Bab 22

241 54 19
                                    

"Mas! Ya Allah!" eluh Dista saat melihat tingkah aneh kesekian kali sang suami. Hari ini apakah benar Zidan jatuh dari tangga? Atau terpentok pintu sangat keras? Jarang sekali pria ini.

"Hust! Bawel kenapa deh.. Nurut aja kamu, Bima mumpung udah tidur.." Zidan berujar dengan wara-wiri di area dapur. Sedangkan keberadaan Dista sekarang di kursi meja makan. Pria itu ingin masak sesuatu katanya, padahal ini sudah jam sebelas malam. Heran sekali Dista pada sang suami. Setelah ciuman manis sore itu, Zidan suka menempel kepadanya dan sedikit manja. Entah itu murni naluri hati karena tumbuh cinta atau memang hanya sebatas tanggungjawab? Dista tak mau ambil pusing pokoknya, dia sedang hamil. Terlalu dipikir nanti akan membuatnya sakit, lebih baik dinikmati saja bukan?

"Mas kalo cuma masak mi sama telur Dista nemenin makan aja, Dista munek liat mi.." kata Dista dengan memperhatikan gerak Zidan yang membersihkan udang di wastafel dapur.

"Enggak ada, udah lah kamu makan aja nanti, pasti enak banget masakan saya.." kata Zidan dengan percaya diri.

Dista mengerlingkan mata malas, niat ingin irit bicaranya tidak jadi gara-gara kelakuan sang suami. Oh iya, soal irit bicara dua minggu itu, sebenarnya Dista berguru pada Mbak Mawar. Dia tak menceritakan detail bagaimana lika-liku pedih rumah tangga yang telah dilewati, hanya mengatakan jika bertengkar kecil terhadap Zidan dan ingin mengetes suaminya. Mawar yang memang sudah berpengalaman lebih lama dalam hal nikah akhirnya membocorkan tipsnya kepada Dista perihal irit bicara ini, Mawar menjamin bahwa suaminya akan nempel kembali karena Mawar dan Chandra sering begitu, katanya. Lah kok benar saja, makin nempel dan semakin aneh kelakuan Zidan.

Dan jika kalian bingung kenapa Dista tak bertanya pada Bu Sari, dia tak ingin membebani pikiran sang Ibu. Cukup Dista saja yang pusing, Ibunya jangan, benak Dista berkata.

"Dista?"

"Apa lo Mas?" sewotnya yang tak tahan.

"Kok diem aja?"

"Dari tadi Dista diem cuma merhatiin Mas masak.."

"Oh.." respon Zidan singkat. Dia mengangkat udang yang sudah dibaluri tepung dan akan di gorengnya satu-persatu. Ekor matanya melirik Dista dari jauh, dan benar, wanita itu hanya diam dengan menopang dagu menatap semua kegiatan yang sedang dilakukan Zidan "Kamu inget nggak dulu saya juara satu lomba masak komplek pas peringatan hari agustusan?"

Dista terlihat berpikir, lalu mengerutkan kening bingung "Lah? Masa? Dista lupa, tahun kapan emang?"

"Kalo nggak salah, kamu pas kelas sebelas deh, kan kamu yang bikin bumbu rujak buahnya.. Saya bikin ayam bakar sama oseng tempe pete.." ujar Zidan kembali.

Dista merespon dengan anggukan, ingatannya samar-samar dalam kepala. Dia tersenyum tanpa sadar, Zidan memang sebaik ini. Dipikir tidak dipikir, sang suami juga berusaha dalam hubungan mereka, meski awal-awalnya masih kaku sekali seperti kanebo kering. Ya sampai sini lumayan lah untuk hubungan keduanya "Mas kok aneh akhir-akhir ini? Kaya bukan Mas Zidan?"

"La terus kalau bukan saya siapa? Setan?"

"Aneh lah pokoknya, kaya bukan kebiasaan Mas.. Dulu aja nggak gini.."

"Wooo.. berarti kamu risih kalo ditempeli suami kesana kemari?" nada pertanyaan itu terdengar berbeda di telinga Dista. Nada rengekan dan sebal, di buat melucu? Entahlah, pokoknya begitu.

"Ya suka aja.."

"Nah... Kalo nggak disayang, nggak ditempeli kamu bingungnya minta ampun, sekarang sudah saya tempeli tiap hari malah ngeluh.. Gimana sih Dis.." Zidan terlihat bersemangat melontarkan kalimat panjang barusan. Pria itu meniriskan gorengan udang dan telur yang sudah dibuat. Beralih mengambil telenan dan mulai mengiris tipis serta mencincang bahan per bawangan. Dista hanya mengamati dengan ulasan senyum heran dan cinta.

Second BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang