1) Zia Dineshcara

17 2 0
                                    

ZIA DINESHCARA atau yang akrab disapa Zia. Itulah aku! Aku mencintai namaku. Diambil dari Bahasa Sansekerta, artinya adalah Cahaya Matahari atau Matahari yang Bercahaya. Meskipun aku tidak seistimewa namaku, aku hidup Bahagia.

Bahagia? Ku rasa aku berbohong tentang ini. Aku tidak sebahagia itu. Aku masih dalam kondisi yang jauh dari kata itu. Karena itulah aku menghabiskan hidupku hanya dengan menulis beberapa puisi pada buku abu-abu kesayanganku.

Ini adalah kisahku, kisah Zia dalam menjalani hari-harinya. Ku harap kamu bersedia membacanya.

Kisah ini dimulai pada saat aku menghabiskan waktuku di perpustakaan satu pekan lalu. Lelaki itu, Senja masih membuatku bertanya-tanya. Siapakah dia? Mengapa dia tiba-tiba menyapaku?

Di sela lamunanku, seorang gadis berambut sebahu duduk di sebelahku sembari menyodorkan segelas lychee yakult kepadaku.

"Masih mencari tahu tentang Senja?" tanyanya.

Ia Meera Ravania, sahabat terbaikku sejak aku duduk di bangku SMA. Meera dua bulan lebih muda dariku, tetapi Meera selalu bersikap lebih dewasa dibanding diriku sendiri. Terima kasih, Tuhan! Kau telah baik dengan mengirim Meera untukku.

"Iya," jawabku.

"Sudahlah Zia! Sudah satu pekan kamu mencarinya. Apa kamu tidak lelah?"

"Tidak. Aku penasaran dengan ucapannya kala itu."

"Ia hanya pria penggoda, Zia! Mungkin dia mengucapkan kalimat itu bukan hanya kepadamu, mungkin kamu adalah gadis ke sekian yang mendengar kalimat itu."

Aku tertegun mendengar penuturan Meera. Masuk akal! Bisa saja Senja hanya seorang pria iseng yang gemar merayu wanita. Jadi untuk apa aku terus mencarinya?

Tetapi, bagaimana jika Senja sebenarnya tidak seperti apa yang Meera katakan? Bagaimana jika ucapan Meera terlihat seperti sebuah tuduhan?

Entah apa maksudnya. Entah apa rencana semesta. Dia yang ku cari kini sedang berjalan mendekat ke arahku dengan senyum yang sama seperti sepekan lalu.

Aku mematung tepat saat ia berdiri di hadapanku, Meera mengernyit bingung.

"Maaf, kamu siapa, ya?" tanya Meera.

"Manusia yang mungkin sedang temanmu cari."

Meera menatap ke arahku, aku hanya bisa terdiam.

"Sudah ku bilang, kan? Kalau jodoh pasti kita kembali bertemu."

Akhirnya Meera tahu, siapa lelaki yang sedang berdiri di hadapanku.

"Kamu ini siapa, sih?" tanyaku akhirnya.

"Sudah ku bilang namaku Senja."

"Iya aku tahu! Bukan itu maksudku! Mengapa kamu menggangguku di perpustakaan pekan lalu?"

"Mengganggu? Apakah sapaanku terkesan sebagai gangguan untukmu, Zia?"

Aku membulatkan mataku, terkejut karena lelaki ini bahkan mengetahui namaku.

"Apakah kamu seorang penguntit?" tanyaku dengan hati-hati. Setelahnya ku rutuki diri sendiri karena berani menanyakan sesuatu yang tidak sopan seperti itu.

Diluar dugaan, Senja malah tertawa mendengarnya. "Bukan. Aku hanya seorang pengagum. Aku tahu namamu, aku tahu beberapa tulisanmu dan mungkin nanti aku akan segera tahu hari ulang tahunmu."

"Apa tujuanmu?"

"Berkenalan."

"Apakah menurutmu cara ini baik?"

Senja menggeleng. "Aku tidak bisa menilainya, kamu yang bisa menilai apakah itu baik atau buruk. Hanya saja aku ingin mengajakmu berkenalan dengan cara yang berbeda. Agar kelak, jika nanti kamu menjauh, kamu bisa mengingatku lewat caraku berkenalan denganmu yang tidak sama dengan yang lainnya, Zia."

DIA SENJAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang