MENIKMATI sore hari di taman adalah hal yang aku dan Senja sukai. Momen itu adalah momen paling menyenangkan apabila dinikmati bersama.
Hanya saja hari ini aku kesal pada Senja.
Bukan Senja di dunia nyata!
Tapi Senja yang ku temui dalam mimpiku.
Aku bermimpi Senja sedang berjalan bersamaku di suatu taman. Lalu, aku meminta Senja untuk menemaniku membeli permen kapas, kala aku sudah menghentikan langkahku. Senja justru melangkah semakin jauh meninggalkanku karena terlalu fokus pada ponselnya.
Hingga ketika sudah lumayan jauh, ia baru berbalik karena menyadari aku tertinggal di belakang. Kemudian berlari ke arahku sembari berkata "Lho, kok kamu tidak ikut denganku?"
"Mana aku tahu! Aku juga kesal karena mimpiku! Harusnya kan aku mendapatkan mimpi yang seru, seperti berpetualang denganmu. Tapi, aku malah mendapatkan mimpi bertengkar denganmu. Makanya sekarang aku kesal!" gerutuku.
Senja terkekeh kemudian mengelus kepalaku. "Ya ampun kasihan sekali pacarku sedang kesal. Semoga nanti di mimpi selanjutnya aku tidak begitu lagi. Lagipula mimpimu ada-ada saja!"
"Mengapa kamu tidak fokus mendengarkanku? Mengapa kamu malah fokus pada ponselmu? Mengapa malah berjalan meninggalkanku?" omelku sembari cemberut ke arah Senja.
Senja tertawa. "Ya Tuhan, Zia! Aku tidak tahu harus menjawab apa!"
"Lihat kan? Tidak bisa menjawab! Harusnya kamu mendengarkanku kalau aku sedang bicara, jangan fokus pada ponselmu! Mengapa di mimpiku kamu seperti itu?! Menyebalkan! Kamu tidak mendengarkanku!"
"Ya sudah, maafkan Senja di mimpimu ya. Saya mewakili Senja di dunia mimpi meminta maaf," ujar Senja sembari terkekeh.
"Kenapa minta maaf sembari tertawa? Berarti kamu tidak tulus! Ah sudahlah aku malas!"
Senja terkekeh kemudian memberi tanda hormat kepadaku. "Siap! Salah!" serunya.
Setelahnya ia menggenggam kedua tanganku. "Sebelumnya, saya Senja dari dunia nyata. Memohon maaf, mewakili Senja di dunia mimpi atas kesalahan yang sudah ia perbuat, di mimpi selanjutnya tidak akan terjadi lagi hal seperti itu. Terima kasih!"
Aku tertawa mendengarnya, kemudian mengangguk. "Baiklah, dimaafkan! Tapi, lain kali tidak boleh seperti itu lagi, ya!"
"Siap! Nanti saya sampaikan ke Senja versi mimpimu ya!"
Aku tersenyum dan mengangguk.
"Tapi, Zia versi mimpimu menyebalkan juga ya, mengapa ia malah menyalahkanku?"
Aku melotot tak terima. "Lho, mengapa ini jadi salahku? Harusnya kan itu salahmu! Mengapa kamu tidak mendengarkan ketika aku meminta berhenti untuk membeli pemen kapas? Mengapa kamu tidak memperhatikanku saat kita berjalan bersama? Mengapa kamu malah fokus pada ponselmu dan sadar aku tidak ada di waktu yang cukup lama?"
Senja tersenyum kemudian mencium pipi kiriku.
Aku terkejut.
Wajahku pasti memerah!
"Senja!" gerutuku.
Senja tertawa. "Jadi, emosinya sudah terganti dengan rasa senang?"
Aku tidak menjawab. Aku hanya memalingkan wajahku, karena aku tahu betul wajahku sudah memerah sekarang.
Kedua pipiku sudah memanas!
***
"Senja, bagaimana jika akhirnya kita tidak lagi bersama?" tanyaku sembari bersandar di bahunya.
Senja mengelus kepalaku. "Aku akan menyimpanmu dalam suatu tempat di hatiku sebagai kenangan dan pembelajaran terbaik yang pernah aku dapatkan selama hidup."
"Apa kamu tidak akan mengusahakan agar kembali lagi padaku?"
"Tentu saja, Zia. Tapi, jika Tuhan tidak mengizinkan jalanku dan jalanmu menjadi satu arah, aku takkan bisa memaksa untuk terus kembali bersama denganmu. Aku akan mendo'akan agar kamu dan aku sama-sama bisa membahagiakan diri masing-masing meski akhirnya berjalan di jalan yang berbeda."
"Aku tidak mau kita berpisah! Aku sudah kehabisan tenaga untuk memulai hal baru dengan orang baru, aku malas menceritakan tentangku dan malas mencari tahu tentangnya. Aku hanya mau kamu!"
"Akupun begitu, sayang. Maka dari itu ayo kita jalani hubungan ini sambil terus mengevaluasi diri, memperbaiki diri agar menjadi layak untuk satu sama lain. Apapun yang salah dariku, tolong tegur aku secara perlahan. Bantu aku untuk berubah atas niat yang ku buat. Aku mengandalkanmu untuk terus memperbaiki diri."
Aku tersenyum. "Menjadi pacarmu memberiku banyak pengalaman terkait hal-hal indah ya, Senja. Aku bersyukur bisa bertemu denganmu."
"Aku juga bersyukur karena bertemu denganmu dan bisa memilikimu."
"Terima kasih sudah mau bertahan denganku disaat jutaan gadis lain jauh lebih menarik dibandingkan denganku, Senja."
"Sama-sama. Juga terima kasih karena tetap memilihku disaat ada jutaan pilihan terbaik di sekelilingmu, Zia."
Kunci hubungan sebenarnya ada di komunikasi. Komunikasiku dan Senja sangat lancar, kami sering bertukar pikiran tentang suatu hal.
Kala kami berbeda pendapat, Senja bukanlah orang yang akan mengalah. Ia justru menjelaskan satu hal padaku.
"Zia, ini pendapatku menurut pemikiranku sendiri. Dan itu pendapatmu menurut pikiranmu sendiri. Pendapat yang berbeda bukan berarti kita tidak bisa menyatukannya, justru kita bisa saling menghargai setiap perbedaan pendapat yang ada. Berkat hal itu, aku bisa lebih memahami jalan pikirmu, begitupun sebaliknya," kata Senja kala itu.
Hal itulah yang selalu membuatku bersyukur berkali-kali karna ia adalah Senjaku! Senja yang ku temui saat selesai melewati hari yang terik dan melelahkan.
Mungkin orang-orang sekarang menyebutnya dengan kata bucin. Tetapi, aku tidak terganggu dengan kata itu.
Toh, aku memang mencintai Senja. Wajar jika aku terus ingin di sampingnya dan bahagia karena telah bersamanya.
Jatuh cinta pada orang yang telah menyembuhkanmu dari trauma yang cukup parah adalah jatuh cinta paling luar biasa yang bisa dirasakan oleh manusia.
Dan aku telah merasakannya sendiri.
***
"Zia, aku mencintaimu!"
Aku yang sedang membaca buku pun menoleh ke arah lelaki yang duduk di sampingku. Senyum merekah ku hadiahkan.
"Aku juga mencintaimu, Senja," jawabku.
"Zia, kamu tahu tidak kalau aku sangat bahagia bersamamu?"
Ku tutup buku dan kini duduk menghadap ke arahnya.
"Mengapa begitu?"
"Karena pacarku adalah kamu. Perempuan hebat, perempuan keren dan perempuan pintar."
Aku tersenyum. "Kamu tahu? Aku bahkan selalu berpikir bahwa kamu layak mendapatkan gadis yang seharusnya setara denganmu. Laki-laki yang pandai bergaul, pintar, ramah dan bahkan beberapa karakter yang kamu miliki terlihat seperti karakter pada tokoh fiksi."
Senja tertawa. "Berlebihan. Mana mungkin aku begitu?"
"Hey! Ini kan pendapatku, kalau tidak setuju ya itu adalah urusanmu. Di mataku, kamu adalah alasan mengapa aku bersyukur karena bisa hidup sampai detik ini."
"Zia, kamu harus tahu. Aku mencintaimu, sangat. Aku ingin kamu percaya bahwa rasaku tulus, rasaku nyata. Aku adalah manusia yang mencintaimu setelah keluargamu."
Ku cium pipi kiri lelaki itu sampai semburat merah mulai muncul dari pipinya. Aku tersenyum geli, sepertinya ia sedang salah tingkah sekarang.
"Terima kasih ya, aku senang mengenalmu. Aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu. Dan, aku senang karena kamu adalah milikku."
Senja tersenyum kemudian mencium keningku dan menarikku ke pelukannya.
Aku tersenyum dan bersyukur untuk ke sekian kalinya.
***
Duh ilah, kebucinan ini😭
KAMU SEDANG MEMBACA
DIA SENJAKU
Teen Fiction"Perpustakaan adalah tempat awal aku menemukanmu."-Zia Dineshcara. "Perpustakaan adalah tempat awal aku memberanikan diri mengajak bicara seorang bidadari."-Senja Ganesh Janardhana.