Bab 5

3 2 0
                                    

"Vina, jadi kembali ke pondok besok?"

"Iya ma, takut ketinggalan jauh materinya nanti."

"Ga sekalian hari minggu kak, mama masih kangen soalnya." Vina hanya tersenyum kemudian memeluk mama tersayang itu.

"Niatnya gitu, tapi besok Jum'at ada pembelajaran madin yang Vina suka terus nanti Vina juga ada jadwal mengajar anak-anak TPQ."

"Hati-hati ya di pondok, jaga kesehatan jangan telat makan kalo cape izin jangan terlalu di forsir jangan kebanyakan minum es terutama yang pedes nanti asma kamu kambuh sama asam lambungnya."

"Iya-iya mamaku tercintaa, Vina bakalan jaga diri Vina sebisa mungkin okey."

"Untung sekolah Vina besok libur, jadi ga bingung kayak dua hari ini deh ijinnya."

"Yaudah, siapin dan diberesin yang teliti barang-barang yang mau dibawa ke Pondok jangan sampai ada yang ketinggalan loh ya."

"Inggih kanjeng mami, siap."

Ermi tersenyum, kemudian beranjak meninggalkan kamar anak sulungnya tersebut.

____

Keesokan harinya Vina sudah kembali ke Pondok, ia melakukan aktivitas nya kembali seperti sekarang ia sednag mengajar anak TPQ.

Namun tetiba saja mba-mba pengurus memanggilnya.

"Ada apa nggih mba?"

"Vina sampean di timbali Abah di ndalem." Ucap mba Luha.

"Sekarang mba?"

"Iya, cepetan abah sudah nunggin disana biar saya yang gantiin kamu ngajar." Vina mengangguk kemudian bergegas ke ndalemnya kyai.

Sesampainya di ndalem ia berjala dengan berlutut kemudian mengucpa salam yang ternyata di ndalem sudah ada dua santriwan.

"Nah, sini nduk."

"Nggih bah."

"Jadi gini leh, nduk abah kan di undang sama ustadz zen untuk ke acara Haulnya beliau. Karena Abah ada kepentingan mendadak juga di Pasuruan jadi abah minta tolong sama kalian."

ketiganya mengangguk dan abah kembali berucap, "Vina, Dewa, sama Hanif pergi kesana nggih, itung-itung buat perwakilan abah sama umi soalnya habis ini abah berangkat ke Pasuruan. Dan kalian berangkatnya besok pagi sehabis Shalat shubuh."

"Aslinya cuman Dewa sama Hanif, tapi umi ada titipan yang mau diberikan sama istrinya ustadz zen jadi nyuruh Vina juga untuk ikut."

"Ke ndalemnya ustadz zen kendaraan nya gimana nggih bah, saya boncengan sama Dewa terus Vina pripun?" Tutur Hanif

"Vina bisa bawa motor sendiri bah." Tutur Vina, menyauti ucapan Hanif.

"Kenapa gak sama Dewa aja? Nanti saya yang akan bawakan barang-barang titipan umi." Hanif yang berbicara ngawur mendapatkan plototan dari Vina, bisa-bisanya cowok itu merekomendasikan hal yang mengada-ada.

"Loh ya jangan, orang bukan mahram."

Kemudian tanpa dosa Hanif berucap, "Nggih siapa tau bisa jadi mahram bah." Kemudian semuanya tertawa mendengar ucapan hanif sedangkan Dewa dengan Vina menduduk keduanya menahan malu di depan Abah.

"Yasudah, nanti naik mobil abah yang Avanza hitam biar hanif atau Dewa yang nyetir nanti vina duduk di kursi belakang."

Kemudian ke tiganya mengangguk, lalu keluar dari ndalem. Sesampainya di luar Vina langsung melempar sendal ke arah hanif.

"Aduh, kok main ngelempar sandal aja sih kamu." ringis Hanif sambil mengelus pundaknya yang terkena sandal.

"Lagian kamu tuh ya, tengil banget sih dari awal aku masuk sampai sekarang masih aja ga berubah." sungut vina sambil membenahi jilbabnya yang sedikit merosot.

"Loh emang aku salah apa."

"Udah deh mendingan kamu kembali ke wilayahmu sana, jangan sukanya tebar pesona di pondok putri doang ngajinya tuh dibenerin dulu."

"Wess... nggih mba ustadzah si paling bener ngajinya." Vina yang mendengarnya makin melotot, Dewa yang melihat hal itu segera melerai keduanya ia sebenarnya menahan tawa melihat ekspresi perempuan di depannya ini namun ia harus menjaga image di depan sang pujaan hati.

Ya, Dewa menyimpan rasa pada Vina. Eh tapi bukan menyimpan lagi namanya, karena Vina sudah tau perasaan Dewa bahkan sepondok putra-putri pun tau makanya banyak yang ngeceng-cengin Vina dan Dewa di pondok. Jangan kira Perasaan Dewa bertepuk sebelah tangan, bisa dikatakan juga Vina sedikit menaruh hati pada Dewa. Namun keduanya sudah sepakat untuk menahan rasanya masing-masing biar waktu yang menentukan kedepannya gimana, karena dari Vinanya sendiri ia tak mau terperangkap dalam lingkaran cinta yang ia anggap belum waktunya.

Yang Vina inginkan hanyalah sebuah ikatan suci yang dilandaskan karena Allah, dan Dewa memaklumi keputusan Vina ia juga merasa sangat bodoh ketika mengajak kencan Vina. Begitulah jika berurusan dengan yang namanya perasaan. Jika bukan sebaik-baiknya ilmu dan iman yang yang menjadi pedoman kita, maka kita akan diperdaya oleh perasaan yang tiada ujungnya.

AKADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang