3) Satu Hari Denganmu

12 1 0
                                    

AKHIR pekan telah datang. Adhisti sedang pergi berlibur di rumah tantenya. Aku dan Senja memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama.

Kami sudah berada di dalam mobil Senja.

“Kita akan kemana, Senja?” tanyaku.

Senja tersenyum. “Bagaimana dengan Museum Nasional?”

“Setuju! Ayo kita kesana!” seruku senang.

Senja terkekeh. Kemudian memasangkan sabuk pengaman kepadaku. “Kamu harus tetap aman ya anak kecil. Jadi, harus pakai ini,” ujarnya.

Aku hanya terdiam membiarkan Senja melanjutkan kegiatannya.

“Kenapa kamu memilih pergi ke Museum Nasional?” tanyaku.

“Ku rasa itu cocok untukmu.”

Aku tersenyum. Senja menoleh ke arahku.

“Zia, aku punya sesuatu.”

“Apa?” tanyaku.

Senja mengambil sesuatu dari sisi kanannya. Kemudian ia mengeluarkan setangkai mawar merah muda dan memberikannya padaku.

“Wah ada apa gerangan ini? Mengapa tiba-tiba kamu memberiku bunga?” tanyaku.

Senja tersenyum. “Entahlah, di perjalanan menjemputmu ke rumah. Aku melewati toko bunga dan ada satu bunga yang menarik perhatianku. Akupun memutuskan untuk membelinya dan memberikannya padamu.”

“Dasar! Bagaimana jika aku tidak suka bunga?”

“Bagaimana mungkin seorang peri tidak suka pada bunga?”

Serangan mendadak! Senja berhasil membuatku kalah telak karena kalimat manisnya.

“Sudah berapa banyak wanita yang mendengar kalimat ini darimu, buaya darat?”

Senja tertawa. “Baru Adhisti dan kamu. Mungkin nanti bertambah satu.”

Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung. Senja tersenyum.

“Aku akan mengucapkan itu juga ke anakku, Zia.”

“Ah baiklah!”

“Tapi tunggu, tadi kamu bilang bahwa aku buaya darat kan?”

“Iya,” jawabku.

“Apakah aku terlihat seperti itu?”

“Tentu saja! Kamu gemar mengucapkan kalimat manis seperti seorang buaya darat.”

Senja terkekeh. Kemudian menoleh ke arahku sembari tersenyum.

“Senja! Kamu sedang menyetir! Perhatikan jalanan!” gerutuku.

“Ah jalanan tidak menyenangkan, Zia! Yang menyenangkan ada di sebelahku.”

Aku memalingkan wajah. Ia terkekeh.

“Mengapa memalingkan wajahmu seperti itu?” tanyanya.

“Mengapa kamu masih menoleh ke arahku?”

“Kamu cantik. Aku hanya suka menatap wanita cantik.”

Huh, dasar!” gerutuku.

“Manusiawi, bukan? Seseorang akan senang melihat keindahan atau hal-hal yang ia sukai. Kamu indah dan aku menyukainya.”

“Sudah hentikan! Kamu pasti sering mengatakan ini ke banyak wanita, kan?”

“Hm. Kalimat ini baru saja ku ucapkan hanya padamu. Tetapi, mungkin iya, jika Tuhan menciptakanmu lebih dari satu.”

DIA SENJAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang