Ketakutan

494 30 4
                                    

Ini tentang bagaimana cara mereka menjaga suatu hubungan. Bukan hanya dengan menjaganya agar tetap dalam genggaman, melainkan bagaimana menaruh sebuah kepercayaan agar tidak goyah. Kalau pun ada satu atau dua hal yang memang tidak bisa untuk diberitahukan, setidaknya keduanya harus paham betul kalau mereka sudah saling memiliki. Sudah ada rasa yang harus mereka jaga.

Bukankah mempertahankan sebuah rasa termasuk hal yang jauh lebih sulit daripada memulai rasa itu sendiri?

Inilah yang dirasakan oleh Ganggita.

Ia dan ketakutannya membuat ia harus menelan mentah-mentah berbagai macam pikiran yang seharusnya tak perlu ada. Tentang bagaimana perasaan yang perlahan mulai khawatir jika sewaktu-waktu Janu tak lagi menaruh hati padanya.

Ganggita sudah berusaha keras untuk memendam semua kekhawatirannya sendiri. Ia tak ingin membuat Janu merasa terganggu dengan perasaannya itu. Namun gagal, karena setiap kali ia mencobanya, selalu saja ada satu hal yang berhasil menyentilnya untuk terus menanyakan dimana keadaan laki-laki itu. Tengah bersama siapa Janu sekarang. Bagaimana dengan teman-temannya.
Ia tahu tak seharusnya begini. Tapi ia sendiri juga tak mampu.

“Dimana?”

Itulah satu kata yang berhasil Ganggita ucapkan setelah panggilannya berhasil terjawab. “Kenapa baru diangkat?”

Ada deru napas lelah yang Ganggita dengar, “Aku lagi di café sama anak kantor. Kan, aku juga udah bilang tadi. Kamu juga bilang boleh.”

“Iya, kamu emang udah bilang ke aku. Tapi, kan, aku juga bilang, kalau udah sampai jangan lupa kabarin aku.”

“Aku nggak sempet buat kabarin kamu. Aku di sini bener-bener sibuk banget. Di sini juga bukan karena main. Tapi karena ada urusan kerjaan.”

“Iya, aku ngerti. Tapi aku juga butuh kabar kamu.”

“Git, sudah berapa kali kita bahas ini. Ak—”

“Okeh, aku tutup. Maaf kalau udah ganggu.”

Ganggita melempar ponselnya ke atas kasur. Ia pusing dengan perasaannya kali ini. Cemas, takut, khawatir bercampur menjadi satu. Tentang kemungkinan-kemungkinan Janu yang menemui perempuan lain kini terbayang jelas di kepalanya.

Perasaan seperti ini muncul bukan tanpa alasan. Jauh sebelum Ganggita menjalin hubungan dengan Janu, ia pernah dikecewakan dengan sangat. Ganggita mempercayai laki-laki itu dengan begitu besar. Namun ketika Ganggita sudah memberikan kepercayaan tersebut, ia justru dibuat hancur dengan sebuah kabar derita.

Ganggita ingat ketika sahabatnya mengingatkan ia untuk tidak berlaku seperti itu kepada Janu, mereka justru berakhir tak baik. Ganggita marah karena ia merasa sahabatnya itu tak mengerti tentang ketakutannya.

“Lo nggak ngerti dan lo nggak bakal ngerti karena nggak pernah ada di posisi kayak gue.”

“Gue emang nggak pernah ada di posisi lo. Tapi gue tahu, hal kayak gini nggak sehat dan bikin lo nggak tenang.”

Mungkin dari banyak nasehat yang sahabatnya sampaikan, hanya itu yang bisa Ganggita ingat. Hingga sampai saat ini, Ganggita masih sama sekali tak mendengarkan nasehat dari sahabatnya itu. Ganggita tetap teguh pada pendiriannya.

Ganggita meraih kunci mobil dari atas nakas. Tak lupa membawa tas selempang yang biasanya ia kenakan jika sedang pergi ke luar. Malam ini ia harus memastikan bahwa semuanya masih baik-baik saja.

Sembari berjalan menuju parkiran mobil, Ganggita mengetikkan sebuah pesan singkat kepada Janu, “Jangan kemana-mana. 30 menit lagi aku dateng,” yang tentu saja tak langsung mendapatkan balasan dari laki-laki di seberang sana.

ASMARALOKA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang