Bahagia Yang Bagaimana

569 38 1
                                    

Di hidupnya Klaura selalu dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya. Tak sedikit pun dari mereka yang selalu memperhatikan keadaan Klaura. Entah itu makanan apa yang akan ia makan, apa pekerjaannya berjalan dengan baik atau tidak, keadaan di rumah selama ini bagaimana, hingga pertanyaan klise sebagian orang yang sering diajukan, “Kamu gapapa?”

Sampai mereka lupa dengan satu kalimat yang sangat ingin Klaura dengar, “Jangan lupa bahagia.”

Hingga di detik pernikahannya yang berjalan setengah tahun, Klaura tidak menemukan kebahagiaan itu sendiri. Klaura pikir dengan menikahi Deon yang sangat ia sayangi, ia bisa menjemput bahagia itu. Tapi ternyata tidak. Semuanya justru terasa hambar.

Klaura tidak paham kenapa hal ini bisa terjadi. Kalau ditanya apakah ia menginginkan pernikahan ini atau tidak, Klaura bisa dengan yakin menjawab, “Iya.” Tapi semakin ke sini, Klaura malah merasakan kesepian yang sangat mencekik. Deon—suami Klaura—yang notabenenya adalah seorang dokter harus dipindah tugaskan ke perbatasan untuk menjadi relawan di sana. Pria itu terpaksa meninggalkan istrinya yang baru saja ia nikahi seorang diri di dalam sebuah rumah besar yang sudah ia persiapkan untuk mereka tinggali berdua.

Ponsel di tangan Klaura berdering, menyuguhkan kontak sang ibunda pada layarnya. “Hallo, Ma?”

“Hallo, Sayang. Kamu sibuk? Mama lagi bikin kue kesukaan kamu. Mau dikirim sekarang?”

Klaura menatap jam di tangannya, “Klau hari ini ada lembur. Jadi kayaknya Klau pulang malem banget.”

“Mama kirim aja ya ke rumah. Taruh kulkas. Kan, masih bisa dimakan nanti-nanti.”

“Ma?”

“Iya?”

“Mas Deon, masih belum ada hubungin Klau.”
ㅤㅤ
Ada hening di ujung sana yang Klaura sendiri tidak tahu apa yang ibundanya itu pikirkan. Mungkin tengah mencari kata penghibur bagi dirinya yang menyedihkan ini.
ㅤㅤ
“Kamu sudah coba hubungin suamimu?”
ㅤㅤ
“Udah….Tapi tetep nggak ada balasan. Terakhir pesan Klaura dibalas dua minggu yang lalu.”
ㅤㅤ
Harusnya ia tak menceritakan ini kepada orangtuanya. Sebab di detik terakhir Klaura mengeluarkan kalimat itu, ibundanya berkata, “Wajar, Klau. Suamimu lagi kerja di perbatasan. Pasti sangat sibuk di sana. Mungkin di sana juga susah signal.”
ㅤㅤ
Bukan!
ㅤㅤ
Bukan ini yang ingin Klaura dengar. Klaura juga tahu kalau di sana Deonnya sedang sibuk. Dari sekian banyak kalimat, kenapa ibundanya selalu melontarkan kalimat itu. Ibu tidak pernah bertanya apakah Klaura bahagia dengan keadaannya kali ini.
ㅤㅤ
Panggilan ditutup begitu saja. Jujur, Klaura merindukan suaminya. Namun di lain itu, Klaura jauh lebih butuh teman berbicara. Dan saat ini di kepalanya hanya ada satu nama. Rayan.
ㅤㅤ
Klaura kesepian. Sangat.

_________________

ㅤㅤ
Suara bel apartemen berbunyi nyaring ketika Rayan tengah membaringkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Setengah jam yang lalu ia baru saja pulang dan masih mengenakan setelan kerja lengkap.
ㅤㅤ
Tanpa perlu melihat siapa yang tengah bertamu, Rayan langsung saja membuka pintu. Dan dengan ekspresi yang dibuat sedemikian rupa untuk tidak terkejut barang sedikit pun, Rayan akhirnya menyapa serta memberikan seulas senyum yang sedikit ia paksakan.
ㅤㅤ
“Klau, lo ngapain ke sini malem-malem gini?”
ㅤㅤ
“Boleh gue masuk?”
ㅤㅤ
Pertanyaan itu menggantung cukup lama. Bukan Rayan tak mau dikunjungi oleh Klaura. Tapi sekarang sudah ada skat yang sangat nyata di antara mereka. Semenjak kejadian malam itu, hubungan mereka perlahan merenggang. Tidak ada lagi pertemuan malam yang biasanya mereka lakukan hanya untuk sekedar mencari angin segar.
ㅤㅤ
Rayan tidak menghindari Klaura, tapi ia ingin membuat hatinya terbiasa akan ketidak hadiran wanita itu meskipun ia sangat ingin mendobrak dinding kokoh tersebut.
ㅤㅤ
Rayan masih bertahan pada rasanya.
ㅤㅤ
“Ngapain ke sini? Ini udah malem.”
ㅤㅤ
“Lo udah makan?”
ㅤㅤ
Rayan melihat setelan kerja yang melekat di tubuh Klaura. Ia yakin sekali kalau perempuan itu baru selesai lembur dari kerjaannya. “Belum. Gu—” ucapannya terpotong karena dengan cepat Klaura masuk begitu saja ke dalam apartemen Rayan. Rayan juga tidak mencoba untuk menahannya. Yang dilakukan pria itu hanya mengekor sembari berpikir, apakah ini salah?
ㅤㅤ
Membuka satu persatu isi kulkas, Klaura tidak menemukan satu pun persediaan makanan yang bisa ia masak. Yang ada hanya sisa nasi yang Klaura sendiri tidak tahu kapan terakhir nasi itu dibuat.
ㅤㅤ
“Ini nasi kapan?”
ㅤㅤ
“Tadi pagi masih gue makan, kok. Kayaknya masih bisa,” ucap Rayan sembari menggaruk pelipisnya.
ㅤㅤ
“Gue bakal bikin nasi goreng dengan bumbu seadanya. Kan, gue udah bilang, jangan lupa beli bahan makanan. Jangan junk food terus, Ray.”
ㅤㅤ
“Iya-iya. Besok nggak lagi.”
ㅤㅤ
Klaura mendengus. Dengan sekali gerakan, wanita itu menanggalkan blazernya dan menyisakan kemeja tanpa lengannya. Sedangkan Rayan memilih untuk duduk lalu memperhatikan punggung cantik itu. Rasanya sudah lama sekali Rayan tidak menyaksikan pemandangan seperti ini.
ㅤㅤ
Andai saja wanita itu memilih untuk tidak mencintai suaminya. Andai Klaura lebih mempertimbangkan lagi perasaan Rayan, pasti semuanya akan jauh berbeda.
ㅤㅤ
“Suami lo masih belum pulang?”
ㅤㅤ
“Belum.”
ㅤㅤ
“Terus kapan pulang?”
ㅤㅤ
“Enggak tahu.”
ㅤㅤ
Memang benar Klaura tidak mengetahuinya. Tapi lebih dari itu, Klaura jauh lebih malas membahasnya. Sudah cukup setiap hari ia disibukkan dengan pikiran-pikiran kapan suaminya itu akan membalas pesannya.
ㅤㅤ
“Oh…”
ㅤㅤ
Wangi dari nasi goreng yang Klaura sajikan mulai menyapa indera penciuman Rayan. Dengan satu porsi nasi goreng tanpa telur setengah matang membuat perut Rayan yang tadinya sudah lapar jadi semakin lapar.
ㅤㅤ
“Kenapa cuma satu?”
ㅤㅤ
“Gue udah makan.”
ㅤㅤ
Rayan mengambil dua sendok dan memberikannya kepada Klaura. “Makan sama gue. Gue tahu lo juga belum makan.”
ㅤㅤ
Mau tak mau, Klaura mengambil alih sendok itu dan mulai memakan nasi gorengnya dengan tenang. Hal tersebut sama dilakukannya oleh Rayan. Mereka menikmati dalam diam. Entah pikiran apa yang saat ini menggelantungi kepala mereka.
ㅤㅤ
“Gue dijodohin….” Pernyataan yang tanpa aba-aba tersebut membuat Klaura tersedak. Ia sangat kaget dengan ucapan yang Rayan lontarkan secara tiba-tiba itu.
ㅤㅤ
“Mungkin kalau gue sama dia udah cocok satu sama lain, tahun depan gue bakal lamar dia.”
ㅤㅤ
Meski Klaura yakin kalau Rayan sangat menyadari keterkejutannya. Tapi sebisa mungkin Klaura mencoba menetralisir mimik wajahnya.
ㅤㅤ
“Secepat itu?”
ㅤㅤ
“Iya. Gue juga udah nggak punya alasan lagi untuk tetap bertahan, kan? Wanita yang gue cintai udah terlanjur nikah sama pria lain.”
ㅤㅤ
“Ray….”
ㅤㅤ
“Lagian jatuh cinta sama dia bukan perkara sulit. Dia wanita yang baik, pintar, mandiri dan cantik. Jadi nggak ada alasan buat gue untuk nggak jatuh cinta sama dia.”
ㅤㅤ
Entah kenapa ada perasaan tidak rela menggelayuti hati Klaura. Ada perasaan yang membuatnya ingin menarik jauh Rayan dari jangkauan wanita itu. Klaura tahu ini salah. Namun ia juga tak bisa mencegah perasaan yang tiba-tiba muncul.
ㅤㅤ
Kalau memang perasaan itu nyata adanya, kenapa harus datang terlambat. Kenapa harus sekarang setelah ia memilih untuk menikahi suaminya. Atau ini semua hanya sementara?
ㅤㅤ
Klaura memutuskan untuk mengakhiri acara makannya. Lalu beranjak untuk mencuci tangan meninggalkan Rayan yang menatapnya dengan pandangan rapuh.
ㅤㅤ
“Klau, setelah ini lo bisa hidup dengan bebas tanpa takut dengan perasaan yang gue miliki. Karena cepat atau lambat, gue bakal bisa ngilangin perasaan gue ke lo….” Ada jeda yang sengaja Rayan berikan untuk melihat bagaimana respon Klaura. Namun wanita itu masih saja memunggunginya tanpa berniat berbalik untuk menatapnya.
ㅤㅤ
“Klau, jangan lupa bahagia.”
ㅤㅤ
Bahagia apa yang Rayan maksud? Bahagia apa yang Klaura inginkan? Semuanya terasa kosong. Jika yang Rayan maksud adalah bahagia dengan pilihan hidupnya, apa ia sendiri bisa melakukan itu? Bahkan sampai saat ini Klaura tidak tahu bahagia seperti apa yang ia mau.

Dia, 28 Desember 2022

_________________

_________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


ASMARALOKA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang