Pagi hari ini sangat cerah, mentari kuning dengan sinar hangatnya menembus hutan rapat pengunungan. Lahan sawit dan karet tampak berdiri gagah melawan cahaya kuning itu, dan daun jagung di lahan sana melambai tertiup angin. Buahnya yang tampak besar mengapit diantara daunnya, biji kuningnya yang besar dan rapat membuat petani jagung tersenyum senang melihatnya.
Ia memasukkan setiap jagung yang dipanennya ke dalam karung, topi rotan anyaman istrinya menjadi teman ketika ia bekerja di ladang. Karena matahari yang menyengat kulit semakin terasa sakit, Petani jagung memilih bernaung di bawah pohon besar yang tak jauh dari danau besar.
"Wah! Panen jagungmu kali ini berhasil!"
"Pak Jaya, saya terkejut tiba-tiba mampir kemari."
"Iya, saya baru lihat buah sawit. Buahnya kurang besar karena air juga kekurangan, memasuki kemarau begini memang masa sulitnya petani sawit." Pak Jaya tertawa diakhir ucapannya, lalu menyodorkan kotak bekal yang dibawanya dari rumah.
"Mari Pak Giman, istri saya masak kolak duren di rumah. Katanya mau nitip sama, Pak Giman."
"Wah, terima kasih banyak ya Pak, kalau begitu saya titipin jagung juga buat istrinya," balas pak Giman senang saat melihat kolak duren itu dibuka oleh Pak Jaya.
"Sebentar ya Pak, saya mau cuci tangan dulu." Lanjut pak Giman yang segera berdiri dan berjalan ke arah danau di bawah pohon besar yang rindang itu.
Sesampainya di pinggir danau, ia jongkok sambil mencelupkan tangannya ke dalam air, menggosokkan keduanya beberapa kali dan tanpa sengaja matanya melihat kain mengapung di permukaan. Pak Giman segera berdiri lalu mengambil galah karena ia penasaran, sebelumnya tak pernah ia melihat kain mengapung di tengah danau setiap kali ia kemari.
Pak Giman mengambil galah dan menarik kain yang terasa berat itu saat beliau berusaha membawanya ke muara. Mata Pak Giman menyipit saat melihat rambut, Pak Giman menarik lagi kain itu, sekarang semakin jelas terlihat saat kulit putih pucat terlihat mengkilap di terpa cahaya matahari.
"Ya ampun, Pak Jaya! Ada yang mati tenggelam!" Pak Giman berteriak heboh memanggil nama temannya yang tak terlalu dekat itu, Pak Jaya berdiri dari duduknya tergesa-gesa, kolak duren yang sudah dibuka terlihat manis ditinggalkan begitu saja.
Pak Giman rupanya bergerak cepat, beliau sudah bercebur di danau dan menggendong remaja laki-laki berkulit putih yang sudah pucat namun badannya masih lemas. Pak Jaya segera menyambut tubuh lemas Doyoung ke tepi danau, dan segera menekan perutnya guna mengeluarkan air yang masuk ke dalam perutnya. Pak Jaya kemudian mengangkat tubuh dingin itu secara terbalik, berharap air yang ada di dalam perutnya tumpah. Dan benar saja, air yang melimpah keluar dari lubang hidung dan mulutnya.
Pak Giman yang harap cemas mencoba memberikan napas buatan, mungkin Doyoung masih bisa diselamatkan. Pak Giman berhenti saat tak mendapat hasil, ia pun meminta Pak Jaya untuk memberikan pertolongan pada Doyoung, sedangkan Pak Giman berkata ia akan mendatangi rumah di sana, tepat menunjuk Mansion paman Alio.
Sudah berusaha maksimal Pak Jaya memberikan napas buatan dan juga CPR manual dengan kedua telapak tangannya namun tak kunjung juga ada tanda-tanda anak itu sadar. Pak Jaya putus asa, ia tak berhasil menyelamatkan anak itu, saat ia menatap punggung Pak Giman yang berlari ke arah Mansion yang cukup jauh itu, suara batuk kecil terdengar.
Pak Jaya kaget dan senang bukan main, ia kembali berlutut dan mengelus-elus dahi Doyoung, matanya yang terbuka sedikit membuat Pak Jaya bersyukur berkali-kali. Pak Jaya merogoh sakunya, mengambil telepon jadul dari sakunya. Ia segera menghubungi induk kesehatan di desanya, ia menelpon pusah kesehatan masyarakat agar segera mengirimkan ambulan. Setelahnya telepon itu dijawab, Pak Jaya memeluk Doyoung dengan kuat, membawa anak malang itu mendekat di mana sinar matahari menerpa bumi, ia berucap nyaring dan berkata, "Pak Giman! Anaknya masih hidup!"
🔹🔸🔹🔸
Lima bulan kemudian
Doyoung diam membisu saat ia menatap bangunan kayu yang cukup besar di depannya, orang-orang berpakaian dokter spesialis kejiwaan membantunya berjalan karena pergelangan kakinya yang patah masih di pin dan masih dalam masa penyembuhan. Mata Doyoung berkedip sekali, dan kurk yang digunakannya untuk alat bantu jalan mulai bergerak karena ia melangkah.
Doyoung menatap remaja-remaja berpakaian putih seumurannya asik bermain, ada yang sendirian dan adapula yang berkerumun. Doyoung sendiri melihat anak-anak yang berkerumun itu sebetulnya sedang mengahakimi salah satu dari anggota kelompok itu. Ternyata perundungan tidak disadari para perawat di sini.
Doyoung menatap wajah dokter spesialis kejiwaan yang membantunya berjalan, seolah mengerti dengan tatapan mata sayu Doyoung, dokter itu berkata, " ada banyak teman di sini, kau tidak akan kesepian seperti di rumah sakit. Paman Alio meminta kami untuk memindahkan mu kemari. Berterimakasih lah pada Paman mu, Doyoung." Ucapnya sambil mengelus lembut rambut kusut Doyoung.
Dokter yang membantunya kembali mengajak Doyoung melanjutkan langkahnya, mata Doyoung menatap plang yang dipasang di dekat pintu masuk, Dokter spesialis kejiwaan memberikan senyuman terbaiknya pada Doyoung, ia memegangi kedua bahu remaja itu dan mengusap pelan dahinya yang berkeringat.
"Aku akan kemari dua pekan lagi, bersenang-senang lah bersama teman baru, sayang." Ucapnya sambil menyentuh hidung mancung Doyoung. Dokter itu berbalik setelah melambaikan tangannya dan bergabung dengan beberapa teman sejawat ke dalam mobil putih yang mengantarnya kemari.
Doyoung menatap kepergian Dokter, tatapannya berpindah pada kunci kamar beserta nomor kamarnya di tangan kanan, namun kunci itu jatuh dari tangannya. Doyoung sebetulnya kesulitan membungkuk untuk mengambil benda itu, saat ia mencoba membungkuk, telinganya mendengar guliran roda kecil yang berisik di lantai kayu. Laki-laki di atas kursi roda berhenti di depannya, saat wajah mereka bertemu Doyoung menyadari anak itu tampan dengan kaki lumpuh yang membuatnya tak berarti.
Anak yang sepertinya seumuran dengannya itu menyunggingkan senyuman lebar, dan berkata, "selamat datang di panti asuhan spesialis kejiwaan remaja, senang bertemu denganmu." Anak itu mengambil kunci kamar tidur Doyoung yang jatuh dengan alat pancing dari bambu yang diberinya magnet di ujung, jadi kunci itu menempel di sana, anak itu tersenyum lagi saat memberikan kunci itu pada Doyoung.
Doyoung diam tak bergeming, bibirnya yang masih pink membuat wajahnya tampak segar, namun sepertinya sikapnya tertutup dan pendiam. Doyoung mengulurkan tangannya dan menyambut kunci itu.
"Terima kasih." Ucapnya pelan, tapi anak di atas kursi roda itu masih bisa mendengar suara Doyoung.
"Dengan senang hati," anak itu memutar kedua roda dengan tangannya, saat mereka berhadapan, anak itu mengulurkan tangannya-berniat bersalaman.
"Aku Junghwan." Ucapnya dan tersenyum, Doyoung membalas salam itu dengan canggung dan menjawab.
"Do-Do, Doyoung." Ucapnya gagap, karena sebetulnya ia berpikir, masih pantas kah nama itu dipakainya. Setelah semua hal kejam yang ia lalui malam itu.
🔸🔹🔸🔹
°
°
°Hai pembaca, terima kasih sudah mengikuti jejak Doyoung sejak awal datang ke Mansion itu dan berhasil pulang karena dukungan kalian, agar penulis bisa membuat karya yang lebih baik lagi untuk kedepannya, tolong berikan kritik dan saran, kekurangan dan kelebihan e-novel ini yaa.
Semua kritik dan saran, aku tampung yaaa ;) Jangan takut berpendapat!Terima kasih ❣️
🐣🐨🐰
KAMU SEDANG MEMBACA
BONEKA DAGING | DOYOUNG & JUNKYU✓
DiversosSatanic, adalah sebutan bagi orang-orang atau sekelompok orang-orang yang mempercayai dan memuja setan sebagai Tuhan. Satanic, gerakan atheisme yang mempercayai ideologi setan sebagai praktik agama mereka. Liburan tahunan di tempat yang sama memb...