Ch. 21

478 76 7
                                    

  Doyoung dan Junkyu menatap seluruh ruang rubanah, ini adalah perpustakaan dengan buku-buku usang yang berdebu. Buku-buku kuno yang berusia puluhan tahun, buku-buku itu mungkin sudah ada sejak tahun delapan puluhan. Bau apek dan juga bangkai tikus tercium kuat di perpustakaan rubanah tanpa jendela ini, Junkyu mencari saklar lampu karena ia melihat bohlam lampu yang terbilang tua—mungkin lampu dengan cahaya kuning yang menghasilkan intensitas cahaya rendah.

  Doyoung menatap punggung Junkyu sebentar dan mengalihkan pandangannya pada bohlam lampu tua, saklar ditekan ternyata listrik sudah mati. Junkyu terdengar menggerutu dan ia menyorot cahaya dari senternya ke arah meja-meja kayu yang berantakan, seketika matanya mendapat sesuatu secara sekilas. Junkyu kembali menyorot cahaya senternya dan melihat lampu teplok di bawah meja sana, ia bergegas menuju tempat benda itu berada.

  Junkyu memeriksa minyak tanah dan sumbu lampu teplok itu masih ada, dan persediaan minyak tanah terbilang banyak—sebab ia melihat beberapa botol anggur tempat menyimpan minyak tanah. Junkyu sekarang membutuhkan api, ia mencari sesuatu yang mungkin saja bisa menghasilkan api. Tapi, Junkyu merasa dirinya benar-benar beruntung.

"Ku rasa kita beruntung Doyoung." Ucapnya sambil mengambil sebilah korek api dari kotaknya, Junkyu menelan salivanya berharap percobaan pertama dan terakhir ini tidaklah gagal.

  Junkyu menggosokkan kedua belerang dan korek berhasil menyala, memberikan penerangan sekilas yang begitu terang. Dengan sangat hati-hati Junkyu membakar ujung sumbu lampu teplok dan ia bisa bernapas lega karena telah berhasil mendapatkan penerangan dari lampu sederhana. Junkyu segera mematikan senter, terbesit dipikirannya untuk membuat satu lampu teplok lagi, namun sayang tidak ada sumbu.

  Junkyu memegang erat lampu teplok dengan penutup kaca yang menjaganya dari tiupan angin, ia melangkah mendatangi Doyoung yang asik memeriksa setiap buku yang disusun rapi di rak. Doyoung menyadari kehadiran Junkyu, dan ia cukup kagum melihat lampu teplok di tangan kakak sepupunya itu.

"Kau dapat dari mana?" Doyoung mengutarakan pertanyaan sambil menahan rasa takut yang mendarah daging, dirinya selalu terbayang bagaimana dirinya memotong usus Mashiho dan juga menumbuk leher Nenek.  Doyoung berusaha melupakan hal itu, rasa bersalahnya akan hal yang tidak seharusnya perlu dilakukan.

"Dari perpustakaan ini, bagaimana kalau kita cari lampunya lagi?" Junkyu menjawab pertanyaan itu, wajah pucat nya semakin memprihatinkan. Doyoung tahu kakak sepupunya itu penderita anemia sudah bertahun-tahun, membuat Doyoung khawatir akan keadaan fisiknya.

  Doyoung mengangguk setuju, ia menerima senter dari Junkyu dan segera memeriksa setiap sudut hingga rak-rak buku yang mungkin ada lampu teplok terselip di sana. Sedangkan Junkyu pergi ke arah lain, memeriksa kolong rak buku dan meja bahkan sampai membuka lemari kayu yang sudah tua sekali. Junkyu menutup kembali pintu lemari dan pergi ke arah lain.

  Doyoung menatap setiap buku yang disusun, sebagai penikmat karya tulis—dirinya sangat penasaran dengan buku-buku lawas yang mungkin menyimpan banyak pesan masa delapan puluhan. Doyoung menelan saliva, saat dirinya menatap buku bersampul kepala manusia bertanduk rusa dan bergigi babi hutan. Matanya terlihat terbalik dan bibirnya pecah-pecah, Doyoung mencari keberadaan Junkyu dan ia berniat mengambil buku itu untuk dibaca sebentar saja.

"Aku menemukannya!" Baru saja Doyoung mengangkat tangannya untuk buku itu, Junkyu sudah bersuara keras memberi tahunya kalau lampu teplok sudah ia temukan lagi. Doyoung mengurung kan niatnya dan segera membawa dirinya mendatangi Junkyu. Sekarang mereka berdiri berhadapan, Junkyu menjulurkan ujung sumbu pada api lampu teplok pertama dan akhirnya keduanya menyala.

  Doyoung segera memasukkan senter ke dalam tas dan menggantikan peran senter dengan lampu teplok yang baru ditemukan Junkyu. Doyoung menating lampu itu, dirinya menatap wajah Junkyu lalu berkata setengah takut, "Junkyu,  bolehkah aku melihat buku-buku itu? Kau bisa istirahat." Ucapnya sambil menunduk.

"Kau tidak mengantuk? Kita aman sekarang, Nenek tidak mungkin menemukan kita di sini." Junkyu malah menjawab dengan pertanyaan lagi, membuat Doyoung diam. Ia menunduk membenarkan perkataan Junkyu.

"Aku tidak bisa tidur," Doyoung menjawab pertanyaan itu dengan wajahnya yang masih menunduk, lalu ia mengangkat wajahnya yang tampak risau karena rasa bersalahnya menyakiti Nenek dan Mashiho, "aku takut."

"Takut apa?" Tanya Junkyu cukup penasaran.

"Aku menyakiti Nenek dan kita membiarkan Mashiho saat dia sekarat, apa kau tidak merasa bersalah?" Pertanyaan Doyoung itu, ternyata hal itu yang membebani pikirannya sekarang.

  Junkyu diam, ia menatap api yang menyala terang tanpa goyah oleh angin. Dirinya memikirkan sesuatu, Junkyu menarik napasnya dan berbaring tanpa alas di lantai berdebu. Matanya menatap ke arah flatpon yang berlubang, sedangkan Doyoung membuang wajahnya dan sibuk menatapi pergelangan kakinya.

"Rasa bersalah itu pasti ada, dan manusia mana yang bisa melupakan rasa bersalahnya? Namun, kita harus abaikan hal itu demi menuju titik yang sudah kita tandai. Maksud ku, jangan selalu memikirkan banyak hal tentang kesalahan masa lampau, kau tidak akan bisa maju dan hanya terjebak di tempat yang sama. Jadi, mulai langkah awal dan buka jalan baru," Junkyu menelan salivanya yang hambar, suaranya menjadi satu-satunya frekuensi di perpustakaan rubanah tanpa jendela ini.

"Aku tahu seperti apa dirimu, kau adalah laki-laki yang tidak tahu caranya marah. Ya, marahlah dan keluarkan segala hal yang mengganggu mu, emosi yang ditahan menumpuk membuat angka depresi dan stress meningkat. Keluarkan saja, lalu kau akan sadar bahwa marah itu penting karena kau manusia, diciptakan dengan emosional sebagaimana makhluk hidup." Mata Junkyu masih menatap ke atas sana, pikirannya yang luas sebagai kakak di mata Doyoung sungguh luar biasa, Junkyu laki-laki yang berpikiran matang dan luas. Junkyu adalah seorang laki-laki bijak yang tumbuh dewasa oleh keadaan, mencoba memahami apa yang telah dilaluinya dan bersabar menjalaninya. Doyoung diam, matanya menatap api kecil dari lampu teplok. Menyetujui jawaban Junkyu yang begitu berkesan baginya, Doyoung cukup iri dengan cara Junkyu melalui proses hidup ini.

"Mama bilang, kau orang yang ceroboh dan bodoh. Tapi, malam ini kau telah mengubah stigma itu." Ucap Doyoung tanpa harus berpikir, dia menatap wajah Junkyu sebentar. Junkyu yang mendengar itu hanya tersenyum simpul, tiba-tiba saja ia teringat wajah ramah Neri padanya setiap liburan tahunan keluarga besar berkumpul, namun ia kembali teringat bagaimana hubungan terlarang Ibunya dengan Doyu. Junkyu merasa bersalah karena telah diam tanpa memberi tahu Neri, namun rasanya tak mungkin—sama saja dirinya mengadu domba keluarga harmonis Doyoung.

"Tidurlah sebentar Doyoung, kau harus istirahat. Besok kita akan pulang dan,  lupakanlah apa yang sudah terjadi di sini, kita akan memulai kehidupan baru sebagai adik—kakak." Junkyu berkata demikian sambil memejamkan matanya, Doyoung hanya mengangguk dan ikut berbaring di dekat rak buku tak jauh dari lampu teplok yang diletakkan di lantai, Doyoung sendiri tidak tahu kenapa Junkyu begitu tenang dan merasa sangat aman sekarang.

  Junkyu teringat sesuatu, ia membuka matanya lagi dan menatap ke atas dan bertanya kepada Doyoung, "kenapa Haruto belum kembali?"





🔹🔸🔹🔸

BONEKA DAGING

BONEKA DAGING | DOYOUNG & JUNKYU✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang