SUDAH satu minggu sejak pertemuan aku dan Senja di taman. Sejak hari itulah aku jadi lebih sering menghabiskan waktuku dengan Senja.
Senja adalah laki-laki yang selalu siaga ketika aku membutuhkan bantuan atau seorang pendengar.
Seperti hari ini, kami sedang duduk berhadapan di sebuah café tempat muda-mudi biasa berkumpul.
"Bukankah memang selalu begitu ya, Zia? Sebaik atau sebagus apapun karyamu, akan selalu ada satu atau dua orang yang tidak menyukainya."
Aku sedang menceritakan perihal pesan masuk di laman instagramku. Sebuah pesan yang berisi hinaan terhadap tulisan-tulisan yang sudah ku publikasikan.
"Iya, tapi mereka tidak berhak menghina karyaku seperti itu," gerutuku sembari meminum segelas lychee yakult kesukaanku.
"Seharusnya memang begitu. Tetapi, apa yang bisa kamu harapkan dengan menjelaskan kepada orang yang bodoh, Zia? Memang penjelasanmu atau amarahmu dapat mereka pahami? Mereka jauh dibawahmu, perkataan apapun yang keluar dari mulutmu takkan membuat mereka mengerti."
Aku tersenyum. "Kamu memang selalu bisa menenangkanku, Senja."
"Begitulah, aku harus menjadi air untuk si cantik yang sering terbakar api amarah ini."
Aku merasa pipiku memanas mendengar kata cantik yang keluar dari mulut Senja. Ku pegang kedua pipiku dengan kedua telapak tangan membuat Senja menatapku bingung.
"Kenapa, Zia?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"Hei wajahmu memerah! Apa kamu sakit?" tanya Senja lagi.
Aku menggeleng lebih keras sembari sedikit menundukan kepalaku agar wajahku tidak lagi dipandangi olehnya.
Diluar dugaan, Senja malah menempelkan punggung tangannya pada keningku, membuat tubuhku membeku seketika.
"Suhunya panas! Kamu sakit!"
Begitulah, kepolosannya kadang membuatku bersyukur berulang-ulang kali.
***
Hari ini aku memenuhi janjiku untuk berkunjung ke rumah Senja. Kebetulan aku dan Senja memiliki hari libur kuliah yang sama. Sebelum menuju ke rumah Senja, kami menjemput Adhisti dulu ke sekolahnya.
Adhisti bersekolah di Sekolah Dasar yang tidak jauh dari kediaman mereka. Ia duduk di kelas satu.
Adhisti tersenyum lebar tatkala melihatku berdiri di hadapannya, aku tersenyum gemas melihat langkah gadis kecil itu terarah kepadaku.
Aku berlutut kemudian memeluk Adhisti. Adhisti memelukku erat.
"Adhis senang bisa dijemput oleh Kak Zia!" seru Adhisti.
Aku tersenyum. Kakak senang kalau Adhis senang, jawabku.
"Adhis? Kakakmu itu Kak Senja lho, bukan Kak Zia! gerutu Senja," dia tidak serius. Dia hanya ingin menggoda adik kecilnya itu.
Adhis melepas pelukannya padaku dan merentangkan tangan, meminta untuk digendong oleh sang kakak.
Senja tersenyum kemudian menggendong adik kecilnya itu seraya mencium gemas pipi kanan dan kirinya membuat Adhisti terkekeh geli.
Aku tersenyum memperhatikan interaksi kakak beradik itu, menggemaskan!
***
Kami sampai di sebuah rumah dengan nuansa putih dan coklat muda milik Senja, rumah yang tidak terlalu besar tetapi tetap kelihatan mewah. Senja memarkirkan mobilnya.
Lelaki itu kemudian turun, disusul olehku yang menggendong Adhisti, gadis kecil itu tertidur di pangkuanku saat perjalanan menuju kerumah.
Senja tersenyum kemudian mengambil Adhisti dariku dan menggendongnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIA SENJAKU
Dla nastolatków"Perpustakaan adalah tempat awal aku menemukanmu."-Zia Dineshcara. "Perpustakaan adalah tempat awal aku memberanikan diri mengajak bicara seorang bidadari."-Senja Ganesh Janardhana.