Satu

1.5K 132 11
                                    


"Bunda ...."

Suara itu terdengar begitu menggemaskan. Sesosok gadis kecil berambut panjang berlari ke arah seorang perempuan muda. Di punggungnya bertengger tas merah jambu bergambar Princess kesukaannya. Tangannya menenteng buku gambar.

Perempuan muda itu menyongsong si gadis kecil. Dia merundukkan tubuhnya dan segera memeluk gadis kecil itu ketika mereka sudah sampai pada titik temu.

"Aku tadi menggambar," katanya sambil menunjukkan gambarnya kepada perempuan muda bergaun batik tadi.

"Oh, ya? Menggambar apa?"

Gadis kecil itu membuka bukunya. Di halaman pertama terpampang gambar sebuah keluarga yang utuh. Seorang ayah, ibu beserta anak perempuan yang sudah agak besar dan bayi kecil dalam gendongan ibunya. Potret keluarga yang harmonis.

"Wah, bagus sekali," puji perempuan muda itu.

"Ini aku, Papa, Bidi, dan adik." Gadis kecil itu menunjukkan gambarnya dengan wajah ceria. "Aku juga buat gambar untuk Bunda," lanjut gadis itu.

"Wah, betulkah?"

Gadis kecil itu mengangguk, lalu membuka halaman kedua. Itu gambar dua orang serupa ibu dan anak.

"Ini gambar Bunda dan aku."

"Waaaah ... terima kasih, Sayang," kata perempuan itu kepada sang gadis seraya memeluk dan menciumnya. "Bunda sayaaaang Ami," lanjutnya.

"Ami juga sayang Bunda," jawab sang putri yang kemudian mencium sang bunda dengan sama hangatnya.

"Jadi, malam nanti kita ngapain aja, Bunda?" tanya sang putri yang kemudian digandeng sang bunda menuju tempat parkir.

"Ami maunya apa?"

"Nari, makan pizza, nonton kartun, didongengin Bunda, dikelonin Bunda. Apa lagi, Bunda?"

"Apa aja yang Ami mau, deh. Yang penting Ami suka saja."

"Ami selalu suka kalau sama Bunda. Sama Papa juga. Sama Bidi juga."

"Ih, Ami mana ada yang tak suka."

"Ada dong. Ami nggak suka kalau ketemu Eyang Putri. Kayak gimanaaa gitu," jawab si gadis kecil dengan manyun.

Sang bunda tertawa. "Ih, gemes, deh. Anak siapa ini?" katanya sambil menowel pipi sang putri.

Mereka memasuki Camry hitam yang sudah terparkir manis di tepi jalan.

"Anaknya Bunda Sekar dan Papa Enda," jawabnya sambil terkikik yang langsung disambut dengan tawa geli sang bunda.

"Ami kaya dong. Punya papa, punya bunda, punya Bidi ...."

"Punya adek Arsya, Te Ras, Onty Mili, Uti, Oma Arini, Opa Agung, Yangkung."

"Oke, let's go. Hari ini Ami sama Bunda dulu. Biar Bidi bisa fokus rawat adek," kata sang Bunda, mulai menghidupkan mesin mobil.

Namun, belum lagi mobil bergerak meninggalkan tempat parkir, sang gadis berteriak.

"Eh, bentar, Bun. Itu yang di sana kayaknya Byan, deh. Ami samperin dulu, ya."

"Byan siapa? Bunda nggak pernah dengar namanya."

"Byantari. Anak baru. Papanya sering telat jemput tuh. Aku sering nungguin dia sama Bidi sampai dia dijemput ayahnya," kata Ami sambil turun dari mobil dan berlari mendekati Byan.

Gadis kelas 2 SD itu memang aktif luar biasa. Gerakannya lincah sehingga sang bunda sering kewalahan mengejar Ami. Herannya, Bidi, sang bibi sekaligus ibu sambungnya, selalu bisa mengambil momen yang tepat setiap gerakan Ami sehingga bisa mendokumentasikan semua perkembangan Ami. Sekar sadar, selain umur, aktivitas geraknya juga lebih sedikit sehingga kalah lincah dengan adiknya yang kini menjadi istri dari mantan suaminya.

Hidupnya memang serumit itu. Ia pernah meninggalkan suami dan anaknya hanya untuk mengejar sesuatu yang tak nyata. Dan ketika ia sadar, ia telah kelihangan segalanya. Untunglah nasib baik masih berpihak kepadanya. Mantan suami dan adiknya mau berlapang dada memberikan kesempatan kepadanya untuk kembali dekat dengan Ami, sang putri. Yang meskipun seminggu hanya sekali, tapi itu sudah cukup membuat hatinya yang kosong menjadi penuh kembali.

Sekar bahagia, bisa kembali memeluk buah hati yang pernah ditinggalkannya ketika masih bayi. Dan Ami, yang pikirannya dewasa sebelum waktunya, bisa menerima hal itu tanpa banyak bertanya. Gambarnya hari ini menunjukkan seberapa banyak penerimaan Ami terhadap takdir yang dijalaninya. Ia tak pernah memprotes mengapa kehidupannya berbeda dari temannya yang lain karena hidupnya sendiri sudah penuh dengan kasih sayang.

Atau mungkin saja, banyak teman yang senasib dengannya mengingat saat ini berita perceraian sudah menjadi hal yang biasa. Banyak orang tak bisa bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya. Termasuk Sekar. Yang pernah menjadi begitu impulsif sehingga bisa meninggalkan bayinya. Oh, sebelumnya ia juga pernah begitu impulsif dengan meminta Prahara, yang sekarang menjadi mantan suaminya, untuk menikahinya. Jauh sebelum itu, lebih banyak lagi tindakannya yang tak bertanggung jawab. Untunglah waktu begitu baik hati untuk membuatnya menjadi pribadi yang lebih baik. Lebih kuat. Dan lebih bertanggung jawab hingga menjadi Sekar yang sekarang. Bukan lagi Anindya yang manja dan impulsif.

Sekar benar-benar mensyukuri hal itu. Bisa memeluk Ami dengan leluasa saja ia sudah sangat bahagia. Ami, gadis kecilnya yang saat ini sudah sampai di depan Byantari, teman barunya.

Mereka berdua sudah terlihat bercakap-cakap dengan seru ketika Sekar sampai di depannya.

"Ini siapa?" bisik Byantari kepada Ami.

"Ini bundaku," jawab Ami lantang. "Bunda, kenalin ini Byantari. Panggilannya Byan."

"Hai!" sapa Sekar. "Murid baru di sini, ya?"

Byantari mengangguk malu-malu.

"Bundamu bukannya Bidi yang biasanya menjemputmu?" tanya Byantari polos.

"Itu mamaku. Namanya Didi. Aku panggilnya Mama Bidi. Tapi kadang Bidi saja, soalnya ribet kalau panjang."

"Oh, begitu. Enak kamu, ya, punya bunda sama mama," kata Byan sedih.

"Memang kamu nggak punya mama?" tanya Ami.

"Ami ...," kata Sekar mengingatkan anak perempuannya.

"Oh, maaf, aku harusnya nggak tanya itu."

"Mamaku dulu ada. Tapi setelah pindah ke Yogya, Mama nggak ikut. Aku hanya sama Papa di rumah. Ada eyang juga, sih."

Kalimat Byantari itu diucapkan dengan nada biasa, tetapi entah mengapa terasa ngilu di benak Sekar. Bagaimana tidak, dia pernah meninggalkan Ami dalam posisi yang sama dengan Byantari. Hanya sendiri bersama papanya, sementara ia pergi meninggalkan bayinya tanpa ASI sama sekali.

"Byan bisa main sama Bunda sama Ami," kata Sekar.

"Iya, Byan. Nanti main ke rumah Bunda saja. Rumah Bunda luas, ada kolam renangnya. Ada kamar princess-nya juga. Nanti kita bisa main air di sana."

Mata gadis itu membulat, wajahnya menunjukkan ekspresi kegirangan.

"Iya, nanti aku izin ke Papa," katanya bersemangat. Matanya berbinar. Dan semakin berbinar ketika melihat siapa yang datang mendekatinya.

Sesosok lelaki jangkung mendekati mereka. Rambutnya pendek tersisir rapi. Wajahnya tampan dengan hidung mancung dan rahang tegas yang menyiratkan wibawa. Lelaki itu ....

"Papa ...." Byantari menubruk tubuh ayahnya. Ayahnya membungkuk untuk menyejajarkan diri dengan Byantari.

"Byan sudah menunggu lama?"

"Nggak pa pa, kok, ini ditemani Ami sama bundanya," katanya.

"Iyakah," kata lelaki itu menegakkan tubuhnya, lalu menghadap kepada Ami dan Sekar.

"Anin ...," katanya pelan. Raut mukanya terkejut.

Berbanding terbalik dengan Sekar yang pias, namun tetap bisa tersenyum. Senyum yang lelaki itu tahu tidak sampai di hati.

"Lama tak bertemu, Mas Ndaru."


Melukat SekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang