CHAPTER #14

535 104 4
                                    

   Bibi Neet menusukkan parangnya ke punggung tepat menembus dada Doyu, Haruto yang tepat berada di bawah Doyu merasakan darah basah yang mencuat keluar setelah parang itu dicabut bibi Neet. Junkyu menyapu wajahnya menggunakan lengan kanan, darah itu juga menembus padanya. Haruto dan Junkyu saling tatap juga menelan ludah hingga akhirnya Haruto menoleh ke belakang—menatap paman Doyu mendelik kesakitan.

  Haruto dan Junkyu segera menghindar dari duduknya, mereka segera berdiri dan melangkah meskipun sebetulnya hampir tak mampu. Doyu jatuh tak bernyawa, sebilah parang itu sudah terlepas dari tangan bibi Neet, bahunya naik turun—berusaha tenang dan mengambil napas sebanyak mungkin. Kedua matanya menatap wajah Doyoung yang pucat, lalu berkata pelan karena rasa bersalahnya.

"Maaf, Doyoung." ucapnya lalu menunduk, Doyoung tak memberikan reaksi. Ia hanya menatap kosong ke lantai, bukan, ia menatap darah kehitaman yang meluas membasahi lantai kering.

"Nenek pergi." Jawab Doyoung pelan, bibi Neet menatap ke seluruh ruangan, memang betul tidak ada keberadaan Nenek di tempat ini. Bibi Neet melangkah menuju tempat Doyoung diikat, bibi Neet kembali mengambil parang yang ia jatuhkan. Bibi Neet memotong tali dan menurunkan Doyoung perlahan-lahan, setelah berada di bawah, bibi Neet merangkul Doyoung dan membawanya ke luar dari ruangan ini.

Tidak ada percakapan apa-apa setelah mereka keluar dari ruangan itu. Kali ini, bibi Neet yang memimpin jalan, empat keponakannya itu mengekor di belakang, Haruto terlihat menunduk sepanjang perjalanan—katanya Bibi Neet akan membawa mereka ke tempat makanan di simpan, ia tahu keempat keponakannya itu  kelaparan.

  Lain dengan Mashiho yang sejak awal menunggu ketiga sepupunya keluar dari ruangan itu—merasakan matanya yang terasa sangat gatal. Infeksi mungkin sudah terlambat untuk ditangani, lagipula Mashiho juga lupa akan satu matanya yang terluka. Ia hanya diam tanpa bercerita pada siapapun soal gatal yang timbul akibat luka tusuk itu.

"Mashiho," Mashiho menatap wajah Junkyu yang kotor, sekarang mereka sudah sampai di dapur Mansion. Mereka juga sudah duduk di kursi menghadap meja makan dikali pertama Zivan bersikap aneh.

"Maaf, kami mengabaikan mata mu. Apa yang kau rasakan, katakan saja. Kita akan kembali ke ruang unit kesehatan." Selalu saja Junkyu yang mementingkan saudara-saudara sepupunya. Selalu saja Junkyu yang berusaha melindungi mereka padahal sebetulnya ia juga tak mampu, tapi ia juga berterima kasih pada Haruto yang rela terluka hanya untuk melindunginya.

  Mashiho hanya tersenyum mendengar kata itu. Di sebelah sana, Doyoung terlihat lebih bersih—hanya dirinyalah yang tidak terluka karena bertahan. Doyoung menatap wajah kakak sepupunya, Junkyu yang kotor dengan luka sayatan di tangannya, Haruto yang menahan rasa sakit di punggungnya dan Mashiho yang harus kehilangan matanya, tiba-tiba saja kedua matanya basah. Doyoung merasa bersalah dan menangis tidak bersuara, Doyoung merasa dirinya hanya parasit diantara saudaranya.

"Doyoung," bibi Neet berkata pelan sambil  menaruh kue ulang tahun sisa perayaan Zivan, juga sebiji apel dan beberapa lembar biskuit coklat.

"Bibi minta maaf, jika kamu sedih soal kepergian Ayah dan Ibu mu. Bibi minta maaf." Bibi Neet memeluk Doyoung dari belakang, remaja itu semakin menangis mengingat dirinya yang sudah kehilangan kedua orang tuanya.

"Doyoung, kamu tidak sendiri. Aku juga sudah tidak memiliki orang tua, Asahi juga. Aku tahu, aku banyak melakukan kesalahan, kejadian di tempat ini membuat ku sadar, bahwa aku hanya memiliki kalian di sini. Jadi, aku minta maaf dengan tulus atas sikap dan kelakuan semena-mena yang sudah aku lakukan." Haruto menunduk malu, semua mata tertuju padanya. Junkyu ingat seberapa menyebalkannya Haruto, apalagi kekerasan fisik yang ia lakukan pada Doyoung beberapa tahun terakhir benar-benar tak bisa dimaafkan.

"Sebetulnya, kata maaf saja tidak bisa mengembalikan semuanya seperti awal. Tapi aku bersyukur, kau menyadarinya Haruto. Terima kasih, atas kata maaf mu yang tulus untuk Doyoung." Junkyu mewakili atas pengakuan Haruto, semuanya yang ada di meja makan diam. Begitu pun Bibi Neet yang sudah bergabung dengan mereka, bersyukur karena kehadiran Bibi Neet sangat membantu mereka.

  Makan malam ini berjalan dengan khidmat dengan makanan seadanya, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kejadian yang bermula senja hari tadi terasa panjang untuk mereka lalui, Mashiho merasakan perutnya yang mual, padahal sebetulnya rasa makanan itu cocok-cocok saja untuknya.

"Junkyu, mana Ayah dan Ibu mu? Bibi tidak melihat mereka?" Pertanyaan dari Doyoung kepada dua orang sekaligus berhasil membuat Junkyu teringat akan keberadaan orang tuanya itu. Betul sekali, Junkyu sendiri tidak bertemu mereka setelah pesta ulang tahun Zivan.

   Junkyu hanya menggeleng menjawab pertanyaan itu, sebetulnya dirinya juga mengkuatirkan keberadaan orang tuanya. Atau kah mereka sudah mati? Junkyu tidak tahu ke mana perginya, yang pasti untuk saat ini ia harus selamat. Tanpa terasa, makanan sudah habis mereka nikmati—hanya saja sebiji apel jatah Doyoung ia berikan pada Junkyu—karena Doyoung alergi apel.

  Kaki mereka melangkah lagi, dituntun Bibi Neet mereka pergi ke ruang unit kesehatan. Mereka akan membersihkan dan mengobati luka-luka masing-masing sebelum semuanya parah. Bibi Neet menyalakan lampu ruangan ini, mata Doyoung menatap ke seluruh penjuru ruangan. Kaki mereka berhenti tepat di sofa empuk yang berada tak jauh dari rak tempat obat di simpan.

  Bergegas Doyoung bergerak dan mengambil obat untuk Junkyu, Doyoung mengobati luka Junkyu. Doyoung berusaha untuk tidak meninggalkan rasa perih dengan robekan yang ada di tangan Junkyu, sangat berusaha sekali agar Junkyu tidak kesakitan.

"Bibi," suara Junkyu terdengar bergaung di ruang unit kesehatan, Junkyu satu-satunya yang mengeluarkan suara di tempat ini. Matanya juga melirik sedikit ke arah Mashiho yang duduk dengan menimbun wajahnya di antara lipatan tangan—mungkin Mashiho tertidur—pikir Junkyu.

"Ada apa dengan Zivan? Dan kenapa Nenek sangat aneh? Bibi pasti tahu semuanya 'kan?" Tiga tembakan pertanyaan dari Junkyu mengudara, Bibi Neet terdiam sejenak dan kembali melanjutkan kesibukannya mengobati luka Haruto.

"Benar, kenapa Ibu meminta ku mengikuti upacara itu, Bibi?" Kali ini Haruto yang bersuara, kedua mata Bibi Neet menatap wajah Haruto lalu tatapan itu juga dilemparkan pada Junkyu. Pertanyaan yang cukup sulit dijelaskan, Bibi Neet seperti mengingat sesuatu sebelum dirinya berkata jujur.

   Doyoung yang sudah selesai mengurus Junkyu segera berdiri, lalu melangkah mendatangi Mashiho yang masih menimbun wajahnya di antara lipatan tangan. Doyoung tersenyum kaku, lalu memegangi tangan Mashiho dan berkata, " kau pasti lelah, angkat kepala mu, biarkan aku mengobati mata mu." Ucapan Doyoung mengudara, ia menyentuh pundak Mashiho dan tiba-tiba saja Mashiho jatuh ke tengkurap ke lantai, memuntahkan air liur yang sangat banyak, kental dan bau. Air liur itu membasahi permukaan sepatu Doyoung yang memang sudah kotor, kedua bola matanya menatap tak berkedip pada Mashiho yang masih telungkup.

"Doyoung, mundur." Ucap Junkyu yang langsung berdiri dari duduknya, melihat Mashiho yang memiliki gejala aneh sama seperti Zivan.







🔸🔹🔸🔹




BONEKA DAGING

BONEKA DAGING | DOYOUNG & JUNKYU✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang