W1 | Butuh lensa tambahan

70 22 15
                                    

Ballet

•••••

24 Maret 2012...

Seorang gadis kecil memakai mini dress merah jambu mengintip dari sela-sela pintu kamar yang terbuka. Pandangan gadis itu tidak lepas dari sebuah benda yang terpasang di hidung dan mulut seorang wanita paruh baya. Dia mendekat dengan langkah tertatih-tatih kakinya mematri ke arah tempat tidur dengan alat-alat medis di sampingnya dan juga yang tertancap di tubuh wanita itu.

"Ma..." Suara lembut si gadis kecil keluar menatap sang Mama yang memejamkan mata, memperhatikan deru napas teratur dari wanita yang melahirkannya.

Tangan Aruna menyentuh punggung tangan Ayudya. Dingin. Aruna masih penasaran dengan alat itu, alat transparan dengan kabel yang menutupi mulut dan hidung Mamanya.

Kenapa Mamanya memakai benda itu? Itu menutupi hidung dan mulut. Setahu Aruna, jika mulut atau hidung seseorang di tutup, maka ia tidak akan bisa bernapas. Apakah Mamanya bisa bernapas sekarang? Dadanya masih naik turun. Artinya Mama bernapas. Tapi, haruskah Aruna melepaskannya agar Mama mungkin bisa bernapas dengan lebih lega?

Pintu terbuka tanpa menimbulkan suara. Aruna menoleh ketika Papanya memanggil dan mendekat agar bisa melihat Mamanya lebih jelas.

"Mama lagi bobo, Ru. Aruna turun ya, makan sama Papa."

Aruna mengangguk menuruti perintah sang Papa. Mengambil langkah kecil untuk keluar. Saat di ambang pintu, kepalanya menoleh ke belakang kemudian kembali ke depan dan melihat papanya sudah menuruni anak tangga.


••••


24 Januari 2023...

Sesak.

Bukan suasana bising. Bukan kegaduhan di terik matahari yang membakar kulit dan membuat haus dahaga. Bukan juga sesak yang di akibatkan debu-debu yang menggembul di udara karena hantaman yang di terima sang tanah dari kaki para siswa yang penuh amarah.

Bukan!

Itu sesak yang di akibatkan suasana hening dengan latar belakang suara dentingan sendok, garpu dan piring yang bersentuhan. Itu akibat kesunyian diantara dinding beton yang dingin. Itu akibat dari susu hangat yang perlahan mendingin karena sang putri tidak menyentuhnya.

Memuakkan.

Keadaan seperti membeku. Udara seperti di perintah dan di ancam agar diam di tempat. Suhu dingin merambat ke seluruh penjuru ruangan dan merekat kuat ke tembok-tembok dinding putih yang megah ini.

Kegaduhan di tengah keheningan dari sendok dan garpu ini lenyap seiring waktu yang terus berjalan. Jarak-jarak yang ada antara orang yang mengelilingi meja makan perlahan semakin jauh mengikuti arah mereka masing-masing. Tidak ada ucapan selamat pagi. Tidak ada ucapan semangat ataupun ucapan kasih sayang untuk putri mereka yang merasa tak pantas hidup.

Yang jelas-jelas masih bernapas.

"Pagi Aru," sapa sang sepupu. Saudari yang datang dari Bandung, semester dua fakultas ekonomi, seseorang yang dapat sedikit mengubah suasana hati Aruna beberapa hari terakhir.

"Pagi, Jo," sahut Aruna memiringkan kepalanya.

"Ru, gue mau ke salon nanti, lo ikut, ya?" tawar Jo, gadis itu mengenakan sepatu kets dengan paduan warna baby blue dan putih susu. Kaus oversize berwarna cream dan celana panjang berbahan dasar denim membalut tubuhnya.

"Gue ada les, Jo. Gak bisa," jawab Aruna. Aruna menyibakkan rambut sedikit berantakannya.

"Oh, iya?" Terdengar nada kecewa di balik sahutan Jo, gadis itu menggulir mata. "Habis itu aja, gue tunggu, deh, abis lo sekolah, les, baru ke salon."

waktu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang