Happy reading, semoga suka.
Full version sudah tersedia di Playstore dan Karyakarsa ya. Adult Dark Romance.
Follow aku di KK ya : carmenlabohemian
Enjoy,
Luv,
Carmen
____________________________________________________________________________
Kami tiba di oasis padang pasir yang sangat indah dan hanya pernah kulihat di film-film ketika hari sudah beranjak sore. Tercengang dengan kehijauan tempat ini di antara tanah-tanah tandus yang tak terbatas itu, aku bahkan sampai melepaskan napas kecil.
"Oh, it's beautiful, Yang Mulia."
"Ada yang lebih indah dari ini," jawab pria itu dengan nada misterius sambil menatap ke dalam mataku. Aku tidak bisa menemukan balasan. Aku tidak tahu apa yang dimaksudkan pria itu. Apakah itu artinya aku? Atau maksudnya tenda besar mewah yang sedang kami masuki? Aku tidak percaya ada tenda sebesar dan semewah ini berdiri di tengah padang pasir kering dan panas ini sampai aku melihatnya sendiri. Tempat itu dilapisi permadani merah emas khas Arab yang sangat tebal. Lentera-lentara keemasan dengan ukiran Arab yang khas menerangi sekeliling tenda. Di salah satu sudut ternyaman, bantal-bantal mewah empuk dengan khas Timur Tengah tersebar mengundang agar orang duduk mengelilingi meja. Yang mengejutkan, hidangan yang melimpah tersedia di atasnya, pas untuk menjamu seorang Sultan.
Aku berdiri di tengah tenda sampai tangan pria itu terasa di lenganku, mengarahkanku pelan agar bergerak maju. "Makan malam sudah disiapkan, Savannah. Kau pasti sudah lapar."
Kami duduk bersama dan pria itu mulai menunjuk makanan-makanan di atas meja dan menyebutkan namanya. Ada banyak sekali sampai-sampai aku rasa makanan ini akan lebih dari cukup untuk mengenyangkan satu pasukan militer. Kami mengobrol santai, topik pembicaraan kami aman dan sopan tapi aku lega karena pria itu sepertinya tidak mencoba untuk melakukan hal-hal aneh yang mengacaukan nadiku.
Tapi mungkin aku terlalu cepat merasa lega dan lengah karena ketika pria itu tiba-tiba berdiri dan berpindah duduk di sampingku, aku terlalu terkejut sehingga tidak mampu beraksi. Mataku melebar kaget saat pria itu merendahkan kepalanya dan menempelkan bibirnya pada bibirku. Aku begitu kaget sampai tidak terpikir untuk memprotes apalagi mendorong tubuh besar itu menjauh. Bahkan dalam keterkejutanku, aku malah membuka mulut dan mengizinkan lidahnya masuk untuk bereksplorasi dan bermain-main di dalam kehangatan mulutku. Hanya ketika aku merasakan tangannya di dadaku, aku mendapatkan akal sehatku kembali.
"Please, Yang Mulia, kita tidak boleh, aku... tidak bisa," tolakku terengah, napasku kasar dan cepat ketika aku berusaha mendorongnya menjauh.
"Kenapa? Kau menginginkannya sebesar aku menginginkannya," ujar pria itu dan matanya dengan berani menatap ke dalam mataku, menantangku untuk memprotes.
"Ya, kau benar," akuku dan itu mengejutkan, bahkan diriku sendiri. "Tapi itu bukan sesuatu yang pantas. Kau adalah Sultan, kau pemilik kerajaan ini, kau juga majikanku, aku karyawanmu, aku bertugas mengajari putrimu, semua ini sangatlah salah!"
"Kau menguliahiku tentang moral?" tanya pria itu, terdengar geli.
Pria itu selalu saja meledekku tentang moral. Apa yang diketahuinya? Apakah merayu karyawannya tidak termasuk hal yang melanggar moral? Bagaimana kalau ini terjadi pada keluarganya? "Apapun yang kau katakan, bagiku itu tetap tidak pantas. Dan kuingatkan, Yang Mulia, aku bukan jenis wanita murahan seperti yang kau pikirkan. Ya, aku mungkin tertarik padamu, tapi tidak, terima kasih, aku tidak berminat menjalin hubungan romantis singkat dengan majikanku sendiri. Apa yang akan kau lakukan jika seandainya ada seorang pria yang mencoba melakukan ini pada saudara perempuanmu? You should respect me... seperti kau halnya kau menghormati para wanita di keluargamu!"
Aku mendelik saat pria itu menggeleng. Belum lagi tubuhnya yang terlalu dekat juga meresahkanku. Aku kembali beringsut dan berusaha membuat jarak. Pria itu sungguh berbahaya, apalagi tatapan matanya. Dan saat berbicara, suaranya yang dalam menggetar tengah perutku. Dasar sial! Kenapa dia harus begitu memesona?
"Savannah, saudara perempuan sudah pasti tidak akan mengalami kejadian seperti ini karena dia tahu pasti untuk tidak pernah berduaan dengan seorang pria. Mereka tahu bagaimana melindungi diri mereka dari hal-ha semacam ini."
Perkataan pria itu menyetir amarah dalam diriku. Kenapa pria itu selalu saja memandang rendah wanita dari belahan benuanya? "Well, budayamu berbeda denganku. Di budayaku, tidak masalah jika kami berduaan dengan seorang pria yang kami rasa cukup terhormat untuk tidak melakukan hal-hal rendah yang tidak kami inginkan. Dan aku menganggap Yang Mulia berada dalam kategori itu," jawabku kemudian, berusaha terdengar sedingin mungkin.
"Benarkah begitu? Jadi menurutmu, tidak apa-apa jika kau menggoda seorang pria dengan rambut emasmu dan mata birumu yang secerah langit padang pasir ini? Kau berharap mereka tidak akan tergoda hanya karena menurutmu mereka adalah pria terhormat?" ledek pria itu lagi.
"Aku tidak sadar kalau rupanya menurut Yang Mulia, aku sedang mencoba menggodamu. Percayalah, aku tidak pernah berniat melakukannya," sambungku lagi menjelaskan.
"Oh Sweet Savannah, aku tidak tahu apakah kau benar-benar polos atau hanya sedang berpura-pura. Kau mengatakan semua itu setelah kau mencuri pergi napasku dan membuat tubuhku sakit menginginkanmu setiap malam? Setelah mengakui bahwa kau juga menginginkanku, kini kau berkilah bahwa kau tidak tahu apa pengaruhmu terhadapku?"
Suara pria itu terdengar setengah geli, setengah frustasi, diiringi tawa kering yang membuatku merasa... entahlah... bersalah? Mengapa aku harus merasa bersalah?
"Please, bisakah kita kembali saja ke istana?" Aku terdengar setengah memohon, tak sabar ingin kembali ke kediamanku yang aman, jauh dari kedekatan kami yang sangat, sangat meresahkan.
"Maafkan aku, Savannah, kita tidak bisa pulang sekarang. Hari sudah gelap dan hanya orang tolol yang berani menyeberangi padang pasir ketika malam."
"Jadi maksudmu kita harus bermalam di sini? Berdua saja?!"
"Kau akan baik-baik saja," jawab pria itu tenang. "Di sini aman. Sekeliling perkemahan ini, dijaga oleh orang-orangku."
Itu lebih parah lagi!
"Bukan itu maksudku! Semua orang di istana akan tahu bahwa aku bermalam dengan Yang Mulia. Mereka pasti akan berpikir... mereka akan..."
"Mengapa kau harus cemas?" tanya pria itu, kini terdengar geli. "Tapi kita tahu yang sebenarnya, bukan? Bahwa tak ada apa-apa yang terjadi. Kecuali tentu saja jika kau berubah pikiran dan..."
Aku dengan cepat memotongnya, tak ingin mendengar kelanjutan kalimat pria itu atau aku mungkin akan berpikir untuk mempertimbangkan tawaran sintingnya. "Itu tidak ada hubungannya, Yang Mulia. Saat kita kembali, orang-orang pasti akan berpikir kalau aku sudah tidur denganmu, terlepas itu dari benar-benar terjadi ataupun tidak..."
"Kalau begitu, kenapa tidak kita lakukan saja?"
Aku menepis tangan pria itu yang berusaha mengelus pipiku, lebih karena terkejut, apalagi oleh kata-katanya. "Yang Mulia!"
Aku bernapas lega saat pria itu menarik tangannya menjauh lalu tertawa seolah-olah ada hal yang lucu. "Savannah, kau boleh saja terlihat begitu dingin dan tenang dengan kulit pucatmu itu, tapi aku bisa mencium gairah yang tersembunyi baik di balik penampilan dinginmu itu. Aku sangat ingin sekali mencicipi gairah itu di tempa tidurku, Savannah. Tapi jangan khawatir, itu tidak akan terjadi sekarang." Ia lalu bangkit dan menunjuk ke pintu tenda lain yang terhubung dengan ruangan lain dan melanjutkan dengan tenang, sementara aku masih duduk membeku serta mencoba mencerna kata-katanya. "Kamar tidur ada di sana, malam ini kau boleh tidur dengan tenang, aku tidak akan menyerangmu malam-malam, jangan khawatirkan itu. Besok akan menjadi masalah besok. Aku akan menangani apapun yang akan terjadi nanti. Selamat malam, Savannah."