Bab 18

230 46 26
                                    

Dista sedang menata lauk dan sarapan yang sudah dia siapkan dari shubuh tadi. Dia memasak nasi goreng, lodho ayam kuning dan tumis sayur campur sosis. Banyak sekali makanan hari ini mengingat Salma yang baru pulang dari Jogja. Iparnya pulang karena sudah dua minggu tak menyambang rumah serta dia memerlukan beberapa kebutuhan untuk kerja, katanya. Dan soal telat menstruasi yang Dista ucapkan beberapa hari lalu kepada suami, dia belum juga mengecek apakah benar kehamilan atau siklus datang bulan nya yang memang mundur karena hormon. Dia belum tahu pasti, mungkin nanti atau besok Dista akan coba membeli testpack di apotik atau indomaret.

Setelah menata sarapan diatas meja makan, dia memilih segera sibuk dengan bekas alat memasak di wastafel dapur, Dista terkejut saat seseorang berdehem diambang pintu dapur. Menatapnya dengan sedekap dada tanpa senyum "Ibu.."

"Lho.. anak Ibu yang paling ganteng udah bangun? Wih tumben banget, bentar ya Ibu rampungin cuci piringnya.." benar, Bima yang berada disana. Memanyunkan bibir dengan kolor pendek biru dan juga kaos singlet putih, serta dengan belek yang masih tersimpan disudut matanya, namanya juga baru bangun tidur.

"Ibu kok bohongin Bima?" Dista yang menata bekas cucian memasak di rak samping wastafel mengernyit heran. Bohong? Dista bohong apa dengan putranya.

"Emang Ibu bohong apa?" tanya nya dengan berjalan kemudian menggendong sang putra untuk menuju kamar mandi.

"Kan kemarin kata Ibu nggak boleh makan coklat banyak-banyak, tapi kata Ayah boleh kok.."

Dista membuat ekspresi terkejut saja "Beneran? Berarti Ibu yang salah dong? Padahal Ibu punya niat kalo Bima nggak makan banyak coklat nanti Ibu beliin tas baru loh.." tutur Dista dengan mulai memandikan sang buah hati. Bima terlihat cemberut saja, tak menjawab pertanyaan Dista.

"Ya udah Ibu minta maaf kalo gitu sama Bima ya Nak, nanti beli deh sebelum berangkat ke sekolah ya? Besok kan rekreasi, masa anak Ibu marah sama Ibu?" kata Dista memohon, dia berjongkok dengan menatap sendu Bima saat ini.

"Iya iya Bima maafin Ibu kalo gitu, tapi beli coklat ya nanti.." ujar sang putra yang masih sedikit kesal.

"Iya sayang... Tapi harus rajin sikat gigi ya.." Bima mengangguk senang dengan senyum yang sudah selebar bahu trotoar. Tak menunggu lama, mungkin sekitar sepuluh menitan untuk memandikan sang anak, Dista kemudian menyiapkan baju dan keperluan Bima sekolah. Setelah semua selesai, ganti dirinya yang bersiap untuk membersihkan diri.

Baru saja tangannya memotek gagang pintu kamar, matanya langsung disuguhkan dengan badan telanjang Zidan yang tengah memakai kemeja, tapi, bawah sang suami masih menggunakan sarung yang dipakai semalam, mungkin sang suami baru selesai sholat shubuh "Lho Mas udah mandi? Kok pakek kemeja itu? Dista udah siapin tadi di gagang lemari?" tanya Dista dengan menatap kemeja berwarna navy yang masih menggantung disana.

Zidan menoleh dengan mengancingkan benik kemeja satu-persatu "Kemarin lusa kaya pakek itu ya Dis, pengen pakek warna ini hari ini.."

"Yaudah nggak papa, untung udah Dista setrika semuanya.. Mas nanti pulang kerja repot apa enggak kira-kira?"

Zidan tak menjawab, memilih diam sebentar dengan memperhatikan raut bersih wajah sang istri. Dista yang paham memilih mendekat, membantu mengaitkan kancing kemeja kemudian membantu sang suami memakai dasi coklat yang disiapkan "Ada apa emangnya?"

"Nanti ke rumah Rania gimana Mas? Ada syukuran tiga  bulanan disana sama syukuran rumah kecil-kecilan. Katanya cuma kerabat sama keluarga deket aja yang dateng, kita kesana gimana? Ada Asa sama Rafa juga.." Zidan mengangguk dengan senyum "Saya pulang jam empat an mungkin, jam berapa acaranya?"

"Jam tengah lima sore Mas.." Dista berucap dengan senyum setelah berhasil dengan tugas memasang dasi sang suami. Dia mendekat, lalu memeluk pelan tubuh tegap Zidan "Mas Zidan?"

Second BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang