Pria Dengan Aroma Strawberry

17 1 0
                                    

Musim hujan telah berlalu, tapi dia tak akan pernah melupakan payung kecilnya. Dia menyimpannya rapih bersama barang barang miliknya yang lain di dalam tas ransel yang menggelantung di punggungnya.
Ella, gadis yang baru lulus SMA itu sedang menikmati waktu liburnya. Sembari menunggu hari masuk ke universitas tiba.
Dia membuka jendela kaca bus. Menikmati angin semilir yang telah masuk, menerpa wajah mungilnya.
Bibi yang ada di kota sebelah tempat dia tinggal menyuruhnya untuk datang. Bibi yang sangat tidak menyukainya itu. Dengan nada yang cukup arogan pagi-pagi buta memerintahkannya melalui telefon.

"Bukankah hidupmu sangat nyaman? Jangan manja dan bermalas-malasan dengan uang adik Iparku. Datanglah ke rumahku dan bantu aku menyiapkan pesta untuk keponakan orangtuamu,"

Ella tak mengerti kenapa semua anggota keluarga ibunya begitu membencinya.
Tapi untungnya. Ibu, Ayah dan adik lelakinya sangat menyayangi Ella.
Ella bukanlah gadis yang nakal. Dia sangat penurut. Bahkan tutur katanya sangat sopan.

Prestasinya pun cukup bagus walau tak di semua bidang.
Bahkan tak jarang ia mendapat perlakuan buruk dari saudara saudara sepupunya yang lain. Dari sikap dingin, mengejeknya, bahkan sampe membullynya secara fisik.

Bus tiba di halte kota tempat tujuan Ella.
Ella bergegas berdiri dari duduknya dan berjalan keluar bus sebelum bus melaju kembali ke tempat tujuan berikutnya.
Dari sini Ella masih harus berjalan kaki selama 20 menit untuk menuju rumah sang bibi.
Untuk melenyapkan rasa kesal dan sedih.

Ia berjalan sambil mendengarkan musik melalui headphone miliknya yang tersambung pada ponsel.
Ella bersenandung kecil berjalan riang. Guna mempersiapkan hati untuk menghadapi sang bibi.
Sebenarnya. Ella bisa saja menolak dan melaporkan pada ayahnya atas perlakuan bibinya. Tapi ia memilih diam dan membisu.
Demi Ayah, Ibu dan adiknya.

****
Acara ulang tahun berjalan lancar. Dengan tenaga yang Ella keluarkan cukup banyak. Dari memasak, menata ruangan, bahkan menghidangkan makanan.

"Bukankah ini keponakanmu?" Seru seorang wanita dengan dandanan serba mewah.

"Sudah kubilang dia bukan keponakanku. Aku hanya menyewa jasa nya untuk membantuku menyiapkan pesta," sergah Veronica. Bibi Ella.

"Benarkah? Kukira dia keponakanmu karena aku sering melihatnya di acara pesta yang kau buat," ucap wanita itu tak percaya.

Veronica melirik kesal ke arah Ella.

"Apa kau bercanda? Bagaimana mungkin aku punya keponakan dengan wajah buruk rupa begitu?" Nada bicaranya sedikit berat, ia menahan emosi di ujung kerongkongannya.

Jarak mereka berdiri tak begitu jauh dari tempat Ella. Ella mendengarnya dengan jelas.
Anehnya. Dia tak merasa marah sama sekali. Bahkan ia sangat tidak peduli dengan pendapat bibinya terhadapnya.

"Oh, tentu saja. Keluarga kalian semuanya memiliki paras yang luar biasa. Bahkan bakat yang luar biasa. Bisa bisanya aku lupa mengenai hal itu," ucap wanita itu sembari tertawa nyaring.

Pesta berjalan dengan cukup lama. Sampai sampai membuat Ella sangat kelaparan. Ia tak di ijinkan untuk ikut makan sampai pesta selesai. Dan begitu semua hiruk pikuk kemeriahan itu hilang. Ella buru buru mengambil barang barang miliknya. Ia pamit seadanya tanpa mengurangi rasa hormat. Lalu pergi begitu saja meninggalkan rumah mewah itu.

****
"Sialan! Bisa bisanya dia tak memberiku makan," racaunya kesal sembari mengambil beberapa roti pada etalase supermarket.

Tak lupa mengambil sebotol air mineral di lemari pendingin.
Setelah selesai membayar. Ella memutuskan untuk duduk di kursi yang memang disediakan pihak supermarket untuk para pembeli.

"Ah, sial~," racaunya kembali. Menghapus air mata yang sedikit keluar.

"Ibu, kenapa hidupku begini?"

"Kenapa aku berakhir disini? Dan sampai kapan?" Ucapnya lirih menahan tangis di sela sela kunyahan roti.

Ella me-nyerot ingusnya yang hampir menetes dan kembali mengusap air matanya.

Entah dari mana. Tercium aroma wangi strawberry.

"Maaf. Bisakah aku meminjam uang receh?"
Seseorang sudah berdiri di sebelah Ella. Seorang pria dengan tubuh yang amat tinggi. Padahal Ella sebagai anak perempuan sudah terbilang sangat tinggi. Namun pria di depannya teramat sangat tinggi. Itu hasil dari pengamatan Ella ketika dia menengadah untuk berusaha melihat wajah pria di depannya.

Tapi sayanya, pria ini memakai masker dengan topi sedikit maju. Sehingga sukses menutupi wajahnya.
Ella merogoh kantung jaketnya. Lalu memberikan beberapa uang koin pada pria tersebut.

"Terima kasih," ucapnya dan dibalas anggukan kecil dari Ella.
Ella melihat keluar jendela supermarket. Gerimis telah turun. Dia mulai me-rutuki dirinya yang telah meninggalkan payung di rumah bibinya. Sepertinya payung itu terjatuh saat ia buru buru mengemasi barang barangnya. Dan di jam segini, bus sudah tidak lewat di halte sekitar supermarket.

Ella melihat jam tangannya dengan perasaan kacau.
Pulang kerumah naik apa? Terus malam ini dia mau tidur dimana?
Disaat pikirannya kacau, pria beraroma strawberry itu duduk di sebelahnya.

"Terima kasih. Aku terselamatkan," ucapnya dengan masih menunduk.

"Aku sama sekali tak membawa uang receh, dan aku sangat membutuhkan minuman hangat di saat cuaca seperti ini," lanjutnya sembari meminum minumannya.

"Ah, iya. Santai saja," balas Ella.
Sejujurnya, Ella sangat menyukai aroma yang di keluarkan dari pria ini. Membuatnya sangat nyaman dan .... Rindu.

"Setelah ini. Akan ada bus berhenti tepat di halte depan. Bus itu akan membawamu pulang ke rumah," ucap pria itu tiba tiba.
Dia berdiri membelakangi Ella.

"Tak perlu berpikir macam macam. Karena kamu benar benar akan sampai ke rumah dengan selamat," setelah nya pria itu pergi meninggalkan Ella yang masih terpaku mencerna apa yang baru saja ia dengar.

"What the fuck! Dia ngomong hal gila apa sih?"

Tepat setelah Ella mengumpat. Bus dengan tujuan ke kota tempatnya tinggal, berhenti di halte depan.

Hah?! Beneran. Ini bukan ilusi kan?!! Batin Ella mera-cau.

Ella berdiri dan bergegas berlari keluar supermarket menerjang hujan. Dengan rasa berdebar-debar ia berlari menuju bus, berharap itu bukanlah ilusi.

****
Sepuluh menit setelah bus melaju. Ella masih tak percaya ini bukanlah ilusi.

Ella memilih duduk di kursi paling belakang. Berharap ini bukanlah bus penculikan anak karena di dalamnya hanya ada orang orang dewasa. Ya siapa juga anak anak yang masih naik bus di jam segini.

Akhirnya Ella memutuskan untuk percaya pada pria tadi. Dia menyenderkan kepalanya pada sisi kanan. Matanya melihat jalanan kota yang mulai sepi dengan hiruk pikuk keramaian. Serta air hujan yang jatuh semakin deras. Matanya sayup sayup mulai menutup. Ini adalah hari yang sangat melelahkan bukan?

****
Rindu. Aku merindukan kalian. Sangat. Apakah aku dibuang? Atau, aku yang membuang kalian? Rasanya sangat sakit. Hatiku sakit Sampai terasa mati. Siapa nyang harus ku salahkan atas rasa sakit ini? Ini sangat tak adil. Bagaimana bisa aku berakhir begini? Tidak. Sungguh. Kalian tidak membuang ku kan?

Bersambung ......

Give Me Back My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang