W 10 | Kesenjangan sosial

21 5 3
                                    

Happy reading

•••••

Rasa

•••••

Aruna benci duduk berjauhan dengan kondisi hati gundah seperti ini. Apalagi yang sedang menatapnya tajam kali ini adalah Kata. Cowok berkaca mata bulat itu menatapnya terus-menerus bahkan dari jam pelajaran pertama di mulai.

Setiap kali Aruna menoleh, cowok itu akan memalingkan wajah menghadap kedepan. Pura-pura fokus padahal tidak ada guru yang menjelaskan, papan tulis kosong, kursi guru kosong, tidak ada yang perlu diperhatikan di depan sana.

Aruna berusaha positif thinking mungkin Kata sedang memikirkan suatu teori sehingga membuat tampang wajahnya seperti ingin menelan seseorang. Tapi, pikiran positif itu tergeser oleh fakta bahwa Kata terus-terusan menatapnya ...

Aruna bingung sendiri, dia merasa sedang perang dingin dengan Kata. Mana Sisi tidak masuk sekolah membuat dirinya harus duduk sendirian di meja dan lebih jelaslah dia melihat siluet Kata dari ekor mata.

Lamunan Aruna buyar ketika Pak Bara—selaku guru mata pelajaran sosiologi peminatan masuk. Guru dengan kumis tebal itu duduk di kursi guru, membuka buku. Sejenak ia membalik-balikkan halaman buku sosiologi sebelum memulai mengabsen siswa-siswi yang telah hadir di kelas.

"Aruna Nazeera."

"Hadir, Pak!"

"Ayara Quintan?"

"Saya, Pak!"

Pak Bara melanjutkan mengabsen sampai nomer urut ke tiga puluh enam. "Oke. Semuanya masuk—kecuali sisi, Fransiska misty, ya?" tanya Bapak itu, tangannya mencontreng buku absen.

"Iya Pak," jawab seisi kelas serempak.

"Baiklah, buka buku paket kalian halaman 243 tentang kesenjangan sosial. Baca lima menit, nanti kita bahas."

Sebagian dari murid kelas sibuk meminjam dan mengeluh tidak membawa buku paket. Alfiro selaku ketua kelas di tuntut untuk memberikan solusi, tapi, pasalnya, ketua kelas itu juga tidak membawa buku sosiologi miliknya.

Alfiro maju ke depan, menghampiri Pak Bara, "Pak, izin foto ya? Pada gak bawa bukunya."

Pak Bara menyengir sambil membenarkan posisi duduknya. Alfiro yang mendekat dan hendak mengambil buku paket refleks menghentikan langkahnya. Mengerjab beberapa kali.

"Maksudnya foto bukunya pak, hal 243." Telunjuk Alfiro mengacung ke arah buku paket yang tergelatak di meja.

Pak Bara menggeser kedua tangannya yang terlungkup yang ia lungkupkan ke samping. "Lah iya, foto bukunya. Emang kamu mau foto muka Bapak?"

Bukannya tadi bapak nyengir dan gaya kayak mau di foto?

Alfiro garuk-garuk kepala, ketua kelas itu di tertawai seisi kelas. Cekikikan dari para murid terdengar besar, apalagi jajaran para pemberontak di kelas, beuh paling heboh.

Ketua kelas itu menyengir. "Hehehehe. Mari Pak, sini bukunya ..."

Pak Bara menggeser buku sosiologi itu ke pinggir meja agar Alfiro bisa memfotonya dengan angel yang bagus dan tulisan terbaca dengan jelas.

Aruna heran sendiri dengan Bapak guru satu ini, tidak marah mengetahui anak muridnya kebanyakan tidak membawa buku paket matapeljaran yang ia ajarkan. Apakah memang iya Bapak ini sudah capek dengan tingkah laku sekelas yang bandel?

Notifikasi masuk.

Foto halaman 243, 244, 245, sampai 250 sudah terkirim di grup kelas XII IPA A. Aruna tidak perlu membuka handphone untuk membaca materi 'Kesenjangan Sosial', dirinya membawa buku paket, jadi tidak perlu membuang ruang penyimpanan.

waktu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang