Rambut berantakan, wajah kucel, baju kusut adalah pemandangan yang sudah biasa terlihat di kediaman keluarga Pak Jarwo. Anak bontotnya yang naasnya ialah seorang gadis itu terlihat sama sekali tak memperhatikan penampilannya.
Kalau dinasehati oleh sang bunda, ia pasti akan dengan lugas menjawab. "Bun, jodoh itu datangnya bisa kapan aja dan menerima segala kekurangan pasangannya," ucapnya kala itu sembari mencomot tempe goreng hangat hasil gorengan bundanya.
Ada tiga hal yang menjadi targetnya saat ini. Pertama, menjadi sarjana—untungnya ia bisa melewati ini meskipun ia hampir menangis setiap hari karena dosen pembimbingnya galak. Kedua, ia ingin bekerja di perusahaan ternama tapi bosnya harus baik hati. Ketiga, ia harus menikah dengan lelaki kaya raya.
Sepertinya yang kedua harus ia coret karena hingga saat ini, tak ada perusahaan yang memanggilnya untuk interview. Jadi kesimpulannya ia harus mencari laki-laki tajir.
Tapi bagaimana bisa jika penampilannya kumal seperti ini?
Balik lagi! Jodoh akan menerima baik buruk pasangannya. Hanya itu satu keyakinan yang Gracia miliki sekarang.
"Mau kemana kamu sama tampilan yang kayak gitu?"
Gracia memandang malas papanya yang membaca koran di ruang tamu. "Beli es, Pa. Haus."
"Kamu itu, jangan kebanyakan beli es. Minum aja air putih, baik buat kesehatan."
"Iya, nanti."
"Punya anak perawan satu gini banget."
"Iya kalau perawan," cicit Gracia pelan.
Menjadi anak perempuan satu-satunya mengingat sang kakak adalah perjaka tangguh—yang Gracia sendiri masih meragukan keperjakaannya—bukanlah hal yang mudah. Kakaknya bisa dengan bebas nikah kapan saja. Sementara ia harus dituntut, setidaknya harus memiliki pacar.
Pacar ya? Gracia saja tidak yakin ada yang mau dengannya. Sukur-sukur ada yang tertarik meskipun hanya sedikit. Ia berjalan di tengah kerumunan para cowok pun, tetap saja tidak digubris.
Jadi kemanakah ia harus mencari belahan jiwanya? Apakah Gracia harus menanyakan pada rumput yang bergoyang?
"Rumput….kamu tau dimana calon suamiku, tidak?"
Sial, bahkan rumput sekarang pun enggan untuk bergoyang.
Gracia berjalan setelah tidak menemukan jawaban apa-apa atas pertanyaannya kepada rumput tadi. Tangan kini telah memegang es tea jus rasa gula batu kesukaannya. "Kalau nikah atau punya pacar harus jadi cantik dulu gitu? Emang nggak boleh kalau penampilannya begini?"
"Awas, Neng," seru tukang angkut barang yang sekarang lewat di depannya.
Melalui kaca lemari yang tukang tersebut bawa, Gracia dapat melihat pantulan dirinya. Celana olahraga berwarna kuning jaman SMA, kaos merah dengan lambang garuda di dadanya—Gracia bilang ia menyukai kaos ini karena menunjukkan kecintaannya terhadap timnas Indonesia. Jangan lupakan sandal swallow hijau menyalanya.
Kalau kata Kak Tom, Gracia persis seperti jemuran berjalan.
"Cantik, kok."
Dan mungkin hari ini adalah salah satu hari sial dalam daftar hidupnya, sandal swallow yang sudah bolong karena keseringan dipakai, kini juga putus. Karena kesal tapi tidak mau membuang benda pusakanya itu, Gracia mencari sesuatu yang bisa membuat sandalnya utuh lagi.
Karet. Gracia menemukannya.
Dengan duduk tanpa alas, Gracia mulai memperbaiki sandalnya. Ia punya ide untuk memberikan karet tepat pada bagian yang putus. Es di tangannya cukup mempersulitnya melakukan itu. Namun Gracia yang juga pecinta es batu tidak mau membuang itu. Jadi jalan satu-satunya hanya menggigitnya di ujung plastik.
Gracia pikir cuaca sedang mendung karena yang tadinya panas sekarang menjadi sedikit petang. Tapi anehnya kenapa hanya pada bagiannya saja. Sementara yang lain tetap panas.
"Eh…" Gracia terkejut karena di depannya sudah ada sepasang sepatu yang mengkilap. Sepertinya itu mahal. Apa uang jajannya cukup untuk membeli benda itu? Sepertinya tidak, karena ia tidak sekaya itu.
Perasaan baru kemarin ia menamatkan serial drama favoritenya dan baru tadi pagi ia bermimpi menikah dengan pangeran dari negeri seberang. Dan sosok dengan payung transparan ini kenapa ada di depannya sekarang?
Seketika Gracia teringat akan soundtrack drama Korea yang berjudul Goblin. Gracia jadi membayangkan hidup dalam sebuah drama romantis.
“Mbak, ada yang bisa saya bantu?”
Gracia mengerjapkan mata. “Iya?”
“Mbaknya kenapa duduk di sini?”
Ia berdiri sambil menepuk pantatnya yang sayangnya tidak ada semok-semoknya itu. Sebenarnya ia sedikit sedih karena bertemu pangeran disaat penampilannya seperti dayang-dayang kerajaan. Bahkan dayang saja sepertinya masih berpenampilan bagus dan menarik, tidak seperti dirinya yang terlalu biasa saja.
Dengan sisa-sisa kewarasannya, Gracia membuang bungkus es itu sembarangan. Semoga ia tidak menyesalinya nanti karena di sana masih banyak es batunya.
“Oh…hmmm, nggak. Gapapa.”
Sandal swallownya sudah bisa digunakan berkat karet gelang yang Gracia temukan di pinggir jalan tadi.
“Kamu….Gracia, kan? Anaknya Om Jarwo?”
“Kok tahu?” tanya Gracia bingung.
Jarang-jarang ada orang yang mengenalinya, kecuali tukang sayur langganan bunda.
“Kamu beneran lupa sama aku?”
“Aku?”
“Aku Santio, partner kamu nyolong mangga punya Pak RT pas waktu kecil dulu.”
“Santio?”
Terkadang otaknya suka nggak bisa diajak bekerja sama apalagi sekarang usianya memasuki usia-usia jompo.
“Iya. Kita juga pernah ilang bareng gara-gara mainnya kejauhan. Santio, yang dulu suka kamu panggil Sasa.”
Aaaahhh, nama itu. Gracia ingat sekarang. Laki-laki kecil yang kelakuannya sebelas dua belas sama sepertinya, yang dulu dekil, botak dan ompong. ㅤ
“Tapi kok berubah jadi gini?”
“Makin ganteng, ya?”
“Lumayan.”
“Seneng nggak ketemu sama aku?”
“Ehmmm, biasa aja.”
Bohong. Sebenarnya ia senang. Dikit.
“Btw aku udah pindah lagi ke rumah ortu aku yang lama. Kapan nih kita bisa nyolong mangga lagi?”
Oh Tuhan, rupanya laki-laki itu bukan pangeran berkuda putih. Melainkan cowok bersarung ronda.
ㅤ
Dia, 19 Februari 2023
_________________
KAMU SEDANG MEMBACA
ASMARALOKA ✓
General Fiction[ ONESHOT ] Karena mereka punya kisahnya sendiri. © bubbletiess ✨