Menundukkan kepala untuk menyimpan air luka selama tiga menit, Zidan akhirnya bangkit. Menyusul sang istri ke kamar tamu yang tadi wanita itu masuki. Pria itu sedikit tak menghiraukan keberadaan sang putra yang masih asyik dengan bongkar pasang serta robot ultramen di atas karpet ruang tengah. Pikirannya masih kacau betul dengan perdebatan tadi. Dia harus segera meluruskan kesalahpahaman yang terjadi dengan Dista.
"Dista..." panggilnya pelan setelah memotek daun pintu putih itu dan menutupnya kembali. Zidan tak mendapatkan jawaban, hanya mampu melihat sang istri yang berbaring miring dengan pundak sedikit bergetar.
Pria itu merasa bersalah karena sedikit menindas Dista dengan kalimat dan tatapannya tadi. Tak menghiraukan Dista marah atau menampar nya nanti, dia memilih naik ke atas ranjang, merengkuh tubuh sang istri dari belakang untuk dirinya peluk erat.
"Maafin saya Dista... Maaf..." ujarnya dengan mengelus lengan istrinya lembut, mengecup surai hitam Dista penuh sayang.
"Mas nggak bisa cinta sama aku.. Semuanya merasa terpaksa kan? Kita pisah aja Mas... Dista nggak papa.." kata Dista dengan lemah, sedikit bergetar sebab menangis hebat.
Pria itu diam sebentar, menyusun kalimat lembut tapi menegaskan agar sang istri sadar, bahwa perpisahan tidak segampang yang diucapkan "Kamu minta pisah pisah terus Dis, saya nggak mau.. Tega sekali kamu mau ninggalin saya sama Bima? Saya sudah sayang sama kamu, Bima sudah dengan penuh cinta menganggap kamu sebagai Ibunya, lalu kamu mau pisah? Tega benar kamu Dista.."
Dista sesenggukan, lantas menggenggam jemari Zidan untuk berhenti karena sejak tadi mengelusi perutnya yang membuatnya merasa geli "Mas ini nggak cinta sama aku, ya kita pisah saja, buat apa dipertahanin... Soal Bima, Dista tetep anggep dia anak Dista nantinya.."
"Tega kamu.. Kamu mau misahin saya sama kembar, dia juga anak saya Dista, bukan anak kamu saja.."
Dista mengusap wajahnya yang basah, lantas perlahan membalikkan badan untuk menatap sang suami "Kita bisa menjaga mereka sama sama Mas, meski nggak dalam satu rumah... Buat apa gini terus? Yang ada kita berdua sakit nantinya.." ucap Dista dengan menatap mata Zidan yang sedikit sayu itu.
Terlihat sang suami menghela napas panjang. Merasa sudah lelah dengan sikap sang istri yang sekarang. Dia itu tak memikirkan cinta atau tidaknya, yang penting keluarga kecilnya bahagia. Cinta bisa datang kapan saja, tinggal menunggu waktunya tiba. Tapi Dista terus uring-uringan untuk pengakuan cinta dari dirinya "Kamu kok nggak sabaran sama sekali, saya ini udah sayang sama kamu Dista.. Kata kamu, kamu ini cinta sama saya.. Terus apa ini? Dikit dikit berantem, solusi mu minta pisah terus.."
"Ya Dista emang cinta, tapi Mas Zidan enggak.. Terus buat apa?"
"Astaghfirullah... Orang itu kalo cinta itu nggak gini.. Harusnya percaya.. Tapi kamu terus minta pisah, pisah, pisah.. Saya sampek eneg dengernya.."
Dista yang sudah tak sedih lagi terlihat menunjukkan wajah kesal dengan alis menukik tajam ke bawah karena merasa tidak terima dengan kalimat sang suami.
"Emang bener kok... Nggak papa kalau Mas pisah sama Dista, kita bisa urus si kembar sama sama tanpa harus serumah. Kalau kedepannya Mas Zidan menemukan istri baru lagi, yang cocok dan membuat Mas bahagia, demi apapun Dista ikhlas Mas.." entahlah mulut Dista melanturkan hal yang tak dikira-kira sekarang. Gampang sekali mulutnya itu berbicara.
"Berarti kamu ini nggak cinta sama saya.. Orang kalo cinta nggak bakal begini.."
"Cinta, masih cinta kok.." tutur Dista dengan bibir sedikit manyun karena kesal. Kesedihannya hilang dalam sekejap akibat pelukan serta kecupan lembut dari sang suami tadi.
"Ya kalo cinta nggak mungkin kamu bakal ninggalin saya.." Zidan sedikit tersenyum, merasa lega karena merasa sang istri sudah tidak ngambek lagi.
"Mas butuh bahagia.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Bride
FanfictionPradista yang sudah menganggap Athallia beserta sang suami sebagai keluarga, harus rela menjadi pengantin kedua sekaligus Ibu dari Bima Wahyu Pratama, putra tunggal dari keduanya. 11022023 - - Hellothere, 2023.