Bab 2 : Sayatan Kedua

35 3 0
                                    

Mei 2012

"Kamu sudah membaik?" tanya Pramana ketika melihat kehadiran Aini pagi ini di sekolah.

Aini mengangguk singkat. "Sudah, Pram,"

"Aku datang kemarin, tetapi kamu masih tertidur. Jadi aku putuskan untuk pulang saja agar tidak menggangu. Bibi Maria sangat mencemaskanmu, aku juga sangat mencemaskanmu, tahu! Lain kali kamu harus hati – hati, oke?"

Hati Aini menghangat. Hanya Pramana yang selalu perhatian dan mau berteman dengannya. Untung saja Pramana tidak tahu menahu mengenai kejadian itu yang disengaja olehnya. Bagaimana kalau Pramana tahu? Apakah Pramana akan menganggapnya mengidap gangguan jiwa?

Karena takut salah tingkah, Aini berujar dengan nada jenaka. "Kalau aku sakit lagi kamu harus traktir makan es krim yang banyak!"

"Kamu berencana untuk tinggal di rumah sakit dalam waktu lama?" Pramana terlihat tidak mau kalah menanggapi.

Aini dan Pramana tertawa dengan kekonyolan mereka.

"Sudah memutuskan mau kuliah dimana?" tiba – tiba Pramana bertanya dengan serius.

"Sudah, dong!"

"Universitas Ganendra?" perjelas Pramana.

Aini terdiam, sengaja menggoda Pramana, lalu mengangguk antusias. "Yes!" secara refleks Pramana merespons.

Aini tertawa. "Mau kuliah dimana lagi? Aku harus menyumbang di sana agar keluarga Ganendra tetap memiliki pemasukan,"

Pramana balas tertawa. "Enak saja, keluarga kami lebih dari mampu jika kamu berkuliah gratis!" yang di balas pukulan kecil Aini di pundak Pramana.

Di sudut hatinya, Aini tahu, mau kuliah dimanapun orang tuanya tidak akan peduli. Kemarin ketika berpura – pura meminta ijin dari orang tuanya, sebenarnya Aini tidak benar – benar meminta ijin. Aini hanya mengulur waktu dan membutuhkan waktu untuk berpikir. Aini akhirnya memutuskan, karena dia tidak memiliki tujuan kemanapun, maka tujuan Pramana akan menjadi tujuannya. Aini tidak mau jika harus sampai berpisah dari Pramana, sahabat baiknya.

"Aditya juga akan berkuliah di sana, loh,"

Aini mencibir. "Sudah sepatutnya, kan? Lagipula apa peduliku,"

"Hey, jangan begitu. Aditya sudah tidak sejutek itu, kok," bela Pramana yang di balas Aini dengan memutar bola matanya.

Jelas – jelas itu kebohongan publik. Aditya dimana saja terasa seperti balok es berjalan. Belum lagi sifatnya yang menyebalkan itu. Aini tidak akan tahan lama berada dalam satu ruangan yang sama dengan manusia sombong itu!

Kring kring

Bel masuk sekolah sudah berbunyi. Pramana dan Aini langsung membetulkan duduk mereka dengan baik untuk memulai pelajaran. Kebetulan mereka memang sekelas dan duduk berdekatan. Atau benarkah hanya kebetulan semata?

---

Pramana menatap sayang Aini yang dengan lahap menghabiskan semangkuk ice cream di kedai dekat sekolah mereka. Sedihnya, yang di tatap tidak peka dan hanya fokus pada ice creamnya yang sudah mau habis.

"Aku mau tambah," Aini berujar ketika tidak ada sisa ice cream lagi yang dapat di sendoknya.

Tuk

"Aduh!" Aini mengusap dahinya yang di sentil pelan oleh Pramana. Sebenarnya tidak sakit, hanya saja Aini overacting.

"Kamu sudah makan satu mangkuk punyamu dan setengah mangkuk punyaku. Kamu benar – benar mau masuk rumah sakit?"

Aini yang Bersemi IndahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang