Jieun memperhatikan pohon-pohon yang tertinggal jauh di belakang. Jati meranggas, jalanan dipenuhi oleh daun-daun kering yang bertebaran. Awan gelap dan langit siap menumpahkan air matanya.
Tatapan Jieun beralih pada Jungkook yang duduk di hadapannya, terlelap di atas kursi dengan mulut yang terbuka sedikit. Jieun tersenyum kecil dan menatap tangannya yang digenggam. Hangat. Tangan Jungkook yang besar melingkupi tangannya yang kecil. Warna kulit mereka terlihat begitu kontras; putih pucat dan tan.
Jungkook jatuh tertidur setelah setengah jam perjalanan terlewati. Jieun tahu benar Jungkook kelelahan dan sering tidak tidur untuk menemaninya.
Pagi ini, keduanya akhirnya berangkat ke Busan.
Sejujurnya Jieun masih merasa sedikit takut memikirkan kota kelahirannya sendiri. Setiap kali ia mengunjungi pamannya ketika libur semester, ia selalu merasa waspada dan memilih untuk pulang cepat. Tapi situasinya sekarang berbeda, ia akan menetap di Busan bersama Jungkook.
Jungkook bilang, dia tinggal di distrik Haeundae, dekat dengan pantai Songjeong, jauh sekali dengan distrik tempatnya tinggal-distrik Gangseo. Jieun merasa sedikit lega memikirkan tempat Jungkook jauh dari distrik kelahirannya. Walaupun seharusnya tidak ada yang perlu ia khawatirkan. Orang-orang itu sudah lama mati. Semuanya sudah berlalu. Jieun aman. Tidak ada lagi penjahat yang mengincarnya. Tidak ada lagi yang perlu ia takutkan.
Dan ... ia tidak memiliki keluarga lagi.
Jieun menggeleng sebelum bayangan kematian adiknya kembali menguasai kepalanya. Jatuh dalam kubangan luka yang sama hanya akan membuatnya terpuruk. Jieun tidak ingin terus-menerus terjerat dalam masa lalunya yang mengerikan.
Ia ingin membuka lembar baru bersama Jungkook, tanpa bayang-bayang kejadian itu.
Jieun membuang napas berat dan tanpa sadar menarik tangannya. Gerakannya membuat Jungkook terbangun. Dia mengerjap, kemudian menatap wajah Jieun yang kalut sebelum gadis itu menormalkan kembali ekspresinya.
"Jieun-"
"Maaf, aku tidak bermaksud ..."
"Tidak, tidak apa-apa." Jungkook menggeleng. Ia menangkup wajah Jieun dan mengelus pipinya dengan lembut. "Kau baik baik saja?"
Jieun mengangguk dan menarik sudut bibirnya sedikit. "Hanya sedikit gugup."
Jungkook melepas tangkupannya, tapi tak bisa dipungkiri ia masih merasa khawatir. Melihat wajah Jieun yang kalut, ia bertanya-tanya apa Jieun memikirkan adiknya lagi?
"Jangan gugup, tidak apa-apa. Aku di sini bersamamu."
Jieun tersenyum, hatinya menghangat. Ia tahu, ia sangat tahu bagaimana Jungkook menemaninya di saat-saat sulit. Jieun akan selalu berterima kasih padanya.
Jungkook mengamati kekasihnya dalam diam, lalu beralih untuk menggenggam tangan Jieun lagi. Satu tangannya dengan lembut menyisir rambut gadisnya, menyelipkan beberapa helai yang berada di sekitar matanya. Rambut Jieun dari dulu selalu pendek, dia tidak pernah membiarkannya tumbuh terlalu panjang.
Tapi apa pun itu, Jieun selalu terlihat cantik di matanya. Jemarinya mengelus pipi Jieun yang sudah tidak terlalu pucat lagi dibanding sebelumnya.
"Sepupuku akan menjemput kita besok pagi. Malam ini, kita menginap di hotel dulu," jelas Jungkook. "Tidak apa-apa 'kan?"
Jieun mengangguk. "Tidak masalah."
"Apa yang ingin kau makan? Dekat hotel, ada restoran yang makanannya enak sekali. Kita bisa singgah di sana."
Jieun terdiam sejenak. Pikirannya entah kenapa melayang pada janjinya pada adiknya, tentang mereka yang akan makan bersama. Rasa sesak menusuk hatinya dan ia menarik napas dalam-dalam sebelum terbawa lebih jauh. Ditatapnya Jungkook yang balas menatap khawatir. Jieun mencoba tersenyum kecil, tapi kesedihan yang terpancar di matanya terlihat jelas di mata pemuda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Love
FanfictionLee Jieun sempat berpikir kalau perjanjian yang ia lakukan dengan Jeon Jungkook hanya akan berlangsung singkat. Ia tidak pernah menyangka hubungan mereka akan menjadi lebih kompleks, terlebih ketika Jungkook membawanya kembali ke Busan. Lambat laun...