Lima bulan berlalu cepat semenjak pernikahan, Dista merasa semua tak ada beda dalam hidupnya, hanya status saja yang berubah dan juga kewajiban. Perasaannya terhadap Zidan terus menggebu dan hadir di dasar hati, tapi sang suami masih biasa seperti tak memiliki minat pada dirinya. Dan, perihal foto yang ditanyakan pagi itu saat mereka makan bubur Pak Wawan, Zidan merespon dengan diam sebentar lantas berujar maaf pada dirinya, katanya, tak sempat dan tak terlalu memikirkan keberadaan foto itu.
Jelas. Dista sakit hati mendengar ucapan sang suami yang tak sesuai angannya, tak sempat atau memang tak ingin, tak terlalu memikirkan atau memang ingin membuatnya sakit hati untuk kesekian kali, Dista juga tak paham.
Terkadang kala, pilu selalu menyerang hati Dista. Lima bulan sudah berlalu belum bisa membuat Zidan benar membuka hati dan menganggap keberadaannya disini. Dista menangis dalam diamnya saat melihat Zidan yang selalu duduk di halaman belakang rumah disamping tempat jemuran baju, berdalih dan beralasan mengerjakan urusan kantor, tapi nyatanya tidak. Pria itu diam, dengan menatap awan terang atau jingga sore yang indah, memandang dengan rasa pundung dan iras tak bersemangat, bukan sekali dua kali juga Dista melihat sang suami menitikkan air mata saat sendiri. Seperti terpaksa sekali dengan keadaan saat ini. Dia hanya berani mengintip lewat jendela samping pintu belakang, tak berani bertanya atau sekedar menyapa, Dista takut, itu yang dia rasakan.
"Mas?" panggil Dista lirih dengan melambaikan tangan saat sang suami berada di panggung kecil, perayaan perusahaan atas terselesaikan nya pembangunan gedung. Dista tersenyum bangga, sang suami yang sangat gagah itu terlihat menatap dengan pandangan datar ke segala arah, Zidan itu menurut Dista manly, matang, seksi dan juga terkadang imut. Entahlah, di situasi yang berbeda-beda pria itu mengeluarkan aura yang juga berbeda. Yang terpenting Dista tetap cinta meski belum bahagia.
Dia masih berusaha menyapa, dan tak lama manik mereka bertemu, membuat Zidan tersenyum dengan lebar setengah malu. Imut sekali, batin Dista. Acara berlalu begitu saja, mereka memakan hidangan yang telah disediakan, disajikan dengan akustik melow yang sangat mendukung malam teduh ini. Hingga acara selesai, mereka akhirnya pulang di jam sebelas malam.
"Bima dijemput besok pagi aja Mas, sebelum Dista berangkat kerja.. Pasti udah tidur ama Naya sekarang.." celetuk Dista saat mereka sudah dikamar bersama. Sang istri yang tengah melipat beberapa baju dan sang suami yang masih repot di depan layar laptop. Soal Bima, Dista menitipkan sang putra malam ini dirumah Mas Chandra, inginnya juga dijemput tapi mereka pulang sudah terlalu larut, dan akhirnya memberi kabar pada Mawar bahwa titip Bima malam ini dirumah mereka.
"Mas tadi ganteng banget, Dista panggil kok senyum-senyum kenapa?"
"Eh?"
"Eh? Kok eh sih responnya?" tanya Dista dengan alis terangkat tinggi, sembari merapikan baju yang sudah selesai dia lipat ke dalam lemari disudut kamar.
"Nggak gitu, saya malu aja diliat orang banyak, terutama sama kamu.. Nggak pede aja.."
"Loh kok gitu? Padahal Dista bangga Mas bisa kaya tadi.." ujar Dista dengan beranjak menaiki atas ranjang mereka. Monoton dan tak ada bunga di percakapan suami istri ini, yang satu sudah kepalang cinta tapi ditahan, dan yang satu masih kaku dan sulit untuk menerima. Entah mau dibawa kemana hubungan ini, penulis pun tak tahu.
Dista tidak berbaring, dia hanya duduk dan mulai membuka ponsel, men scroll media sosialnya. Sesekali melirik sang suami yang masih sibuk dengan urusannya "Mas Chandra ama Mbak Mawar mau pindahan ke rumah Ibu Mas.. Nggak jadi satu rumah lagi sama Bu Asih.."
"Iya, mungkin mereka mau nemenin Ibu karena kamu udah saya boyong kemari Dis.."
Dista hanya tersenyum "Mas.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Bride
FanfictionPradista yang sudah menganggap Athallia beserta sang suami sebagai keluarga, harus rela menjadi pengantin kedua sekaligus Ibu dari Bima Wahyu Pratama, putra tunggal dari keduanya. 11022023 - - Hellothere, 2023.