberi ruang bagi kami untuk berkomunikasi.
“Yang Mulia Sultan Zayn al-Din Al Qurtubbi?” Aku sedikit gugup, tak yakin apakah aku menyebut namanya dengan benar atau bagaimana harus bersikap saat bertemu dengan sultan itu. Belum ada yang sempat mengajariku soal itu.
“Yang Mulia sudah cukup,” ralat pria itu dengan akses Bahasa Inggris kelas atas yang sempurna. “You may bow down before me.”
Seolah dilecut oleh kata-katanya, aku bergegas berlutut dan menyembah pria itu.
“Bangunlah,” ujarnya lagi dengan suara dalam yang serak tetapi khas.
Aku mengangkat kepalaku pelan lalu kembali berdiri.
“Jadi kau adalah Savannah Cavill?”
Pertanyaannya itu sebenarnya tidak membutuhkan jawaban tapi aku tetap mengiyakan. “Benar, Yang Mulia.”
Mata kami bertemu dan aku berusaha keras untuk tidak mengalihkan tatap.
“Kau ada di sini untuk menyiapkan putriku menghadapi Eton,” tambahnya lagi.
Kembali aku mengiyakan, “Ya, benar, Yang Mulia.”
Pria itu mengangguk. “Baik. Aku tidak bisa menerima kegagalan. Sebaiknya kau ingat itu baik-baik. Putriku hanya boleh mendapatkan skor 100% dalam tesnya nanti.”
“Bukankah itu cukup berat untuk seorang gadis kecil, Yang Mulia?” Aku memberanikan diri bertanya.
“Dia bukan gadis kecil, dia putri kerajaan. Ayahnya mampu, kakeknya dulu juga meraih skor 100% maka dia juga harus mendapatkan skor yang sama. Tidak ada tawar-menawar lagi.” Dan aku tahu itu adalah akhir dari diskusi. “Kau akan makan malam bersamaku. Ayo.”
Sang Sultan berdiri dan memberi isyarat agar aku mengikutinya. Kami berjalan memasuki ruangan yang lebih kecil dari ruangan tadi. Aku melihat sebuah meja dengan hidangan-hidangan menarik mata di atasnya. Setelah para pelayan memastikan kami mendapatkan semua yang kami butuhkan, mereka lalu meninggalkan ruangan. Sang Sultan kemudian mengembalikan perhatiannya padaku.
“Sekarang hanya ada kita berdua. Lepaskan abaya-mu, juga cadar serta penutup kepalamu dan biarkan aku melihatmu dengan jelas.”
Aku langsung mengerti bahwa pakaian hitam yang kukenakan ini adalah abaya. Aku melakukan persis seperti yang diperintahkan pria itu, merasa senang karena aku bisa menyingkirkan lapisan pakaian ini. Diam-diam, aku menyadari sudut bibir pria itu sepertinya tertarik membentuk senyuman tipis. Tapi aku tidak begitu yakin, karena mata hitamnya masih menatapku tanpa emosi dan wajahnya yang keras dipenuhi cambang dan janggut membuatku sulit menangkap gerakan wajahnya apalagi membaca ekspresinya.
“Mata biru serta rambut pirang emasmu cocok sekali dengan pakaian yang kau kenakan sekarang. Warna merah dan emas adalah warna yang kuat, aku kaget untuk seseorang sepucat dirimu, warna-warna itu justru tampak sangat bagus di kulitmu.”
Aku tidak yakin apakah pria itu sedang memujiku atau sedang mencela kulitku yang baginya tampak terlalu pucat tapi nadanya tidak seperti celaan. Jadi mungkin ini adalah semacam pujian. Aku menurunkan tatapanku darinya dan tersenyum kecil untuk menampilkan rasa terima kasihku atas kata-katanya. Sepertinya reaksiku ini membuat pria itu puas.
“Kau memiliki sopan santun seperti layaknya seorang wanita Arab, tapi kau berasal dari Barat di mana para wanita biasanya diajari untuk menjadi liar dan bebas, dalam segala arti.”