Zidan termenung dalam diam, mengamati layar laptop dengan pikiran melanglang buana entah kemana. Tiga minggu lagi pernikahan keduanya, tapi hati sendiri tak tahu bagaimana isinya. Pantaskah dia bersama Dista tanpa cinta? Akankah Dista bahagia dengannya? Rasa ragu dan sesal jika tak bisa membuat gadis itu bahagia mulai meringsak hatinya. Apakah sebaiknya Zidan jujur terlebih dahulu bahwasannya pernikahan ini memang dilandaskan oleh amanah Thallia dan keinginan putranya, bukan semata-mata Zidan memang ingin meminang Dista dengan cinta?
Entahlah, yang Zidan rasa hanyalah kepalanya terus berdenyut pusing, hatinya teriris sakit.
"Ciee.. Pak duda, dua minggu belakangan selalu dibawain bekal calon istri.." suara yang mengganggu kebingungan Zidan itu mampu membuatnya menoleh cepat.
"Apaan to!" respon Zidan dengan mengutik kembali laptopnya. Bukan Dani namanya jika tak mengusik Zidan. Dia menoel kembali lengan Zidan, memberikan senyum godaan bahwa sebentar lagi pria itu akan menjadi pengantin baru kembali.
"Baru juga dipingit lho, udah bawain bekal Mas calon suami, bersyukur deh dan.."
Zidan hanya diam tak menggubris kalimat Dani yang semakin membuatnya pening kepala "Enak nggak masakannya Dista? Keinget dulu, lo mana pernah bawa bekal kaya sekolah gini, boro-boro bekal, air botol aja nggak bawa.. Langganan sama Bu Santi tiap hari, nasi padang ayam lodho, urap sayur sama oseng kentang, tambah le mineral nya dua botol..."
Zidan hanya diam menatap kotak bekal berwarna abu tua itu "Ya mungkin dulu mendiang Thallia emang wanita karir dan gila kerja, kurang merhatiin ginian kan?" ganti Zidan yang menatap Dani sepenuhnya, rautnya berubah masam seketika karena sahabatnya ini menyinggung kembali almarhumah sang istri.
"Kok gitu ucapanmu? Kenapa bandingin Thallia sama Dista sekarang?"
Dani mendadak tak bisa bicara karena tatapan tak suka dari Zidan. Dia hanya bicara tanpa pikir panjang aslinya, tapi sahabatnya ini seperti tersulut bara api saat membahas Thallia "Enggak gitu dan.. Kan Alhamdulillah ada yang bawain gini, udah ah gua salah ngomong deh kayaknya.. sorry ya... Mau nitip nggak? Mau beli siomay nya Mas Asad depan kantor.."
Zidan menggeleng saja dengan menatap kotak bekal makannya, sedangkan Dani yang tak ingin memancing keributan di jam makan siang ini memilih segera pergi setelah pamit.
Pria itu diam, mengukir kembali kenangan saat Thallia masih ada, dia juga kepikiran dengan kalimat Dani barusan. Memang jarang sekali, bahkan bisa dihitung dengan jemari kapan Zidan membawa bekal makan siang seperti saat ini. Keduanya, Zidan dan Thallia, mereka sibuk bekerja, jadi hanya sarapan seadanya dirumah, dulu Thallia juga sering berpesan dan minta maaf jika tak bisa melayani kebutuhan Zidan semacam ini serta menyarankan sang suami untuk membeli makan siang diluar. Tapi Zidan sama sekali tak pernah mempermasalahkannya.
"Tumis capjay? Lele goreng sambel tomat?" ucapnya setelah membuka kotak bekal yang Dista ampirkan saat wanita itu akan berangkat kerja tadi. Zidan juga mendapati buah jeruk dan juga irisan mangga yang terdapat di kotak tertutup sebelah lauk.
Zidan tambah bingung dengan menatap nasi putih didalam kotak bekal. Apa ini usaha Dista untuk menarik hatinya? Wanita itu ingin Zidan mencoba untuk melihatnya? Atau yang lainnya? Zidan tak tahu. Yang pasti, hatinya masih terkunci dan masih tersemat rapi Thallia lah sang pemenang hati.
****
Dista menatap langit kamarnya, memikirkan hal panjang yang berguna maupun tak berguna. Entahlah, ragu, bahagia, sesal, sedih dan yang lainnya berkumpul menjadi satu dalam angan. Takut akan pernikahannya dengan Mas Zidan? Takut malam pertama bagaimana nantinya? Bisakah Dista menjadi istri sekaligus Ibu yang baik untuk Bima dan sang suami hingga hari tua nanti? Itu semua membuat ribet isi kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Bride
FanfictionPradista yang sudah menganggap Athallia beserta sang suami sebagai keluarga, harus rela menjadi pengantin kedua sekaligus Ibu dari Bima Wahyu Pratama, putra tunggal dari keduanya. 11022023 - - Hellothere, 2023.