4) Haruskah Terluka Lagi?

22 1 0
                                    

TIGA bulan berlalu. Aku masih berkomunikasi secara intens dengan Senja.

Senja sekarang menjadi orang pertama yang ku hubungi ketika aku ingin berbagi cerita, meskipun hanya sebatas cerita random perihal aku yang tidak sengaja berpapasan dengan seekor kambing sebelum ia disembelih, aku yang menangis melihat ayam yang akan dipotong atau hal-hal aneh lainnya.

Senja selalu sabar mendengarkan segala ceritaku, dan selalu tertarik seolah ceritaku adalah cerita yang hebat.

"Senja, jika aku berubah jadi seekor cacing. Apa aku akan tetap cantik?" tanyaku ketika kami sedang berjalan di taman.

Senja menoleh. "Sepertinya begitu, karena kamu kan memakai sunscreen azarine."

Aku terkekeh. Jawabannya diluar nalar. Tetapi, kemudian aku bertanya lagi.

"Kalau aku berubah jadi seekor belut, apa kamu masih mau mengenalku?"

Senja mengangguk. "Tentu saja! Nanti aku akan menyimpanmu kedalam aquarium di kamarku, aku juga akan membuat rumah kecil untuk kamu tinggal disana. Jadi, setiap pagi saat baru bangun dari tidur, aku bisa melihatmu."

Aku sedikit tersipu mendengarnya, jawaban yang manis! Tetapi, aku tidak berhenti sampai situ, aku kembali bertanya.

"Oh, jadi tidak masalah ya kalau aku jadi seekor belut? Kalau aku jadi kentang mustofa bagaimana?"

"Tidak apa-apa, Zia. Kalau kamu jadi kentang mustofa aku akan meminta kepada penjaga warteg langgananku, ketika ia membuatnya, jangan pernah menjual ke siapapun. Ia harus menungguku datang, biar nanti aku bisa mengobrol denganmu yang sudah menjadi kentang mustofa itu."

Aku tersenyum. Meski percakapan ini aneh, Senja justru selalu memberikan jawaban-jawaban yang sebenarnya sangat ingin aku dengar.

Terima kasih, Senja!

***

Hari ini aku sedang berjalan bersama Meera, kami memutuskan untuk menonton film sekarang.

Sebab, sejak dekat dengan Senja, aku sudah jarang bepergian dengan sahabatku ini. Sehingga Meera marah besar!

"Kamu lupa ya, kalau kamu memiliki sahabat secantik aku karena sibuk melihat yang tampan?" kata Meera ketika ia mengeluh soal aku yang jarang ada waktu untuknya.

Menggemaskan bukan?

Kami melihat-lihat toko pakaian, memutuskan untuk membeli hoodie Alpaca kesukaanku.

Meera tidak beli pakaian yang sama denganku, ia membeli hoodie sapi. Perihal hewan, kami memiliki selera yang berbeda!

"Jadi, hubunganmu dan Senja sejauh mana?" tanya Meera ketika kami sedang antre untuk membayar.

"Hm, kami teman."

Meera mengernyit. "Sebatas teman?"

Aku mengangguk. "Lalu, menurutmu apa?"

"Ku kira kalian saling menyimpan perasaan."

Aku tersenyum. "Kalau boleh jujur, aku memang menyukainya."

Meera terkekeh. "Terlihat dari wajahmu yang selalu berbinar setiap kali matamu menangkap kedatangannya, Zia."

Aku terkejut. "Apakah sangat terlihat?"

Meera mengangguk. "Untukku yang sudah mengenalmu selama beberapa tahun, tidak sulit untuk menebak perasaanmu."

"Tapi, orang lain tidak mungkin bisa menebak semudah kamu menebaknya, kan?"

Meera menggeleng. "Entahlah. Coba tanya pada yang lain!"

"Sama saja kamu memintaku bunuh diri, Meera!" gerutuku.

DIA SENJAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang