Bab 4 : Sudah Bukan Sayatan Lagi

47 4 0
                                    

Oktober 2016

Pagi ini tidak seperti biasanya, Bibi Maria mengetuk kamarnya untuk membangunkannya agar segera bersiap sarapan di ruang makan utama atas perintah Desmond dan Listia. Aini yakin ini bukan pertanda baik, dilihat dari raut wajah Bibi Maria yang kurang mengenakkan.

"Ada apa, Bi?"

"Bibi juga kurang tahu. Tetapi sebaiknya Nona bergegas, ya?"

Aini hanya menurut karena tidak mau menyulut pertengkaran dengan kedua orang tuanya pagi ini. Tidak lupa dia mengenakkan setelan kerja yang sudah disiapkan Bibi Maria. Semenjak lulus dari universitas, Aini memilih untuk bekerja di Ganendra Company atas ajakan Pramana. Awalnya Aini kurang yakin karena tidak mau di anggap masuk karena orang dalam. Bekerja di Maheswara Hotel Group juga bukan pilihannya sejak dari dulu. Akhirnya dia menyetujui ajakan Pramana. Toh dia masuk dengan melalui tes yang ketat seperti karyawan – karyawan lain. Masa bodoh jika dia bersahabat dengan Pramana, itu tidak ada hubungannya kok.

Aini turun setengah jam kemudian. Rekor tercepatnya dalam bersiap – siap di pagi hari. Biasanya Aini tidak akan mau terburu – buru untuk bersiap di pagi hari. Firasatnya semakin tidak enak kala dia semakin mendekati ruang makan utama. Rasanya sudah lama sekali dia tidak pernah menginjakkan kaki di ruangan itu.

"Selamat pagi, Papa, Mama, David,"

Desmond dan Listia hanya menjawabnya dengan deheman singkat sedangkan hanya adiknya yang tersenyum membalas sapaan tersebut.

"Pagi, Kakak,"

David memang tidak pernah membenci Aini seperti kedua orang tuanya. Hanya saja, David ditempatkan sejauh mungkin dari Aini. Orang tuanya takut Aini membawa sial atau memberi pengaruh buruk pada David. Hal ini menyebabkan hubungan mereka berdua yang tidak pernah dekat layaknya adik kakak pada umumnya. Aini pun tanpa sadar menyimpan rasa iri yang dalam pada adiknya ini.

Aini menatap berbagai macam jenis sarapan yang tersedia dan tidak ada satupun yang menggugah seleranya. Tidak mau membuat ulah, Aini mengambil selembar roti gandum dan mengolesinya dengan selai kacang. Aini baru saja menyelesaikan gigitan pertamanya ketika Papanya bersuara.

"Sudah berapa lama kamu berteman dengan Pramana Ganendra?"

Pertanyaan yang tidak di duga – duga. "Empat belas tahun?" Aini menjawab dengan ragu karena sejujurnya dia tidak pernah menghitungnya.

"Bagaimana dengan Aditya Ganendra?" kali ini Mamanya yang bertanya.

"Kami tidak dekat," jawab Aini.

Lalu terdengar alat makan yang di banding oleh Papanya. Aini terkejut tetapi hanya menampilkan raut datar.

"Apa saja yang kamu lakukan empat belas tahun ini? Berteman dengan Aditya saja tidak becus! Apa kamu tidak bisa sedikit saja berguna dan tidak hanya menumpang nama di sini?"

Aini menghentikkan kunyahannya lalu bergegas mengelap mulutnya dari sisa remahan roti. Aini lalu berniat meninggalkan ruang makan dengan segera tanpa berniat menyelesaikan roti yang baru dua gigit dia telan.

"Mau kemana kamu?! Papa belum selesai berbicara! Dasar anak kurang ajar! Seharusnya dari dulu kamu sudah Papa buang!"

Dengan tidak di duga – duga, Papanya memberi isyarat pada bodyguard yang bertugas di luar ruang makan untuk mencegah Aini keluar. Aini tentu saja tidak senang dengan hal itu.

"Apa – apaan! Lepaskan! Memangnya kalian siapa!" Aini mencoba memberontak tetapi berakhir sia – sia karena lengan kiri dan kanannya di cengkram cukup kuat oleh kedua bodyguard yang sangat patuh kepada Papanya ini.

Aini yang Bersemi IndahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang