CH. 32

410 57 6
                                    

  Mendengar suara Junkyu, Doyoung terperanjat kaget bukan main. Anak itu segera bangun dan menatap wajah Junkyu yang pucat dan kedua matanya masih tertutup, dilihatnya pula bibir Junkyu —memastikan kalau itu benar-benar suara Junkyu. Doyoung menggeleng kuat, suara itu hanyalah imajinasi yang tercipta di kepalanya, api unggun kian kecil dan sekarang hanya tersisa baranya saja.

  Doyoung menoleh ke belakang, matanya memperhatikan lampu teplok di pojok sana. Ia menelan ludah, dan sedang berpikir bagaimana kiranya agar dirinya bisa menutupi mayat Junkyu. Entah pakai kain apapun, tapi tidak ada selembar kain pun di sini. Akhirnya Doyoung berdiri dari duduknya ketika matanya melihat belatung-belatung gemuk itu satu persatu keluar dari lubang di lantai, Doyoung melangkahkan kakinya dan mendatangi lubang itu. Sesampainya di sana, ia membungkuk dan memperhatikan, sekilas, Doyoung menyadari bahwa belatung itu sama persis seperti yang telah menggerogoti tubuh bibi Neet dan Mashiho.

  Doyoung menginjak semua belatung yang menggeliat di lantai, ia juga menutup lubang itu dengan salah satu buku yang ia ambil asal dari rak. Sekarang kedua mata Doyoung kembali terarah pada mayat Junkyu, karena Doyoung sendiri tahu kalau kakak sepupunya itu sudah meninggal. Namun, dahi Doyoung nyaris menyatu saat dia tidak lagi melihat Junkyu di sana, pembaringan Junkyu meninggalkan lalat dan beberapa ekor kecoa. Seluruh badannya terasa panas dan dingin, ia tak siap jika Junkyu sama seperti saudara sepupu yang lain.

"Junkyu?" Panggilnya, entah kenapa ia refleks memanggil nama saudara sepupu itu padahal ia tahu mungkin anak itu sudah pergi jauh. Doyoung menatap lampu teplok di pojok sana, dan ia segera mempercepat langkahnya mendatangi buku satanic—melupakan sebentar keberadaan Junkyu yang tiba-tiba menghilang.

  Doyoung membungkuk berniat memungut dan ingin membaca lagi isi buku itu, ada banyak hal yang tidak bisa ia pahami. Penjelasan Junkyu sepertinya belum selesai, ia butuh lebih banyak lagi, ia butuh terperinci mengenai kepercayaan yang dianut keluarga besar ini. Buku itu bergeser, hal itu membuat Doyoung tersentak. Kakinya maju lagi selangkah maka satu langkah jua lah buku itu menjauhinya, suara langkah kaki dari balik flatpon membuat Doyoung mendongak ke atas.

  Doyoung mengigit bibirnya, bertanya-tanya di dalam hati 'apa itu kau, Junkyu' dan Doyoung membungkuk mengambil lampu teplok di lantai, Doyoung bisa merasakan sendiri saat napasnya terasa hangat meskipun jari-jari kakinya dibalik sepatu terasa kelu dan beku. Suara ketukan pintu membuat Doyoung kian gentar, Doyoung mundur dan berdiri di antara rak buku, jantungnya berdegup kencang, napasnya seakan berhenti karena ketakutan. Lampu teplok di tangan kanannya tampak kian mengecil, Doyoung pun memberanikan diri untuk mengisi minyak tanah. Namun, buku satanic tebal itu seperti dimainkan oleh seseorang dan hak itu membuat Doyoung mengurungkan niatnya.

  Buku itu bergerak dan berhentak layaknya memiliki kaki untuk melompat-lompat kegirangan. Saat fokusnya hanya pada buku itu, suara keras berdebum jatuh dari atas. Doyoung hampir teriak namun menutup mulutnya dengan rapat. Ia melihat mayat Junkyu jatuh dari flatpon—berbaring telentang seperti orang tidur begitu nyenyak. Lalat sebesar buah matoa hinggap di kelopak matanya, lalat itu bergerak dan tampak menyusuri setiap sudut mata Junkyu dan lalat itu terbang tepat saat mata Junkyu terbuka, begitupun buku satanic itu ikut terbuka.

"Saat aku kehausan aku memotong leher saudaraku, aku meminum darahnya sampai habis. Dan saat aku kelaparan, aku merobek dadanya,  mencongkel jantungnya dan ku nikmati setiap gigitan dari tekstur jantung kenyal di tangan ku. Ku gigit septum nya. Aku tak puas, ku habis kan atrium lebih awal dan ventrikel sebagai penutup," mata Junkyu terarah pada Doyoung yang berdiri ketakutan di antara rak buku. Lampu teplok di tangannya berayun karena Doyoung sendiri gemetaran.

"Aku gemas sekali melihat mu boneka kecil. Ingin ku jilat pipi mu dan ku gigit bibir mu, ku tarik sampai robek dan ku telan sampai kenyang. Aku lapar sekali! Aku haus sekali! Berikan jiwa mu pada ku!" Junkyu lebih menyeramkan dibanding Mashiho, Junkyu tampak lebih ganas dibanding Haruto, dan Junkyu lebih aneh dibanding Zivan.

Junkyu tampak berusaha bangun dari posisi berbaring, Junkyu tampak kesulitan—kakinya yang keras bergerak liar dan jari-jari tangannya terlipat ke arah yang berlawanan, tulangnya seperti patah. Suara Junkyu menggeram seperti memaksakan dirinya untuk bergerak.

"Aaaaaakhhhhh!" Mulut Junkyu lebih besar daripada ukuran yang seharusnya, ia berteriak murka, tangannya memukul lantai dengan kuat dan kemurkaan itu sendiri teramat jelas tergambar di wajah pucat Junkyu. Doyoung sendiri tidak tahu kenapa Junkyu tidak bisa berdiri. Merasa semuanya aman, Doyoung melangkah maju berniat mengambil buku yang masih terbuka. Namun ia tersandung kakinya sendiri dan minyak tanah dari lampu teploknya tumpah, Doyoung segera memungut benda itu karena sumbunya masih menyala. Meskipun kecil, Doyoung berhasil berdiri di depan buku itu.

  Doyoung kembali berada di pojok ruangan, matanya melihat Junkyu yang masih berisik berteriak-teriak murka, kakinya masih liar membentur lantai rubanah, bahkan berhasil membuat rak buku bergoyang dan miring. Doyoung memilih mengabaikan hal itu meskipun rasanya mustahil. Ia menatap buku yang sudah terbuka itu, dan membaca tulisan di  sana tapi saat bibirnya dibuka dan pita suaranya disiapkan buku itu telah menghapus semua teks dan menutup kembali. Buku itu terlempar tepat di dekat bara api unggun, Doyoung mengarahkan atensinya dan ia mendapat senyuman mengerikan dari Junkyu.

  Mulut Junkyu ditutup rapat, namun kelihatan seperti dipaksa untuk terbuka. Doyoung berdiri gentar, maju takut mundur salah. Berpikir untuk keluar dari perpustakaan rubanah ini tapi terlintas dipikirannya jika keluar mungkin ia akan bertemu Nenek. Itu sama saja ia memberikan umpan kepada hiu yang kelaparan. Doyoung menelan ludah, yang ia lakukan hanya diam berdiri di tempatnya, otaknya buntu sekali untuk diajak berpikir.

Namun, dagunya terpaksa dibuka, dagu Junkyu tampak patah begitu pun rahangnya, sekarang wajah Junkyu tak lagi  sama seperti Junkyu yang dikenal Doyoung. Suara ketukan pintu yang amat keras terdengar di telinga keduanya, Doyoung menelan ludah dan dia masih menatap Junkyu yang kaku. Buku satanic kembali terbuka, ujung sampulnya terbakar bara api yang masih menyala, suara berbisik Junkyu terdengar dan lambat laun volumenya meninggi. Diikuti oleh ketukan pintu yang keras, juga rak-rak buku yang sudah miring—Doyoung masih berdiri di tempat yang sama.

"Aku bertemu putriku, dan berdoa padanya. Dia memberikan segalanya, aku bersujud pada tubuh kurusnya yang membusuk, dia adalah Tuhan yang ku puja. Namun ia tak kekal, saat keturunan keluarga kami bertambah giliran ku untuk jadi santapan, namun ada darah lezat di sini. Hasil hubungan sedarah yang sempurna ada di depan mata ku, aku adalah Tuhan yang kekal. Aku suka saat kau berlari, aku suka kau memberontak dan aku lebih suka jika kau terluka,"  mata Junkyu terbuka tanpa berkedip, ia hanya menatap ke atas. Namun suaranya yang aneh tetap saja membuat Doyoung ketakutan ditambah topik yang dibahas olehnya.

"Kau berharap pada tubuh ini? Dia sudah bersama belatung sekarang. Ini liburan yang indah, benar-benar tidak bisa ditandingi oleh siapapun. Ku rasa seluruh kerabat akan sangat bangga pada mu, Aku Vinbi!!! KAU TERKUTUK, AKU MENYEMBELIH LEHERNYA, KU JEPIT LIDAHNYA DI PANEL JENDELA, DAN KAMI MAKAN DAGINGNYA, Daging mu sayang." Yang berbicara bukanlah Junkyu tapi seseorang yang tinggal di dalamnya, Doyoung yakin Junkyu tidak akan berbicara ngelantur seperti itu.

"JUNKYU!" Doyoung berteriak murka, wajahnya merah dan dia tidak bisa menyembunyikan rasa takut ini. Sedangkan mata Junkyu seperti keluar dari rongganya, ia melirik tajam ke arah Doyoung.

Doyoung melangkahkan kakinya dan mendekat mendatangi Junkyu, napasnya terasa tertahan tapi ada sesuatu yang harus ia lakukan. Doyoung menelan ludahnya yang hampir tak ada, ia berlutut di samping Junkyu dan menatap wajah pucat itu, urat saraf di kepalanya tampak menonjol memenuhi dahi dan pipinya.

"Jangan berharap bisa mendapat segigit daging ku." Ucapnya datar tanpa berkedip. Belum sempat Doyoung memukuli leher Junkyu, mayat hidup itu sudah menyemburkan air liur kental yang sangat bau tepat ke wajahnya, Doyoung mengetahui betapa lengketnya benda itu.

"Kau hanya bisa lari." Balasnya datar, matanya melotot dan ketukan pintu di sana terdengar menjadi pukulan, bahkan meja yang ditaruhnya di depan pintu sudah bergeser karena pintu di dorong dengan kuat.

🔸🔹🔸🔹

BONEKA DAGING

BONEKA DAGING | DOYOUNG & JUNKYU✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang