12. Kritikan Kritikus

788 84 1
                                    

Keramaian di dalam rumah lekas mereda usai ditinggal keluarga Wirda sekitar pukul delapan malam.

Namun sebelum benar-benar mereka pergi, gue sempat diberi wejangan singkat oleh sosok yang gue sebut motivator kejepit durasi—karena ucapan berharganya hanya didapat saat menit-menit terakhir. Bukan menit, deh, lebih tepatnya sepuluh detik.

Tak lain dan tak bukan adalah Kigo, seorang Ayah dari dua anak kembar beristri satu. Keahliannya menjadi seorang pembual bergelar S.E—biar sebetulnya masuk di jurusan Pendidikan Ekonomi, tapi secara tertulis berada di bawah naungan Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Gue sebut ia sebagai motivator kejepit durasi, karena Kigo baru menjelaskan inti dari pembicaraan sepuluh detik terakhir jelang kepamitan Wirda.

Semula ia duduk dengan santai, lalu berbicara bak seorang motivator dengan durasi hingga dua jam di depan para pendengar setia karena terpaksa.

Lantaran ocehan berkedok curhatnya yang tak kunjung segera diselesaikan, sang istri sengaja berniat melindunginya—beserta gue dan Wardah dengan alibi waktu yang semakin larut.

Kapasitas energi dari seorang Kigo gue akui melebihi 12 kotak lilin yang pernah membarakan nasi goreng seafood-nya sampai mendadak viral lewat kontennya.

Ini antara kemampuannya yang pada dasarnya senang membacot atau justru emang gak pernah ditemukan kata lelah dalam kamus hidupnya?

Dan inilah salah satu dari sekian ratusan ribu kalimat ucapan Kigo yang gue sebut berdurasi 10 detik tadi hingga terekam secara rapi ke dalam otak.

"Jadi Mas, pandangan gue nih, ya. Sebagai orang yang gak sengaja nge-vlog asal tapi bisa viral, gue merasa yakin kalau ternyata yang namanya bikin vlog asal-asalan aja bisa (viral), apalagi yang bener-bener nekunin kayak podcast punya elo."

"Segala kemungkinan dan kesempatan itu bakal selalu ada saat yang tepat. Ini saatnya elo yang berjaya, Mas. Jangan disia-siain. Iya gak?"

Gue cuma mengangguk-angguk santai sewaktu dengar perkataan Kigo yang seperti sedang berusaha meyakinkan para kliennya. Wajah penuh keseriusannya itu secara magis bisa mengubah persepsi orang lain dalam sepersekian detik. Kemampuan persuasi seorang Kigo sebagai marketer memang tak perlu diragukan lagi.

Tapi gue sebetulnya lebih mengapresiasi aksi Wirda yang berhasil menghentikan suaminya dengan cara yang tak kalah persuasif. Kepekaan dia dengan kapasitas pendengaran kami yang mulai melemah turut membuatnya iba dan bertingkah seperti pahlawan dadakan.

"Pap, ayo kita pulang! Besok jangan lupa antar Mami ke pasar dulu sebelum berangkat kerja! Mas Sandi udah termotivasi tuh sama omongan kamu. Iya kan, Mas? Iya dong?" disertai mimiknya yang tersenyum lebar penuh paksa, kemungkinan Wirda juga ikut muak setelah mendengar bacotannya Kigo.

Pantaslah jika takdir telah bertekad menyatukan mereka, rasanya gue sedang berinteraksi dengan pasangan suami istri yang kompak dalam urusan negosiasi. Keduanya sama-sama pantang sebelum kalimat jitunya berhasil meraih atensi.

Dua puluh menit kemudian, Wardah dengan pakaian yang telah berganti daster merah muda bermotif bunga tengah duduk di meja makan. Dihadapannya ada satu minuman teh beraroma vanila yang baru saja usai diseduh, asap-asap tipis tampak memenuhi cangkir keramik hias berwarna cokelat.

Kami baru saja selesai merapikan sebagian ruangan tengah yang sempat berantakan, lalu suara televisi serta lampu yang telah dimatikan. Di malam hari, kami hanya mengandalkan sorot pencahayaan dari ruang dapur yang tetap menyala dengan ukuran watt kecil.

Suara gemericik air mengalir dari wastafel tengah sibuk membasuhi kedua tangan. Di saat yang bersamaan, suara Wardah terdengar dengan sebuah pertanyaan yang cukup sepele.

[6] HOW TO BE JAKSANA - The Announcers Series ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang