Bab 18

1.2K 63 0
                                    

Gue tersenyum kecil ketika memori masa-masa akhir sekolah dulu terlintas di pikiran gue.

"Gimana, Pak? Apa ada yang ketinggalan." Gio bertanya pada gue bingung.

"Oh nggak ada apa-apa." ucap gue kembali menormalkan ekspresi menatap bayangan yang memantul di dinding lift.

Setelah bunyi bip. Pintu lift terbuka lantas berjalan menuju tempat dimana mobil gue terparkir. Gio masih mengikuti di belakang gue ketika pandangan gue menemukan gadis yang membuat gue tersenyum sendiri layaknya orang gila di dalam lift tadi.

Gue sekali lagi tersenyum. Siap menemuinya, sekedar untuk menyapa agar tidur gue bisa nyenyak malam ini.

Tapi langkah gue kembali harus berhenti ketika melihat Adora tidak sendiri disana. Dia sedang berbincang dengan seseorang dan mereka berdua tertawa. Ralat.... Bahkan Adora bisa tersenyum ramah pada lawan bicaranya. Gue jadi kesal sendiri karena mengingat Adora tidak pernah tertawa pada gue, melihat gue saja bikin dia ingin lari sejauh mungkin.

Gue menekan perasaan tidak enak. Kembali memasang wajah datar agar tidak terlihat sama sekali sedang memendam sesuatu hal yang tidak mengenakkan di dalam dada.

Gue akhirnya sampai beberapa langkah di dekat dua orang yang tengah asik berbicara.

"Hai," ucap gue pada gadis itu. Agar dia tahu jika gue ada disana. Hati gue malah berteriak sekarang "siapa lo, Habibi? Segitu inginnya lo dianggap ada di sekitar Adora?" kembali membuat gue kesal.

Matanya sedikit melotot karena melihat gue yang berada disana. Setelahnya kembali normal menguasai diri.

"Selamat malam, Pak Habibi," ucapnya formal.

Gue melirik seseorang yang bersama Adora saat ini. Karena melihat tatapan gue, dia berdehem dan ikut menyapa gue.

"Selamat malam, Pak Habibi. Sudah mau pulang, Pak?" ucapnya basa-basi.
Gue berdehem seakan menjawab pertanyaan basa-basinya. Beralih lagi kepada Adora.

"Chef Adora, bisa kita bicara sebentar tentang Resto," ucap gue formal agar Adora tahu gue memang akan berbicara terkait pekerjaan. Sambil mengangkat pergelangan tangan kiri gue untuk melihat jam."Hmm... 10 menit cukup," ucap gue lagi meyakinkan.

Adora mendesah lelah. Sepertinya dia keberatan. Tapi cukup tahu diri jika nggak bisa menolak ajakan gue, apalagi ini tentang pekerjaan. Tanpa mengiyakan permintaan gue. Dia kembali menatap lawan bicaranya tadi.

"Besok Mas bisa ke resto. Terima kasih banyak sudah menemukan kunci mobil saya, Mas Naufal." Ucapan Adora seketika membuat gue mengerjap kaget, ngapain Adora meminta dia ke resto. Dan apa tadi 'Mas?'.

Belum sempat gue mengajukan protes yang akhirnya hanya akan membuat gue malu karna ikut campur urusan mereka. Adora mengiring gue menuju mobilnya.

"Yo, tunggu saya sebentar. Ada yang mau saya bicarakan pada Chef Adora." Gio mengangguk dan berjalan menuju mobil gue.

Adora bersandar pada pintu samping mobilnya.

"Ada apa, Pak Habi?" tanyanya tanpa basa-basi.

Gue mengulum bibir. Dia masih saja bersikap formal pada gue. Sekaligus tidak terima gue dibedakan seperti ini.

"Ngapain kamu minta dia ke resto besok?" tanya gue karena nggak tahan jika harus penasaran sejak tadi.

Seketika itu Adora menegakkan badannya dan memandang gue sengit.
"Bukan urusan kamu. Dan itu nggak termasuk pembahasan tentang pekerjaan," ucapnya tegas. "Bisa langsung saja, saya harus segera pulang." Dia melirik jam di tangannya. "4 Menit lagi."

Gue mendesah pasrah. "Bisa nggak kamu jangan antipasi sama saya, Ra? Segitu benci nya kamu sama saya?" tanya gue blak-blakan.

Mata Adora berpendar gelisah akibat pertanyaan gue. Tapi cukup bisa menguasai diri setelahnya.

"Kayaknya Pak Habi memang nggak akan bahas pekerjaan. Saya permisi." Adora memegang handle pintu mobilnya untuk dibuka dan terkejut ketika gue menahan pintu itu agar menutup kembali.

Dia menatap gue protes.

"Ra, please... Saya mohon sekali aja dengerin saya bisa? Hm?"

Adora kembali mengatur nafasnya.

"Oke, saya udah minta maaf. Saya ngakuin kesalahan saya dulu. Bisa nggak kita berteman kali ini, kita bukan orang asing, Ra. Saya nggak mau kamu memperlakukan saya seperti orang asing. Saya nggak suka. Saya nggak nyaman," ucap gue dengan frustasi. Gue siap Adora mengamuk karena ucapan gue yang kekanak-kanakan ini.

Tapi tebakan gue salah. Gue menemukan Adora kembali bersandar di pintu mobil.

"Oke," ucapnya singkat.

Gue mengerutkan dahi tanda bingung dan bertanya.

"Ya, oke. Sesuai yang kamu bilang, sekarang kita temenan. Saya sama kamu berteman. Itu kan yang kamu mau?"

Karena tidak ada respon dari gue saking takjubnya mendengar kalimat Adora. Adora kembali bersiap untuk masuk ke mobilnya. Lagi-lagi gue menghadangnya agar dia tidak bisa masuk.

Adora kembali mengehela nafas pasrah. "Apa lagi sih, Bi?" tanyanya.

Gue tersenyum mendengar panggilan Adora pada gue. Walaupun dia nggak memanggil gue seperti dulu tapi cukup melegakan bahwa dia benar-benar serius buat berteman dengan gue.

"Kamu serius, 'kan?" tanya gue untuk meyakinkan sekali lagi.

Dia memutar bola matanya kesal.

"Kalau kamu nggak percaya, ya udah," katanya kesal.

"Eh... Bukan gitu. Tapi kamu beneran kan, Ra? Nggak lagi-lagi kabur kalau saya ngajak ngomong? Nggak lagi marah-marah kalau lihat saya?" tanya gue lagi dengan random.

"Apa sih, Bi. Kamu kayak anak kecil tahu nggak? Kita tuh cuman berteman. Ya selayak orang berteman aja dong. Kalo kamu ngeselin, ya saya bakal marah lah." Ucapan kekesalannya membuat gue tersenyum lebar.

Adora sudah mengibarkan bendera putih tanda damai diantara kami.

"Udah, 'kan? Ini udah lebih dari 10 menit dan pembahasan juga bukan tentang pekerjaan." Adora mengungkapkan kekesalannya.

Dan gue melepaskannya untuk memasuki mobil. Sebelum melajukan mobil Adora membuka kaca mobil sekedar menganggukkan kepala berpamitan pada gue. Dengan begitu sudah membuat gue bahagia.

***

Dah ya gais. Adora udah mau temenan. Kita lihat temenannya mereka gimana sih? Wkwkkwk

Bye bye
Xoxo, mimo ❤

"Mas Habi, I LOVE YOU!!" Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang